Petugas kesehatan menyemprotkan cairan disinfektan ke atas permukaan barang bawaan milik ABK asal Indonesia. (ilustrasi) | ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Nasional

Kerja Paksa ABK Marak

Kemenlu nilai moratorium tak menghentikan akar permasalahan kerja paksa ABK.

JAKARTA -- Kasus dugaan perdagangan orang serta kerja paksa yang menimpa anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Indonesia di kapal ikan asing ternyata sangat banyak setiap tahunnya. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mengungkapkan, perbudakan ABK WNI itu seperti fenomena puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak terekspos.

"Kasus-kasus ini adalah puncak gunung es," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Judha Nugraha dalam diskusi daring mengenai kejahatan pada industri perikanan tangkap yang digelar di Jakarta, Rabu (10/6).

Dalam tiga tahun terakhir, kata dia, ada ribuan kasus ABK WNI yang ditangani BHI terkait pelaut. Pada 2017 ada sekitar 1.200 kasus, 2018 sekitar 1.200 kasus, dan 2019 1.095 kasus. 

Judha mengatakan, hal yang penting dilakukan adalah membenahi tata kelola migrasi yang merupakan jawaban agar awak kapal perikanan Indonesia dapat memperoleh perlindungan yang lebih baik.

Untuk itu, Judha menginginkan agar perlindungan dilakukan sejak dilakukannya perekrutan. Namun, masalahnya, banyak awak kapal yang berangkat tidak melalui prosedur yang semestinya.

Sementara, wacana moratorum pengiriman ABK ke berbagai kapal ikan asing dinilai hanya sebagai solusi jangka pendek. Menurut Judha, moratorium tidak akan menghentikan akar permasalahan kerja paksa WNI di luar negeri. "Mesti kita moratorium, tapi ini tidak serta merta akan berhenti. Sebagai satu langkah kebijakan pendek, (moratorium) itu bisa kita lakukan," kata dia. 

Langkah strategis pemerintah saat ini, kata dia, melalui perbaikan tata kelola, perbaikan perjanjian kerja laut, perbaikan kompetensi, dan upaya penegakan hukum. "Khususnya kepada penegakan hukum, kami mendorong pemberatan hukuman mesti diberikan kepada pelaku perdagangan orang," kata dia.

photo
Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas 1 Soekarno Hatta memeriksa dokumen kesehatan sembilan anak buah kapal (ABK) dari Korea Selatan setibanya di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (29/5/2020) malam. Kementerian Tenaga Kerja berhasil memulangkan sembilan orang ABK asal Indonesia yang mendapat kekerasan fisik serta tidak mendapat gaji yang bekerja di kapal perusahaan RRT Zhouyu 603 dan Zhouyu 605 - (MUHAMMAD IQBAL/ANTARA FOTO)

Dalam diskusi yang sama, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memaparkan, dalam kurun delapan bulan terjadi tujuh kasus yang menimpa awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera Cina.

"Kami mencatat, 73 orang awak kapal Indonesia yang menjadi korban kekerasan ketika bekerja di kapal Cina dengan rincian tujuh orang meninggal, tiga orang hilang, dan 63 orang selamat," kata Abdi. Data ini berbeda dengan yang diungkapkan Abdi sebelumnya yang hanya 30 korban. 

Abdi meminta pemerintah memperkuat kerja sama internasional bidang tenaga kerja, khususnya bagi awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan luar negeri agar dapat lebih terlindungi. Ketua Dewan Pimpinan Pergerakan Pelaut Indonesia Sulawesi Utara Anwar Dalewa juga mendesak aparat kepolisian segera menyelesaikan kasus kerja paksa dan TPPO itu secara tuntas dan transparan. 

Sementara, anggota National Programme Coordinator untuk Counter-Trafficking and Labour Migration Unit (CTLM) di IOM Indonesia Among Pundhi Resi menilai, tantangan pengungkapan TPPO di bidang perikanan tangkap sangat kompleks. Kasus itu berkaitan dengan aktivitas kapal tangkap yang sulit dideteksi, koordinasi antarnegara yang terlibat, serta pemahaman isu perdagangan orang.

Proses hukum

Penyiksaan dan kerja paksa ABK Indonesia di kapal Cina terungkap secara berturut pada Mei-Juni. Kasus pertama muncul pada Selasa (5/5) saat awak kapal ikan Long Xing 629 melempar jenazah ABK WNI yang telah meninggal dunia di tengah laut. Kemudian, pada Sabtu (9/6) video ABK yang meninggal diduga karena penyiksaan di kapal Luqin Yuan Yu 623 kembali muncul. Terakhir, kasus yang menimpa Andri Juniansyah dan Reynalfi yang melompat dari kapal Lu Qing Yuan Yu 901 di Selat Malaka pada Jumat (5/6).

Dalam kasus terakhir, Judha Nugraha mengaku, pihaknya dan Polri masih menyelidikinya. "Mereka saat ini telah berada di kantor Polsek Tebing Karimun, kondisinya sehat. Kita masih melakukan pendalaman kasus ini lebih lanjut, bekerja sama dengan Kepolisian RI," kata Judha.

Pernyataan Jhuda masih sama dengan yang sebelumnya diungkapkan Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kepulauan Riau Kombes Arie Darmanto. Pada Selasa (9/6) Arie mengatakan, kedua korban masih dalam kondisi trauma. “Kedua ABK tersebut sudah kami amankan dan sekarang sudah di Batam untuk kami mintai keterangan. Namun, belum bisa maksimal karena korban masih trauma dan sulit mengingat kronologi (kejadian)-nya," kata Arie. 

Arie mengatakan, saat ini, pihaknya tengah menyelidiki dugaan TPPO terhadap keduanya. Mereka direkrut dengan iming-iming gaji besar. "Namun, dieksploitasi untuk melakukan pekerjaan kasar di kapal penangkap ikan berbendera Cina tanpa menerima gaji selama bekerja di kapal,” kata dia. Berdasarkan informasi, terduga pelaku TPPO berada di wilayah DKI Jakarta.

FAKTA ANGKA:

1.200 kasus ABK pada 2017 

1.200 kasus 2018 

1.095 kasus ABK 2019

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat