Derasnya laju perubahan dalam era digital akan membutuhkan kemampuan hyper-learning. | EPA-EFE/DAREK DELMANOWICZ

Opini

Tantangan Utama Bagi Manusia di Era Digital: Hyper-Learning

Derasnya laju perubahan di era digital membutuhkan kemampuan hyper-learning.

Ditulis dan hak cipta © oleh EDWARD D HESS, Professor of Business Administration, Batten Executive-in-Residence, Batten Faculty Fellow, Darden School of Business, University of Virginia; Diterjemahkan oleh ERY R ZAIDIR (Darden Alumni, Class 2018), berdomisili di Jeddah, Arab Saudi *

 

Saat ini, beradaptasi dengan Covid-19 telah dan akan terus menjadi tantangan terpenting bagi setiap orang dan organisasi. Wabah ini menyadarkan betapa sulitnya bagi kita untuk melakukan adaptasi dalam aktivitas rutin kita, baik dalam cara hidup sehari-hari maupun cara bekerja kita, emosional, pikiran dan perilaku.

Namun demikian, kemampuan untuk terus beradaptasi tidak akan hilang ketika wabah Covid-19 ini bisa teratasi. Justru sebaliknya, kemampuan untuk beradaptasi akan menjadi keharusan.

Kita semua harus menjadi pembelajar yang sangat adaptif, menjadi "hyper-learner" yang terus menerus meningkatkan kemampuan untuk belajar dan beradaptasi. Yaitu, kemampuan untuk belajar sesuatu yang baru (learning), menanggalkan/membuang sesuatu yang selama ini kita dapat dalam proses pembelajaran terdahulu karena ada yang salah di dalamnya atau telah usang, (unlearning) dan mempelajari kembali suatu hal dengan pendekatan/ilmu yang baru (relearning). Derasnya laju perubahan dalam era digital akan membutuhkan kemampuan "hyper-learning" tersebut.

Di era digital, penggabungan beberapa teknologi canggih akan mengubah cara kita hidup dan bagaimana kita bekerja. Di tempat bekerja, manusia akan diperlukan untuk melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh teknologi dengan baik, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Tugas tersebut antara lain adalah menjelajahi sesuatu yang tidak diketahui, mencari hal baru, kreatif, imajinatif, dan inovatif; terlibat dalam tingkat yang pemikiran yang sangat kritis; membuat keputusan dalam keadaan dengan banyak ketidakpastian dan sedikit data; dan berhubungan secara emosional dengan cara yang positif dengan manusia lain. Semua pelaksanaan tugas tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan manusia dalam caranya memandang dan terlibat dalam proses pembelajaran.

photo
Di era digital, penggabungan beberapa teknologi canggih akan mengubah cara kita hidup dan bagaimana kita bekerja. Derasnya laju perubahan dalam era digital akan membutuhkan kemampuan hyper-learning - ( EPA-EFE/DAREK DELMANOWICZ)

Ilmu pembelajaran orang dewasa

Ilmu pembelajaran orang dewasa dengan jelas menunjukkan bahwa kita tidak pandai dalam pembelajaran adaptif karena otak dan pikiran kita diarahkan untuk menjadi prosesor cepat yang efisien. Sederhananya, otak Anda tidak merasakan realitas, tetapi membangunnya dari pengalaman masa lalu Anda.

Inilah sebabnya mengapa para ilmuwan mengatakan bahwa kita sebenarnya "melihat apa yang kita percayai" daripada sebaliknya, "mempercayai apa yang kita lihat."

Kita secara alami berusaha untuk mengesahkan apa yang kita yakini dan apa yang kita inginkan untuk dilihat dan dirasakan; untuk melindungi ego kita; untuk mengupayakan kesatupaduan mental model kita (proses pemikiran seseorang tentang bagaimana sesuatu bekerja di dunia nyata); dan kita bertindak secara "autopilot" dalam sebagian besar waktu.

Apalagi dengan sering adanya kesalahan dalam berpikir/menilai (bias kognitif) yang menjadi penghambat besar dalam proses belajar, yaitu: ego kita dan rasa takut kita. Itulah sebabnya mengapa hyper-learning akan menjadi tantangan bagi kita. Kenyataannya bahwa kita semua adalah pembelajar yang kurang baik, kurang optimal.

Ilmu pengetahuan secara jelas menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa mencapai keunggulan belajar secara sendirian. Kita tidak dapat mengatasi kebiasaan yang sudah tertanam atau cara berpikir (buruk) kita oleh diri kita sendiri. Kita butuh orang lain untuk membantu kita berpikir dan belajar mencapai tingkat yang tertinggi.

Supaya kita untuk unggul dalam melakukan tugas yang lebih kompleks yang mana teknologi canggih tidak akan mampu melakukannya dengan baik, kita harus merangkul pendekatan baru untuk belajar, baik secara individual maupun organisasional. Kita akan dipaksa untuk merangkul suatu cara baru berperilaku dan cara baru untuk bekerja yang memungkinkan manusia untuk beradaptasi secara terus menerus dengan hyper-learning.

photo
Derasnya laju perubahan dalam era digital akan membutuhkan kemampuan hyper-learning - ( EPA-EFE/DAREK DELMANOWICZ)

Tantangan manusia

Hyper-learning adalah sesuatu yang kognitif (penalaran logika), perilaku, dan emosional. Ya, hyper-learning adalah perilaku. Ia adalah bagaimana Anda berpikir, bagaimana Anda mendengarkan, bagaimana Anda berhubungan dan berurusan dengan orang secara emosional, dan bagaimana Anda berkolaborasi.

Dan itu adalah bagaimana Anda mengelola apa yang sedang terjadi dalam pikiran Anda, tubuh Anda dan emosional Anda. Hyper-learning dimulai dengan pola pikir (mindset).

 

Pola pikir hyper-learning 

Di era digital, kita perlu melatih pikiran kita untuk memprioritaskan:

• Mencari sesuatu yang baru, eksplorasi, dan penemuan --bukan konfirmasi, penegasan, dan kedekatan pada sesuatu;

• Aktif mencari informasi yang mengkritisi apa yang kita percaya selama ini;

• Mengajukan pertanyaan yang menuntun pada eksplorasi dan penemuan (misalnya, Mengapa? Bagaimana jika? Mengapa tidak?);

• Tidak langsung menilai/menyimpulkan (mengatakan, "Ya dan..." Bukan "Ya, tapi...") dalam rangka untuk mengeksplorasi dan menemukan sesuatu;

• Merangkul perbedaan dan mencoba untuk mencari makna dari perbedaan itu;

• Merangkul ambiguitas (sesuatu yang bisa bermakna dua) dengan tidak bergegas untuk sekedar membuat keputusan yang menyenangkan dan kilat;

• Berani bilang "saya tidak tahu hal itu" dan mencoba mencari tahu akan hal itu; dan

• "Sense-making" (proses memaknai atau memberi makna terhadap sesuatu) dan "emergent thinking" (proses belajar yang memampukan kita "menguasai" pikiran kita sebagai lawan dari "diperbudak" atau terkuasi oleh pemikiran yang usang).

Jenis pola pikir apa yang akan membantu kita melakukan itu? Saya percaya jawabannya adalah kombinasi dari pembelajaran umum dari filosofi lawas Timur dan Barat ditambah dua konsep modern; "Growth mindset" (Profesor Carol Dweck) dan "New smart mindset" (Profesor Edward D Hess, "Humility is the new smart - Kerendahan hati adalah kecerdasan baru”).

"Growth mindset" atau "pola pikir pertumbuhan" memungkinkan hyper-learning karena kemampuan kita untuk belajar tidak dipengaruhi oleh IQ atau usia kita. "Smart mindset" atau "pola pikir kerendahan hati adalah kecerdasan baru” dirancang untuk membantu kita mengatasi dua penghambar terbesar untuk belajar, yaitu: ego dan rasa takut.

Berikut adalah lima prinsip dari "New smart" / "Kecerdasan baru":

1. Saya tidak didefinisikan atau diartikan oleh apa yang saya tahu atau berapa banyak yang saya tahu, tetapi oleh kualitas dari pemikiran saya, kemampuan saya mendengarkan, berhubungan, dan berkolaborasi.

2. Model mental saya bukanlah realitas --itu hanyalah kesimpulan secara umum tentang bagaimana lingkup dunia saya bekerja.

3. Saya bukanlah ide-ide saya, dan saya harus memisahkan keyakinan saya (bukan nilai-nilai luhur) dari ego saya.

4. Saya harus berpikiran terbuka dan memperlakukan keyakinan saya (bukan nilai-nilai luhur) sebagai hipotesis untuk terus-menerus diuji dan dapat dimodifikasi oleh data dan fakta yang lebih baik.

5. Kesalahan dan kegagalan saya adalah kesempatan untuk belajar.

Pola pikir hyper-learning akan memungkinkan perilaku hyper-learning.

 

Perilaku hyper-learning

Jenis pola pikir apa yang akan membantu kita melakukan itu? Saya percaya jawabannya adalah kombinasi dari pembelajaran umum dari filosofi lawas Timur dan Barat ditambah dua konsep modern; "Growth mindset" (Profesor Carol Dweck) dan "New smart mindset" (Profesor Edward D Hess, "Humility is the new smart - Kerendahan hati adalah kecerdasan baru”).

"Growth mindset" atau "pola pikir pertumbuhan" memungkinkan hyper-learning karena kemampuan kita untuk belajar tidak dipengaruhi oleh IQ atau usia kita. "Smart mindset" atau "pola pikir kerendahan hati adalah kecerdasan baru” dirancang untuk membantu kita mengatasi dua penghambar terbesar untuk belajar, yaitu: ego dan rasa takut.

Di era digital, masa lalu tidak lagi menjadi prediktor handal masa depan. Kita manusia harus belajar untuk berpikir secara berbeda dan itu berarti kita harus berperilaku berbeda pula. Dan mendefinisikan pengamatan detil sub-perilaku yang terukur yang membuktikan perilaku yang dikehendaki dan juga membuktikan tidak adanya perilaku yang diinginkan.

Ini semua adalah tentang hal-hal yang kecil, seperti:

Bagaimana Anda berbicara; kata yang Anda gunakan; nada bicara Anda; cara Anda berhubungan dengan orang; ekspresi wajah Anda; kehadiran/keberadaan Anda; bagaimana Anda mendengarkan; bagaimana Anda berkolaborasi; bagaimana Anda berpikir; dan bagaimana Anda berurusan dengan emosi dan perselisihan.

photo
Contoh Perilaku Hyper-Learning - (DOK Penulis)

Tujuan dari mengadopsi dan menjalankan perilaku hyper-learning adalah untuk mengurangi kecenderungan berikut yang menghambat adaptasi manusia:

1. Cara berpikir yang tertutup (close-minded) yang hanya ingin mencari konfirmasi, penegasan, kekompakan, dan sekedar menjaga harmoni;

2. Ego kita yang terikat dengan apa yang kita pikir kita tahu yang mengarah pada tindakan pembelaan, penyangkalan, dan menyerang balik dalam menghadapi informasi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan keyakinan kita;

3. Mendengarkan untuk sekadar mengkonfirmasi, bukan untuk mencari tahu dan mengerti;

4. Berperilaku seolah-olah berkolaborasi (bekerja sama) adalah sebuah kompetisi;

5. Menjadi pendengar yang buruk karena kita membiarkan pikiran kita mengembara atau kita mulai menyiapkan jawaban kita sementara orang lain masih berbicara atau kita menyela orang sebelum mereka selesai berbagi pandangan mereka;

6. Terburu-buru dalam mengambil posisi tanpa mengajukan pertanyaan untuk memastikan Anda memahami apa yang dimaksudkan oleh orang lain;

7. Tidak mencari tahu keseluruhan data, termasuk yang berseberangan kesimpulan dan analisanya; dan

8. Takut membuat kesalahan, takut terlihat tampil tidak cerdas, dan tidak disukai.

 

Tantangan organisasi

Hyper-learning membutuhkan linkungan kerja positif yang memiliki pendekatan kemanusiaan dan keamanan secara emosional. Hyper-learning membutuhkan lingkungan pekerjaan yang berorientasi pada tim dan sangat kolaboratif, bukan individualistik (survival-of-the-fittest), juga bukan lingkungan yang kompetitif. 

Sebuah organisasi harus mengaktifkan hyper-learning melalui budaya perusahaan, pola kepemimpinan dan dengan menjadi praktik-praktik hyper-learning ke dalam cara orang bekerja sehari-hari. Bagi banyak organisasi itu akan memerlukan cara baru bekerja.

photo
Tantangan Organisasi Cara Kerja Lama-Cara Kerja Baru - (DOK Penulis)
photo
Tantangan Organisasi Cara Kerja Lama-Cara Kerja Baru - (DOK Penulis)

Selama 10 tahun ke depan, era digital akan mengotomatisasi puluhan juta pekerjaan di Amerika Serikat. Bukan hanya pekerjaan manufaktur tetapi juga dalam hal pelayanan, pekerjaan yang memerlukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan profesional.

Teknologi canggih akan memiliki kemampuan untuk terus memperbarui "mental model"-nya lebih cepat dan lebih baik dari kita manusia. Yang membedakan adalah kemampuan kita untuk bisa lebih unggul pada cara-cara berpikir di mana teknologi tidak bisa melakukannya dengan baik.

Itu membutuhkan individu dan organisasi untuk menjadi lebih disiplin dan ketat dalam mengoptimalkan adaptasi manusia terus menerus melalui hyper-learning: pembelajaran yang berkelanjutan: learning, unlearning, dan relearning.

photo
Derasnya laju perubahan dalam era digital akan membutuhkan kemampuan hyper-learning. Dibutuhkan individu dan organisasi untuk menjadi lebih disiplin dan ketat dalam mengoptimalkan adaptasi manusia terus menerus melalui hyper-learning - ( EPA-EFE/DAREK DELMANOWICZ)

*Sumber: LinkedIn, 22 Mei 2020

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat