Ketua Divisi Tanggap Darurat MDMC Indrayanto | DOK Istimewa

Hiwar

Indriyanto: Perjuangan Urus Jenazah Kala Pandemi

Di tengah duka pandemi Covid-19, pelbagai inisiatif gotong royong muncul dari berbagai elemen masyarakat. Di antaranya adalah Relawan Jenazah Covid-19. Gerakan tersebut diadakan Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (Muhammadiyah Disaster Management Center/MDMC).

Menurut Ketua Divisi Tanggap Darurat MDMC Indrayanto, pihaknya ingin mendukung upaya bersama dalam mengatasi fenomena Covid-19 di Tanah Air. Satu persoalan yang disorot ialah pemulasaraan jenazah orang wafat yang positif atau diduga mengidap Covid-19. Sebab, tenaga medis di berbagai daerah cukup terbatas.

MDMC pun turut dalam menghadirkan solusi. "Motivasi kami membantu teman-teman medis untuk proses pemulasaraan jenazah Covid-19," ujar pria asal Yogyakarta ini.

Gerakan ini juga menggiatkan edukasi publik. Dengan begitu, harapannya, tak ada lagi kasus penolakan terhadap jenazah pasien Covid-19.

Bagaimana aktivitas gerakan kerelawanan itu di berbagai daerah sampai sekarang? Berikut bincang-bincang wartawan Republika, Muhyiddin, dengan lelaki berusia 44 tahun itu yang dihubungi dari Jakarta, beberapa waktu lalu.

photo
Relawan Muhammadiyah bersiap membantu pemulasaraan jenazah Covid-19 - (DOK Istimewa)

Apa yang melatari gerakan Relawan Jenazah Covid-19 MDMC?

Jadi, motivasinya sebenarnya untuk mendukung upaya rumah-rumah sakit dalam penanganan Covid-19. Salah satunya, pemulasaraan jenazah, pemakaman, dan dekontaminasi. Sebab, tenaga rumah sakit itu kan terbatas. Semuanya pun fokus di proses penanganan pasien yang hidup.

Nah, kita mencoba membantu agar mempercepat proses-proses yang harus ditangani. Khususnya, pada proses pemulasaraan jenazah, pemakaman, dan dekontaminasi. Tindak dekontaminasi ini untuk mobil ambulans dan para petugas yang mengantarkan pasien, baik itu yang positif, PDP (pasien dalam pengawasan), maupun jenazah. Jadi intinya, motivasinya kami membantu teman-teman medis untuk proses pemulasaraan jenazah Covid-19.

Bagaimana persiapannya?

Ini (wabah Covid-19) kan yang hal baru. Jadi, kami di MDMC Pusat juga berkewajiban untuk membuatkan suatu sistem, protokol yang bisa (dipakai) untuk mendorong teman-teman yang ada di tingkat provinsi. Mereka juga mempunyai basis-basis rumah sakit Muhammadiyah. Jadi, ada satu bentuk kegiatan yang memang fokus dalam membantu peran-peran rumah sakit serta tenaga medisnya.

Gerakan ini hanya diperuntukkan bagi rumah-rumah sakit Muhammadiyah?

Kalau untuk pelayanannya, itu berlaku bagi semua rumah sakit. Tinggal bagaimana gugus tugas di tiap provinsi berperan. Misalnya, kalau mereka sudah mendirikan hal yang sama, yakni relawan jenazah, maka kita tinggal berbagi wilayah kerja. Namun, kalau di provinsi yang bersangkutan belum ada (relawan jenazah), maka kita menjadi bagian dari penanganan Covid-19 di gugus tugas itu.

Apakah hanya berfokus pada pengurusan jenazah?

Kita juga membantu peran pemerintah untuk membantu rumah-rumah sakit yang lain (di luar Muhammadiyah). Kita juga memberikan pelayanan di masyarakat. Jadi, ada edukasi yang kita terapkan langsung.

Misalnya, masyarakat terkadang kalau ada orang yang meninggal di kampung atau desa setempat, tidak berani langsung untuk melakukan pemulasaraan. Apalagi, yang meninggal itu mungkin terindikasi sakit demam, batuk, dan lain sebagainya sebelum berpulang.

Masyarakat terkadang takut sehingga memanggil kami untuk ikut membantu pemulasaraan jenazah. Nah, di situlah kami melakukan edukasi kepada mereka bagaimana cara melakukan pemulasaraan sesuai dengan prosedur penanganan Covid-19. Ini sekaligus dengan cara pemakamannya dan dekontaminasi untuk para petugas yang melakukannya.

photo
Prosesi pemulasaraan jenazah Covid-19 - (DOK Istimewa)

Bagaimana aktivitas gerakan relawan MDMC ini di seluruh Indonesia?

Kalau yang kita buka itu, pertama di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Ini untuk membantu gugus tugas di sana. Terus, ada juga di Jawa Tengah, seperti Pekalongan. Lalu, di NTB (Nusa Tenggara Barat) juga ada. Di Kalimantan Tengah juga ada, yakni Palangkaraya.

Kalau tentang total jenazah yang sudah kami makamkan dan ditangani, itu ada sekitar 600-an jenazah. Bukan hanya yang positif Covid-19. Kami juga terjun langsung di tengah masyarakat. Jadi, misal, masyarakat belum dapat memastikan apakah jenazah terkena Covid-19 atau tidak. Mereka lantas menjadi tidak berani (mengurus jenazah seperti biasa -- Red). Maka, kami tetap menggunakan prosedur Covid-19 itu.

Atau pun ketika kami mendapatkan panggilan dari rumah sakit. Yang kita lakukan juga harus sesuai dengan prosedur penanganan Covid-19. Sebab, kalau jenazah yang sudah diambil dari ruang isolasi atau karantina memang harus menggunakan prosedur demikian.

Di Pusat Dekontaminasi Muhammadiyah itu, dalam satu timnya ada kurang lebih 22 orang relawan. Jadi, ketika kami membentuk 12 titik, maka seluruhnya ada sekitar 264 orang relawan yang kami gerakkan.

Dalam 24 jam, biasanya para relawan kita akan bergantian dengan sistem shift. Kalau saya sendiri di Yogya, pernah mengurus empat jenazah dalam sehari.

Apa saja perbedaan antara pemulasaraan jenazah biasa dan yang positif atau terduga Covid-19?

Yang membedakan sebenarnya prosedurnya dan peralatan yang dipakai. Pertama, prosedur untuk keselamatan para petugas. Itu yang kami utamakan. Di antaranya, menggunakan APD (alat pelindung diri) yang baik. Mereka juga harus mengikuti prosedur dekontaminasi setelah melakukan pemulasaraan atau pemakaman.

Lalu, peralatan. Kalau pengurusan jenazah biasa, kan cukup dengan menggunakan kain mori. Kalau untuk jenazah Covid-19 ini, harus disemprot dengan disenfektan dulu, (jenazah) dibungkus dengan plastik dua kali. Kalau ada kantong mayat, maka pakai kantong mayat. (Jenazah) dimasukkan dalam peti yang lantas tidak boleh dibuka lagi. Jenazah tidak boleh disentuh siapapun, dan harus dikuburkan langsung di permakaman.

Kami juga tidak hanya melayani jenazah yang beragama Islam saja. Kami melayani semuanya. Jadi, agamanya apa pun, sukunya apa pun, tetap kita layani dalam pemulasaraan jenazah Covid-19.

 
Pemulasaran Jenazah
(Suara Indriyanto)
 

 

Adakah tantangan dalam menjalankan kerja kerelawanan ini?

Sebenarnya, tantangannya adalah edukasi di masyarakat. Sebab, ini (Covid-19) kan hal yang baru. Jadi, kami bersama dengan pihak rumah sakit juga harus mengedukasi keluarga agar mau menerima prosedur-prosedur yang harus kita sepakati bersama.

Misalnya, ketika ada orang meninggal. Terkadang, pihak keluarga tidak mau menerima kalau jenazahnya itu divonis PDP. Kadang pula, dari keluarga ada yang ingin menyentuh atau melakukan pemulasaraan sendiri.

Nah, ini yang perlu kita perkuat edukasinya. Tantangannya di situ. Kita harus bertemu dengan pihak keluarganya dulu, mengedukasi mereka dulu. Kita juga mengedukasi masyarakatnya agar terbuka untuk pemakaman. Nah, itu prosesnya malah lebih panjang dari proses pemulasaraannya.

Kadang, dengan satu kali pemakaman --jenazah itu, kita membutuhkan waktu sekitar empat hingga lima jam. Sebab, ada proses edukasi keluarga dan masyarakat. Seperti itu, untuk di awal-awal munculnya Covid-19.

Pendapat Anda tentang kasus penolakan jenazah positif Covid-19?

Nah, sebenarnya menolak jenazah itu tidak baik. Sebab, bagaimanapun jenazah itu perlu ditangani dengan pemakaman. Mungkin, di fase-fase awal (pandemi Covid-19) itu ada penolakan. Sebab, edukasi untuk masyarakat belum kuat. Kekhawatiran dan kepanikan orang masih tinggi.

Kami mengedukasi masyarakat, sebenarnya jenazah itu tidak berbahaya karena tidak bergerak. Yang berbahaya itu adalah orang yang masih hidup karena cenderung bergerak. Jadi, ketika ada orang menolak (jenazah), kami sampaikan bahwa jenazah ini sudah tidak berbahaya karena sudah menggunakan prosedur Covid-19 untuk dimakamkan.

Setelah dimakamkan juga tidak akan ada penularan dari makam kecuali kalau jenazah itu disentuh. Kalau ada orang yang memegang dan lantas bergerak, itu yang justru lebih berbahaya. Nah, ini yang kami sampaikan terus menerus.

photo
Relawan menggotong peti berisi jenazah meninggal akibat Covid-19 - (DOK Istimewa)

Jalan Menuju ‘New Normal’ Masih Panjang

Fenomena Covid-19 di Indonesia masih mengalami kurva naik. Bahkan, dalam pekan pertama bulan ini jumlah kasus positif per hari menembus angka seribu. Jumlah orang yang wafat akibat terinfeksi virus korona baru juga meningkat dari hari ke hari.

Dalam kondisi demikian, pemerintah menyuarakan wacana tatanan kebiasaan baru (new normal). Pembatasan sosial berskala besar (PSBB), bentuk yang lebih longgar daripada karantina wilayah (lockdown), akan mulai dilonggarkan.

Terkait itu, Ketua Divisi Tanggap Darurat Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (Muhammadiyah Disaster Management Center/MDMC) Indrayanto meminta rencana pelonggaran ditinjau terlebih dahulu. Sebab, lanjut dia, proses menuju new normalmasih panjang.

 
Kesiapan New Normal dan Tanggap Darurat
(Suara Indriyanto)
 

"Dalam tahapan penanganan darurat bencana, ada fase siaga darurat. Seharusnya, di Indonesia ini Desember 2019 lalu sudah memberlakukan siaga darurat, tetapi tidak dijalankan," kata Indrayanto saat dihubungi Republika baru-baru ini.

Dalam situasi pandemi Covid-19, menurut dia, Indonesia sesungguhnya masih berada dalam situasi tanggap darurat. Sayangnya, kapan fase tanggap darurat ini berakhir belum dapat dipastikan.

Ia menyarankan kepada para pemangku kepentingan untuk menggiatkan tes. Ini penting agar kasus-kasus positif Covid-19 di seluruh Tanah Air dapat terdeteksi. Di satu sisi, pemasifan tes akan membuat kurva kasus Covid-19 nasional tampak terus menanjak. Namun, di sisi lain ini bermanfaat agar pembuat kebijakan dapat menyusun rencana yang lebih berbasis riset.

photo
Ketua Divisi Tanggap Darurat MDMC Indrayanto - (DOK Istimewa)

"Jadi, menurut kami, kurvanya harus dinaikkan dulu karena kita harus mencari yang terdampak itu sebanyak-banyaknya. Ini agar bisa ditangani dengan baik untuk diturunkan kurvanya," kata penggerak Relawan Jenazah Covid-19 itu.

"Nah, kalau sudah turun kurvanya, barulah kita memasuki pada titik ideal. Di mana, masyarakat dinyatakan aman untuk memasuki masa transisi darurat kepemulihan atau masa menuju apa yang disebut newnormaltadi," sambung dia.

Indrayanto juga meminta pemerintah untuk menegaskan dan menyiarkan definisi new normal yang tepat. Menurutnya, normal baru bukan berarti masyarakat dapat leluasa seperti di masa sebelum munculnya pandemi. Mereka justru harus tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku saat wabah beserta tambahan-tambahan yang diperlukan.

"Seharusnya, berbicara new normal ini kalau sudah fase di mana transisi darurat kepemulihan ini sudah berjalan, nah barulah kita bicarakan new normal," simpul dia.

Dalam menghadapi bahaya pandemi, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah telah menggerakkan berbagai sumber daya. MDMC juga membentuk basis kerelawanan untuk menyelengarakan pemulasaraan jenazah dengan standar protokol Covid-19.

Indrayanto mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk membantu negara dalam mengatasi persoalan bersama ini. Apalagi, kini Covid-19 sudah menyebar di 34 provinsi se- Indonesia. Menurut dia, sudah saatnya pemerintah memetakan, mana saja wilayah di Tanah Air yang memiliki indikasi lonjakan kasus Covid-19. Caranya, terutama dengan menggalakkan testing.

"Seperti contoh kasus di Surabaya ini cukup bagus. Di sana, ditarik kurvanya naik ke atas. Dicari semua yang terdampak positif sehingga bisa segera ditangani," kata dia.

Pemerintah juga diharapkan dapat merumuskan tindakan pemisahan penanganan di berbagai sentra layanan medis. Sebab, saat ini banyak rumah sakit di Indonesia yang tak bisa memberikan pelayanan terhadap pengunjung dengan indikasi penyakit biasa --di luar Covid-19. Padahal, mereka adakalanya juga membutuhkan penanganan medis segera. Ia pun menyarankan, pemerintah segera membangun rumah-rumah sakit khusus penyakit menular di tiap provinsi.

"Maka, yang khusus penyakit infeksius ini harus didirikan rumah sakit tersendiri. Nah, dari rumah sakit yang terpisah inilah, petugas medis akan konsentrasi dengan tugasnya. Adapun rumah sakit yang reguler tetap melayani masyarakat yang terkena penyakit biasa," papar Indrayanto.

Pandemi diakui mengubah banyak hal. Publik yang biasa berinteraksi langsung di luar, menjadi terkendala. Indrayanto berharap, masyarakat dapat terus meningkatkan kesabaran dan kehati-hatian di tengah situasi sekarang. Sebab, Indonesia belum keluar dari mendung Covid-19.

"Kalau berharap terus kepada pemerintah, juga tidak mungkin. Masyarakat juga harus mandiri. Nah, di sinilah peran Muhammadiyah dalam membantu dan mengedukasi masyarakat agar mampu melawan Covid-19 secara berdikari," tutup dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat