Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) membaca Al Quran di Masjid Raya Bandung yang ditutup di Jalan Dalem Kaum, Kota Bandung, Kamis (30/4). (ilustrasi) | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Opini

Literasi dan Pandemi

Masyarakat dengan tingkat literasi rendah akan lebih berat menghadapi virus korona jenis baru ini.

DIDIK DARMANTO, Pegiat Literasi, Bekerja di Kementerian PPN/Bappenas

Penanganan Covid-19 tak hanya terkait sistem kesehatan, tapi juga tingkat literasi masyarakat. Masyarakat berliterasi, cenderung lebih siap menghadapi dampak buruk pandemi. Literasi berperan penting dalam menentukan status kesehatan masyarakat di era modern. 

Bahkan, menurut WHO dalam Health Literacy The Solid Fact (2013), tingkat literasi menjadi penentu utama status kesehatan seseorang daripada pendapatan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, ras, atau etnis. 

Laporan ini menyebutkan, literasi yang rendah berpotensi meningkatkan perilaku berisiko dan memperburuk kesehatan. Selain itu, literasi kesehatan juga berpengaruh terhadap ongkos kesehatan. 

Semakin rendah literasi, semakin tinggi risiko kesehatan yang membawa konsekuensi pada pembengkakan anggaran kesehatan. WHO mencatat, pada 2009 Kanada setidaknya mengeluarkan biaya tambahan lebih dari 8 milar dolar AS.

 
Disebutkan, masyarakat dengan tingkat literasi rendah akan lebih berat menghadapi virus korona jenis baru ini.
 
 

Sementara itu, pada 1998, AS mengeluarkan sekitar 73 miliar dolar AS akibat rendahnya literasi masyarakat di bidang kesehatan. Korelasi literasi dan kesehatan masyarakat juga diungkapkan Center for Systems Science and Engineering Universitas Johns Hopkins, AS.

Disebutkan, masyarakat dengan tingkat literasi rendah akan lebih berat menghadapi virus korona jenis baru ini. Pada Maret 2020, kenaikan kasus baru per hari pada negara dengan rata-rata tingkat kemampuan literasi lebih rendah dari 85 persen.

Kamboja, Kamerun, Pantai Gading, Nigeria, Tanzania, Togo, mengalami peningkatan hingga 900 persen dalam waktu tujuh hari. 

Melek aksara

Bila literasi dimaknai kemampuan baca, tulis, dan hitung (calistung), Indonesia salah satu negara yang berhasil memberantas buta huruf. 

Data BPS menunjukkan, angka melek huruf penduduk usia di atas 15 tahun terus meningkat dari 95,2 persen pada 2015 menjadi 95,9 persen pada 2019. Bahkan, di beberapa daerah angka melek huruf mendekati sempurna, seperti DKI Jakarta sebesar 99,74 persen.

Namun, tampaknya literasi calistung atau kemampuan keberaksaraan fungsional ini tak cukup menghambat penyebaran virus korona. Contoh kasus, DKI Jakarta memiliki angka melek huruf tinggi. 

 
Begitu pula saat PSBB transisi, kemampuan membaca tak sebanding dengan kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan.
 
 

Namun, tak mudah mendorong masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat serta aman dari penularan infeksi virus. Bahkan, pada bulan pertama penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tercatat 70 ribu pelanggaran.

Begitu pula saat PSBB transisi, kemampuan membaca tak sebanding dengan kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan. Laju penyebaran virus naik-turun, bahkan dalam satu bulan terakhir ada kecenderungan peningkatan angka reproduksi efektif (Rt).

Berdasarkan data Bappenas, pada 15 Mei 2020 Rt DKI Jakarta di angka 0,99, tetapi medio Juni 2020 menjadi 1,03. Angka ini merangkak perlahan menjauhi kriteria aman penerapan normal baru, yakni Rt lebih kecil dari 1. 

Hal sama terjadi di beberapa daerah dengan angka melek huruf di atas rata-rata nasional. 

Merujuk data ini, tak ada kaitan angka melek huruf dengan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat untuk menerapkan protokal normal baru serta berperilaku hidup bersih dan sehat untuk menekan laju penyebaran virus. 

Ini menunjukkan, kemampuan literasi tak cukup pada kemampuan calistung. Kemampuan literasi masyarakat terlihat dari nilai Program for International Student Assessment (PISA), meskipun yang diukur terbatas pada siswa. 

Capaian nilai PISA Indonesia dari 2000 sampai 2018 tak meningkat signifikan. Dari ketiga komponen penilaian, yakni matematika, membaca, dan sains, kompetensi literasi mengalami peningkatan paling rendah.

Yakni dari 370,6 pada 2000 menjadi 371,0 pada 2018, atau hanya meningkat 0,4 poin selama 18 tahun. Ini menunjukkan, kemampuan literasi untuk memahami isi bacaan masih rendah, meskipun memiliki kemampuan keaksaraan fungsional.

Literasi kesehatan

Literasi berdampak positif bagi pembangunan sosial ekonomi, manakala tak hanya dimaknai sebagai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. 

Namun, literasi dimaknai sebagai kemampuan memahami, mencerna, dan menganalisis teks dan konsep, lalu diterjemahkan dalam tindakan untuk mengatasi masalah kehidupan, meningkatkan kualitas hidup, dan memperbaiki kesejahteraan.

 
Maka, dalam penanganan Covid-19, meningkatkan literasi kesehatan merupakan kebutuhan vital. Bila tidak, dapat mengancam sistem kesehatan nasional. 
 
 

Pada masa pandemi, literasi kesehatan sangat dibutuhkan apalagi biasanya terjadi infodemik, yakni istilah untuk menggambarkan kesemrawutan lalu lintas informasi yang membuat masyarakat dilanda kepanikan.

Kelemahan mengakses, memilah, dan memahami informasi membuat masyarakat tak bisa mendiagnosis gejala dan mengambil langkah penanganan secara tepat. Selain itu, berkembang mitos seputar medis dan stigma buruk bagi penyintas korona.

Pandemi Covid-19 membawa kesadaran baru bagi individu, masyarakat, dan pengambil kebijakan tentang pentingnya literasi kesehatan. Keterbatasan literasi kesehatan membuat masyarakat abai terhadap protokol kesehatan, serta meningkatkan perilaku berisiko penularan infeksi yang merugikan diri sendiri dan orang lain. 

Maka, dalam penanganan Covid-19, meningkatkan literasi kesehatan merupakan kebutuhan vital. Bila tidak, dapat mengancam sistem kesehatan nasional. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat