Tim Covid Hunter mencari pasien Covid-19 yang berkeliaran di Surabaya. (ilustrasi) | ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Opini

Beban Ganda Kesehatan

Penyakit kronis bisa memperparah penyakit dan kematian manula pengidap Covid-19.

TIKKI PANGESTU, Visiting Professor Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore

Banyak negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terus berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Indonesia mengonfirmasi lebih dari 50 ribu kasus dengan hampir 2.600 kematian per Jumat, 26 Juni 2020, angka yang tertinggi di Kawasan Asia Tenggara.

Ada kekhawatiran, situasi dapat memburuk dalam beberapa bulan ke depan. Bappenas bahkan mengingatkan, jika trennya terus meningkat, sistem kesehatan nasional bisa runtuh dan Covid-19 dapat memicu ratusan ribu kematian.

Namun, fokus pada pengecekan dan perawatan pasien Covid-19, membuat pengelolaan masalah kesehatan lainnya terbengkalai. Termasuk //stunting// pada anak-anak serta penyakit kronis, seperti jantung, hipertensi, strok, diabetes, dan kanker.

Menurut studi Global Burden of Disease 2017, merokok jadi faktor risiko teratas kematian dini dan kecacatan bagi laki-laki. Konsumsi tembakau memicu hampir satu dari enam kematian akibat penyakit kronis dan membunuh lebih dari 7 juta orang di seluruh dunia per tahun.

Di Indonesia, Survei Kesehatan Dasar 2018 mencatat, 61 juta perokok (60-70 persen laki-laki), yakni 225 ribu orang di antaranya meninggal di usia muda. Ini setara 15 persen dari seluruh kematian setiap tahun.

 
Penelitian terbaru di Inggris yang melibatkan 2,4 juta pengguna aplikasi Covid Symptom Study, memberikan data konsisten, perokok berisiko lebih tinggi terkena Covid-19.
 
 

Tren lain, prevalensi merokok remaja di Indonesia melonjak di tengah tren negara maju dan negara berkembang lain turun. Ini berakibat biaya ekonomi merokok tinggi sekitar 1,2 miliar dolar AS per tahun atau delapan persen dari pengeluaran untuk kesehatan masyarakat.

Ada dua fakta yang patut dicermati. Pertama, banyak bukti dari berbagai negara terinfeksi Covid-19, penyakit jantung dan hipertensi adalah penyakit bawaan yang meningkatkan risiko, memperburuk, dan mengakibatkan kematian manula di antara yang terinfeksi virus ini.

Kedua, terkait fakta pertama, ada bukti global tak terbantahkan selama beberapa dekade yang menunjukkan, merokok berkaitan erat dengan perkembangan penyakit jantung, hipertensi, kanker paru-paru, dan penyakit obstruktif kronis paru.

Lantas, bagaimana hubungan merokok dengan penyakit Covid-19 dan sejauh mana bukti yang ada? Penelitian di lima rumah sakit di Wuhan, Cina, selama puncak pandemi menyimpulkan, merokok memperburuk kondisi pasien dengan gejala Covid-19.

Penelitian terbaru di Inggris yang melibatkan 2,4 juta pengguna aplikasi Covid Symptom Study, memberikan data konsisten, perokok berisiko lebih tinggi terkena Covid-19.

Di Indonesia, Dr Pandu Riono, Epidemiolog Universitas Indonesia, percaya bahwa banyak kematian karena Covid-19 akibat buruknya kesehatan paru-paru pasien, yang sebagian besar perokok. Ini membuat tingkat kematian hampir tujuh persen secara nasional.

Sebaliknya, penelitian lain menemukan prevalensi merokok pada kasus Covid-19 lebih rendah dari perkiraan. Tinjauan studi terhadap lebih dari 6.000 pasien rumah sakit di Cina, Prancis, dan AS menemukan prevalensi merokok yang lebih rendah di antara pasien Covid-19. Merokok bahkan dinilai bisa melindungi diri dari Covid-19.

Studi Centers for Disease Control and Prevention di AS terhadap mantan perokok dan perokok aktif menunjukkan, prevalensi perokok terkena Covid-19 jauh lebih rendah daripada prevalensi pada seluruh populasi pasien.

Analisis lain dari 13 studi di Cina mencatat, dari semua pasien Covid-19, hanya seperempat dari mereka yang aktif merokok. Temuan ini mendorong peneliti menyarankan, nikotin dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan potensial Covid-19.

Bahkan, muncul teori, nikotin punya mekanisme yang bisa melindungi dari Covid-19. Argumen ini merujuk pendapat nikotin berperan menekan efek “badai sitokin”, reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh yang bisa dipicu penyakit berbahaya seperti Covid-19.

Studi-studi yang kontradiktif ini menyebabkan kebingungan. Namun, di tengah semua ketidakpastian itu, hal yang penting ditekankan, sebagian besar bukti ilmiah yang dihasilkan selama pandemi Covid-19 berasal dari studi observasional.

 
Penyakit kronis adalah faktor risiko utama yang bisa memperparah penyakit dan kematian manula yang mengidap Covid-19.
 
 

Studi observasional sangat rentan terhadap ‘bias’ akibat pengambilan sampel non-acak, seperti data opname rumah sakit, pengujian yang ditargetkan, atau partisipasi sukarela.

Secara khusus, studi observasi mengandung risiko “bias collider” yang terjadi saat dua variabel secara independen “bertabrakan” dan memengaruhi variabel ketiga sebagai hasil yang ditentukan dua variabel sebelumnya. Maka itu, penelitian lebih lanjut jelas diperlukan.

Hingga kini, hubungan merokok dengan semakin parahnya Covid-19 masih belum jelas. Namun yang pasti, penyakit kronis adalah faktor risiko utama yang bisa memperparah penyakit dan kematian manula yang mengidap Covid-19.

Kondisi ini juga berkorelasi dengan bahaya jangka panjang merokok. Satu yang juga pasti, Indonesia kini menghadapi dua beban ganda dalam sistem kesehatan masyarakat, yaitu pandemi Covid-19 dan prevalensi merokok yang tinggi.

Di luar pandangan, apakah merokok meningkatkan atau mengurangi risiko Covid-19, dampak keseluruhannya pada kesehatan menjadi pertimbangan utama. Maka itu, imbauan berhenti merokok untuk mengurangi risiko kesehatan tetap valid.

Akhirnya, ini akan menghindarkan beban ganda pada sistem perawatan kesehatan di Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat