Petani menyiram tanaman bawang merah jenis Bima Brebes di persawahan desa Giyono, Jumo, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (12/6). | ANIS EFIZUDIN/ANIS EFIZUDIN

Opini

Jejaring Logistik Muhammadiyah

Muhammadiyah tidak mustahil bisa mewujudkan lumbung pangan raksasa yang terintegrasi.

Oleh IMRON ROSYADI

 

IMRON ROSYADI, Peneliti pada PSEI-FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sejak dua tahun terakhir, kami, pegawai di lingkungan Amal Usaha Muhammmadiyah (AUM) mendapatkan jatah beras 5 kg per bulan. Hal yang menarik, beras tersebut diproduksi  Jamaah Tani Muhammadiyah (Jatam) dengan mutu yang baik dan terjaga.

Beras yang diproduksi Jatam adalah hasil kerja sama dalam program pendampingan yang digarap Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah. Becermin dari situ, setidaknya ada dua aktivitas strategis yang menyokong pasokan pangan nasional.

Pertama, adanya jejaring yang kokoh dari hulu ke hilir, dari produsen ke konsumen akhir. Kerja sama strategis AUM dengan Jatam ini, dari sisi produsen, memperlancar pasokan bahan pangan ke konsumen akhir, sebab dapat mempersingkat rantai pemasaran.

Di sisi lain, konsumen mendapatkan bahan pangan dengan volume pasokan cukup dan jaminan produk bermutu. Kedua, produsen (petani) memperolah “perlindungan” dari risiko kerugian akibat anjloknya harga bahan pangan dan panjangnya rantai pemasaran.

Jamaah tani

Kebutuhan pangan nasional terbilang sangat besar, terutama bahan pangan pokok, seperti beras. Kementan (2020) mencatat, konsumsi beras hingga akhir September 2019 mencapai 28,28 juta ton. Sementara produksi beras mencapai 26,91 juta ton.

 
Singkatnya, petani merupakan mata rantai terpenting dalam ekosistem pangan.
 
 

Konsumsi beras sebanyak itu dinilai wajar, mengingat pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia terhitung sangat cepat. Hasil survei penduduk antarsensus 2015, memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia pada 2020 mencapai 269,6 juta jiwa.

Penduduk sebanyak itu kebutuhan pangannya bergantung pada “nasib” petani. Jika petani bernasib baik, pasokan pangan ke pasar pun dijamin lancar. Sebaliknya, jika nasib petani “buruk”, keberlangsungan pasokan pangan ke penduduk akan terganggu.

Singkatnya, petani merupakan mata rantai terpenting dalam ekosistem pangan. Ironisnya, meskipun petani berada di posisi kunci dalam rantai nilai produksi pangan nasional, nasibnya tidak berbanding lurus dengan peran pentingnya itu.

Hal ini karena posisi tawar petani di hadapan stakeholder perdagangan bahan pangan (pedagang besar, tengkulak, importir) sangat lemah.

Nah, merawat petani melalui komunitas jejaring petani, seperti Jatam, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki nasib petani. Jatam berkhidmat kepada para petani agar mampu memperbaiki nasibnya sendiri.

Bergabung di Jatam diharapkan posisi tawar petani lebih kuat. Demikian juga, secara sosial-ekonomi menjadi kian menguat. Dalam konteks ini, program pendampingan Jatam yang digarap MPM PP Muhammadiyah merupakan ijtihad dan jihad kedaulatan pangan.

Mengingat harapan besar kita, petani harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Setidaknya, ada sejumlah problematika petani dan dunia pertanian yang bisa dicarikan jalan keluarnya melalui program pemberdayaan dan pendampingan Jatam.

 
Sebagai ormas besar yang memiliki belasan ribu cabang/ranting, dan dua puluhan ribu AUM, Muhammadiyah tidak mustahil bisa mewujudkan lumbung pangan ‘raksasa’ yang terintegrasi di seluruh Indonesia.
 
 

Pertama, gagal panen akibat hama. Masalah ini bisa diatasi dengan edukasi dan pelatihan penanganan hama secara efektif, tanpa pestisida berlebihan. Sepanjang pengamatan penulis, pelatihan seperti ini telah berjalan di sejumlah kabupaten/kecamatan.

Kedua, modal kerja tak mencukupi. Terobosan untuk mengatasinya adalah memberikan pinjaman kepada petani dengan skema qardhul hasan. Dengan skema ini, petani tidak dibebani margin pinjaman dan angsurannya.

Pascapanen, petani “diarahkan” menunaikan zakat pertanian sebesar lima persen. Ketiga, sempitnya lahan tanam. Masalah ini bisa diselesaikan dengan pendayagunaan zakat pertanian yang terhimpun.

Keempat, penyusutan populasi generasi petani. Solusinya, kampanye secara intensif dengan tema besar “gerakan kembali bertani” dan “petani bangkit” dalam forum akademik, temu tani, peresmian ranting/cabang Muhammadiyah dan Jatam di seluruh Indonesia.

Selain itu, petani juga diedukasi tidak hanya berhenti sebagai penghasil bahan mentah, tetapi juga sebagai petani entrepreneur, yakni petani yang mampu berkreasi mengubah bahan mentah menjadi produk turunan yang bernilai tinggi.

Rantai logistik

Sebagai ormas besar yang memiliki belasan ribu cabang/ranting, dan dua puluhan ribu AUM, Muhammadiyah tidak mustahil bisa mewujudkan lumbung pangan ‘raksasa’ yang terintegrasi di seluruh Indonesia.

Terintegrasi mulai dari Jatam, manufaktur, retail bahan pangan (hilir) hingga konsumenn akhir. Bahkan, bukan sekadar lumbung pangan, melainkan bisa menjelma menjadi ekosistem industri makanan-minuman halal.

Industri tersebut diharapkan, berperan dalam rantai makanan domestik dan global dengan mengubah komoditas pertanian menjadi produk akhir yang memenuhi beragam kebutuhan konsumen.

Dengan demikian, rantai logistik (lumbung pangan) Muhammadiyah nantinya terdiversifikasi menjadi beberapa mata rantai pangan. Pertama, bahan baku yang dihasilkan dari industri pertanian yang digarap Jatam.

Kedua, teknologi pangan, antara lain, rumah potong hewan dan pertanian bioindustri. Ketiga, manufaktur yang meliputi makanan-minuman kemasan, pengolahan daging dan makanan laut, pengolahan sayuran, buah, kacang, dan lainnya.

Keempat, saluran distribusi meliputi industri pengemasan, industri pengangkutan darat, dan jasa pengiriman barang. Kelima, peretail melalui //e-commerce//, toko retail, pameran produk, media, dan restoran.

Keenam, pembiayaan UMKM melalui bank syariah atau bank persyarikatan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat