Petugas medis melakukan sosialisasi tes swab kepada pedagang di Pasar Tasik, Jakarta, Kamis (2/7). | Republika/Putra M. Akbar

Kabar Utama

Kemenkeu Kebut Serapan Anggaran Kesehatan Covid-19

BPKP berkolaborasi dengan BPK mengawasi penggunaan anggaran Covid-19.

JAKARTA -- Kementerian Keuangan merelaksasi aturan pencairan anggaran penanganan Covid-19 di bidang kesehatan. Pencairan dimudahkan salah satunya untuk mempercepat proses pembayaran klaim yang diajukan rumah sakit. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengakui, serapan anggaran bidang kesehatan selama ini tidak maksimal karena terhambat proses administrasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, Kemenkeu akan mengizinkan pencairan anggaran walaupun dokumen belum lengkap. 

"Kalau dokumen belum lengkap, kita kasih uang muka terlebih dulu agar RS bisa tetap beroperasi, tentu sambil dokumennya dilengkapi," kata Febrio dalam diskusi virtual pada Jumat, (3/7).

Febrio menambahkan, Kemenkeu juga akan meningkatkan koordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait. Ia meyakini, masalah administrasi bisa diselesaikan sehingga penyerapan anggaran kesehatan bisa lebih cepat. 

Berdasarkan catatan Kemenkeu, serapan anggaran bidang kesehatan baru sebesar Rp 4,09 triliun atau 4,68 persen dari total anggaran yang mencapai Rp 87,5 triliun. Febrio menegaskan, Kemenkeu sebagai bendahara negara menyiapkan anggaran yang dibutuhkan kementerian dan lembaga.

Namun, realisasi di lapangan bergantung pada efektivitas K/L terkait. Ia menyarankan K/L agar menyederhanakan proses penyaluran anggaran, tapi tetap memperhatikan tata kelola. 

Menurut dia,prosedur yang terlalu rumit akan membuat pencairan dana lebih lama, terutama bagi rumah sakit di daerah. “Rumah sakit di daerah itu sering datanya masuknya ke pusat lalu diverifikasi oleh dua Eselon I berbeda di Kemenkes. Kalau datanya tidak cocok dikembalikan lagi ke RS daerah. Itu yang terjadi dua bulan terakhir,” ungkap Febrio. 

Ia berharap peningkatan koordinasi dengan K/L  dapat mempercepat realisasi anggaran, terutama insentif dan pemberian santunan kepada tenaga kesehatan yang wafat. "Intinya kita ingin dorong percepatan anggaran (PEN), kalau ada kendala kita diskusikan," katanya. 

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara Kemenkeu Kunta Wibawa Dasa menambahkan, minimnya penyerapan anggaran kesehatan terjadi karena adanya kesenjangan antara realisasi keuangan dan fisik. Oleh karena itu, perlu percepatan proses administrasi dan penagihan.

Ia mengungkapkan, klaim penggantian biaya perawatan pasien Covid-19 sudah terealisasi sebanyak 62,5 persen dari total klaim yang diajukan RS. Sementara sisanya masih menunggu kelengkapan dokumen. “Insentif tenaga medis mencapai 21.080 nakes atau 11,82 persen. Terutama di RS yang khusus menangani Covid-19,” jelas Kunta. 

Kunta memastikan anggaran untuk bidang kesehatan yang sebesar Rp 87,55 triliun cukup hingga Desember 2020. Ia menjelaskan, Kemenkeu saat mendesain anggaran untuk bidang kesehatan, telah memperkirakan berbagai potensi yang akan terjadi, seperti melonjaknya jumlah pasien Covid-19. 

 Biaya penanganan Covid-19 untuk bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun terdiri atas belanja penanganan Covid-19 sebesar Rp 65,8 triliun dan insentif tenaga medis Rp 5,9 triliun. Selain itu, santunan kematian dianggarkan sebesar Rp 0,3 triliun, bantuan iuran JKN Rp 3,5 triliun, Gugus Tugas Rp 3,5 triliun, dan insentif perpajakan bidang kesehatan Rp 9,05 triliun.

“Di situ ada penanganan Covid-19 yang sekitar Rp 65,8 triliun. Itu sebenarnya juga untuk menampung pasien yang belum terkena sekarang. //Nah// kita perkirakan sampai Desember nanti,” kata Kunta.

Berbeda dengan anggaran kesehatan, penyerapan anggaran perlindungan sosial sudah mencapai Rp 69,4 triliun atau 34,06 persen dari pagu sebesar Rp 203,9 triliun. Kunta mengatakan, penyaluran stimulus perlindungan sosial lebih tinggi karena sebelum Covid-19 sudah ada beberapa program sosial seperti kartu sembako dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Meski begitu, kata dia, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah, yakni penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan BLT Dana Desa. Ia melanjutkan, pemerintah daerah harus melakukan beberapa perbaikan dari sisi regulasi penyalurannya. 

Berdasarkan data dari Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Transmigrasi dan Tertinggal, BLT dana desa yang sudah tersalurkan mencapai Rp 4,5 triliun. Dari jumlah tersebut, sudah 71.065 desa atau setara 95 persen dari 74.835 desa yang telah menyalurkan BLT Dana Desa.

Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bakal berkolaborasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengawasi penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Kepala BPKP M Yusuf Ateh mengatakan, sinergi dengan BPK bertujuan agar penyaluran anggaran tepat sasaran. 

Menurut dia, harmonisasi langkah pengawasan BPKP dengan langkah pemeriksaan oleh BPK akan meningkatkan efektivitas pengawalan pengelolaan keuangan negara atau daerah untuk penanganan Covid-19. Pada Kamis (2/7) lalu, Ateh juga telah menggelar pertemuan dengan Sekjen BPK Bahtiar Arif di Kantor BPKP, Jakarta Timur, untuk membicarakan langkah harmonisasi tersebut.

photo
Petugas medis saat melakukan tes swab terhadap pedagang di Pasar Tasik, Jakarta, Kamis (2/7). - (Republika/Putra M. Akbar)

Peran serta dari BPK, kata dia, diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas dan memperkuat pencegahan tindak pidana korupsi.

Ateh menegaskan jika dana pencegahan Covid-19 tidak dijaga dengan baik, maka terdapat risiko kebocoran anggaran yang akan berdampak kepada ketidaktepatan sasaran dan mengancam keberhasilan upaya pemerintah dalam menangani dampak pandemi kepada masyarakat.

Ia mencontohkan, distribusi bantuan yang tidak tersalurkan kepada masyarakat secara tepat dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan permasalahan baru yang lebih besar. "Karena itu, ke depan kerja sama antara BPKP dengan BPK akan terus terjalin agar setiap anggaran dapat kita awasi bersama," katanya pula.

Sebenarnya, Ateh menambahkan, lembaga-lembaga penjaga akuntabilitas memiliki keunggulan masing-masing, seperti Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang lebih mengetahui seluk-beluk proses bisnis yang dijalankan pelaksana kegiatan.

Sementara pemeriksa eksternal atau aparat penegak hukum (APH), seperti kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memiliki daya dorong yang lebih kuat agar temuan-temuan pengawasan atau pemeriksaan dapat segera diperbaiki. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat