Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, saat konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (16/6). | Dok. Humas Kemenko Polhukam

Kabar Utama

Pemerintah Tunda Bahas RUU HIP 

DPR diharapkan mencabut RUU HIP dari program legislasi nasional.

 

JAKARTA -- Pemerintah memutuskan menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Keputusan penundaan akan disampaikan secara resmi kepada DPR. 

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menampung masukan dari berbagai kalangan dan mempelajari isi RUU HIP. "Maka, pemerintah memutuskan untuk menunda atau meminta penundaan kepada DPR atas pembahasan RUU tersebut," kata Mahfud dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, di Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (16/6).

Mahfud menjelaskan, RUU HIP merupakan inisiatif DPR yang disampaikan kepada pemerintah. Pemerintah, kata Mahfud, meminta DPR untuk berdialog dan menyerap lebih banyak aspirasi dari berbagai elemen masyarakat. Ia pun menegaskan, pemerintah tidak akan mengirimkan surat presiden (surpes) untuk pembahasan RUU HIP. 

Sementara, terkait aspek substansi RUU HIP yang belakangan menjadi polemik, Mahfud menegaskan, Presiden menyatakan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 masih berlaku mengikat. Oleh karena itu, ia berharap hal tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi. Menurut dia, pemerintah tetap berkomitmen bahwa TAP MPRS tersebut merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat.

"TAP MPRS tentang larangan komunisme marxisme dan leninisme itu merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat dan tidak bisa lagi dicabut oleh lembaga negara atau oleh UU sekarang ini," ujar dia menjelaskan.

Mengenai rumusan Pancasila, Mahfud menyatakan, pemerintah berpendapat bahwa rumusan yang sah ialah rumusan yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Rumusan Pancasila itu disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

RUU HIP yang diusulkan oleh Partai PDI Perjuangan (PDIP) menuai penolakan dari berbagai kalangan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah organisasi massa Islam, seperti Muhammadiyah, juga telah menyuarakan penolakannya.

Ada sedikitnya empat poin dalam RUU HIP yang paling banyak menuai penolakan. Yaitu, tak dicantumkannya Tap MPRS soal pelarangan PKI dan komunisme dalam konsideran. Kemudian, adanya frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" dalam pasal 7 ayat (1), konsep trisila dan ekasila dalam pasal 7 ayat (2) dan ayat (3). Selain itu, Haluan Ideologi Pancasila (pasal 2) dinilai mengesampingkan agama. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly berharap sikap pemerintah yang menunda pembahasan RUU HIP dapat menenangkan masyarakat. Dengan begitu, kata dia, masyarakat melihat secara saksama substansi dari peraturan tersebut. Ia mengatakan, keputusan ini belum disampaikan secara resmi kepada DPR. Namun, pemerintah akan menyampaikan keputusan resmi paling lambat pada bulan ini. 

"Prosedur sesuai ketentuan perundang-undangan, nanti akan ditindaklanjuti dengan DPR. Dan, harapan kita dengan ini masyarakat bisa kembali duduk dengan tenang untuk betul-betul melihat substansinya dengan baik," kata Yasonna yang juga hadir dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam. 

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi mengatakan, Baleg menunggu surat resmi pemerintah yang meminta penundaan pembahasan RUU HIP.  Dia menjelaskan, DPR berkirim surat secara resmi kepada pemerintah terkait RUU HIP, maka sikap pemerintah seharusnya juga disampaikan secara tertulis, apakah mau menunda, menolak, atau menyetujui pembahasan.

Menurut dia, apabila pemerintah menolak membahas RUU HIP, RUU tersebut dikembalikan ke DPR dan tidak ada pembahasan lebih lanjut. "Jika disusun kembali, DPR punya kesempatan luas untuk menampung aspirasi," ujarnya. 

Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan meminta DPR mengeluarkan RUU HIP dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 karena memiliki banyak masalah di dalam muatannya. Menurut dia, masalah yang paling mendasar adalah prinsip dasar Pancasila dalam RUU HIP yang berbeda dengan prinsip dasar yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

"Bagaimana tidak, prinsip dasar yang disebutkan di dalam pasal 3 RUU HIP tidak utuh dan berbeda secara tekstual dengan Pembukaan UUD NRI 1945," kata Syarief. 

Perbedaan itu, menurut dia, berpotensi menimbulkan multitafsir, kontestasi, reduksi, bahkan distorsi prinsip Pancasila sehingga dapat menjadi jalan masuk ideologi lain ke dalam Pancasila.

Politikus Partai Demokrat itu menilai, prinsip pertama dalam RUU HIP hanya menyebut Ketuhanan yang akan membuka corong masuknya politeisme yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila. "Prinsip kedua, hanya menyebut Kemanusiaan yang berbeda dengan sila kedua Pancasila sebab mengabaikan keadilan dan keberadaban sehingga dapat mendistorsi Pancasila," ujarnya.

Prinsip ketiga, menurut dia, berbunyi Kesatuan yang berpotensi menghilangkan perbedaan latar belakang masyarakat yang harusnya menjadi kekayaan budaya Indonesia. Frasa itu, menurut Syarief, juga memiliki makna yang jauh berbeda dengan Persatuan Indonesia yang lebih mengakomodasi perbedaan dalam bingkai keindonesiaan.

"Prinsip keempat menyebut demokrasi yang tidak pernah ada dalam sila Pancasila dan berbeda dengan nilai musyawarah. Serta prinsip kelima yang hanya menyebut keadilan sosial yang mengabaikan kalimat bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga berpotensi multitafsir," katanya. 

Penolakan Fraksi Menguat

Sementara, fraksi-fraksi di DPR terus menyuarakan penolakan terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan PDIP. RUU HIP bahkan dinilai harus dicabut dari Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2020.

Fraksi PAN mengaku, menyambut baik sikap pemerintah yang memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP. Wakil Ketua Fraksi PAN, Saleh Daulay menilai, sudah selayaknya DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP.

Keputusan penundaan pembahasan RUU HIP disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD pada Selasa (16/6). “Pak Mahfud menyebut pemerintah meminta menunda pembahasan. Itu bahasa halus. Sama saja, pemerintah meminta agar pembahasan dihentikan. Apalagi, pemerintah menyebut mau fokus mengurus penanganan covid-19," kata Saleh, Selasa (16/6).

Saleh menilai pernyataan Mahfud tersebut didasarkan respons masyarakat, mengingat banyaknya penolakan dan kritik terhadap RUU HIP dari berbagai pihak. Menurut dia, apa yang disampaikan pemerintah merupakan langkah bijak dalam merespons penolakan tersebut.

Saleh pun menegaskan, Fraksi PAN mengapresiasi dan mendukung pernyataan Mahfud. Ia berharap agar pernyataan tersebut didengar oleh semua fraksi di DPR. "Saya yakin kalau pembahasannya ditunda, masyarakat juga akan memahami. Gelombang kritik dan penolakan akan berkurang. Kita semua fokus menangani Covid-19," ujarnya.

Fraksi Partai Demokrat menjadi salah satu pihak yang sejak awal tegas menolak pembahasan RUU HIP. Alasan utamanya, agar DPR fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

"Selain tidak ada urgensinya dan tidak tepat waktunya saat kita fokus menangani pandemi virus korona, substansinya tidak sejalan dengan jalan pikiran politik Partai Demokrat," ujar anggota Baleg Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan lewat keterangan tertulisnya, Selasa (16/6).

Hinca mengatakan, Fraksi Demokrat menolak pembahasan jika RUU HIP tak memasukkan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966.  "TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 sama sekali tidak menjadi acuan. Substansinya, mendegradasi makna Pancasila itu sendiri," ujar Hinca.

Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon menyebut, RUU HIP sebaiknya ditarik dari prolegnas. Menurut dia, ada beberapa hal yang membuat RUU HIP patut dicabut dari prolegnas.

Fadli mengatakan, setiap undang-undang tak boleh berpretensi menjadi undang-undang dasar. Dia menilai, hal itu dilanggar oleh RUU HIP.

"Pretensi menjadi undang-undang dasar inilah, menurut saya, menjadi alasan pertama //kenapa// RUU HIP perlu segera ditarik, dan bukan hanya butuh direvisi," katanya.

Alasan kedua, lanjut Fadli, Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang. Ironisnya, RUU HIP ini malah ingin menjadikan Pancasila sebagai undang-undang itu sendiri.

Fadli juga mengatakan, Pancasila tak boleh diatur oleh undang-undang karena seluruh produk hukum dan perundang-undangan Indonesia menjadi implementasi dari Pancasila itu sendiri. Satu-satunya yang bisa mengatur institusionalisasi Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di bawahnya, termasuk bukan juga oleh //omnibus law//. "Kalau diteruskan, ini akan melahirkan kerancuan yang fatal dalam bidang ketatanegaraan," ujarnya.

Alasan ketiga, RUU HIP dianggap gagal memisahkan wacana dari norma. Pancasila, dengan rumusan kelima silanya, adalah norma yang rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan UUD 1945. Sementara itu, ada istilah “Trisila” dan “Ekasila” sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 RUU HIP. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat