Sejumlah buruh berjalan keluar dari pabrikdi Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/6). | Muhamad Ibnu Chazar/ANTARA FOTO

Opini

Tuntutan Menjadi Agile

Pandemi memberi pembelajaran pentingnya agile bagi perusahaan dan institusi

YASSIERLI, Guru Besar ITB dan Ketua Perhimpunan Ergonomi Indonesia 

Pandemi Covid-19 membuat sebagian besar perusahaan di dunia terpuruk dan banyak yang gulung tikar. Tidak ada yang menduga, pandemi ini begitu cepat, sangat disruptif, dan mematikan semua sektor kehidupan.

Benar kita telah memasuki era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity). Hanya perusahaan yang agile yang akan mampu bertahan

 Agile dalam arti kemampuan perusahaan untuk adaptif, fleksibel, dan kreatif terhadap perubahan lingkungan bisnis dan perubahan tuntutan stakeholder kunci. Amazon mungkin satu dari sebagian kecil perusahaan yang bertahan.

Saat dunia industri kebingungan, Amazon cepat mengubah strategi bisnisnya dengan memperkuat bisnis ritel daring. Saat perusahaan lain merumahkan karyawannya, Amazon merekrut tambahan 175 ribu karyawan (Fortune.com, 15/5/2020).

Kemampuan being agile Amazon didukung kebijakan dan budaya perusahaan, lebih mengedepankan people terhadap proses (Prinsip pertama Agile Manifesto).

 
Kian dewasa, kita semakin banyak melakukan hal baru dan bertambah cerdas semakin cepat. Tapi, mengapa saat memasuki dunia kerja, kurva cenderung melandai?
 
 

Para ahli menyimpulkan, kunci utama being agile adalah agile mindset. Pola pikir ini tecermin dari keinginan untuk terus belajar, mau menghadapi tantangan, tidak takut gagal, dan sangat ingin menerima umpan balik.

Pola pikir yang disebut Dr Dweck (2006) sebagai growing mindset. Sebaliknya, fixed mindset cenderung memilih pekerjaan rutin dan lebih mementingkan tampilan sebagai seorang yang telah menguasai sesuatu serta tidak boleh gagal.

Tidak pernah gagal yang sebenarnya karena tidak mau mencoba dan takut mengambil risiko.

Ada yang aneh dalam kurva pembelajaran kita. Usai lulus kuliah, telah menunggu pekerjaan di perusahaan dan institusi dengan uraian tugas relatif spesifik. Bekerja sesuai arahan pimpinan dengan tahapan perinci, yang ditumbuhkan adalah fixed mindset.

Padahal, sejak lahir, kita memiliki kurva pembelajaran eksponensial. Kian dewasa, kita semakin banyak melakukan hal baru dan bertambah cerdas semakin cepat. Tapi, mengapa saat memasuki dunia kerja, kurva cenderung melandai?

Kita melakukan hal yang hampir sama setiap hari. Pimpinan menuntut kreativitas dan inovasi, tanpa sadar rancangan organisasi dan budaya yang ada tidak kondusif untuk itu.

Sebagian besar yang kita kerjakan saat ini bisa dianggap tipe pekerjaan “pabrik”, dengan karakteristik terdefinisi dengan jelas, lingkup spesifik, dan relatif kurang membutuhkan inovasi. Komunikasi juga terkungkung dalam sekat organisasi.

 
Ergonomi muncul untuk memastikan semua rancangan sistem kerja telah memperhatikan berbagai keterbatasan manusia.
 
 

Kondisi kontras, kalau kita melihat perusahaan rintisan yang terus berinovasi dan belajar. Mereka memahami, keinginan konsumen abstrak dan perlu berulang siklus uji coba-gagal-belajar untuk bisa menjawab keinginan konsumen.

Namun, bukan berarti agile  hanya relevan untuk perusahaan rintisan. Berbagai praktik terbaik mulai muncul bagaimana perusahaan besar juga mampu melakukan transformasi agile  .

Pandangan konvensional menganggap manusia sebagai sumber daya yang harus dikontrol, karena rentan terhadap kesalahan, kecelakaan kerja, dan risiko gangguan kesehatan. Muncullah manajemen K3 dengan berbagai panduan dan standar untuk mitigasi.

Ergonomi muncul untuk memastikan semua rancangan sistem kerja telah memperhatikan berbagai keterbatasan manusia.

Teknologi eksoskeleton dan augmented reality (AR), misalnya, mampu meningkatkan kapabilitas manusia dalam aspek fisik dan kognitif secara individu. Konsep partisipatif ergonomi diusulkan untuk mengoptimalkan peran pekerja secara bottom-up.

Tantangan selanjutnya dalam konteks lebih makro, bagaimana menghasilkan rancangan organisasi yang mampu melejitkan potensi manusia secara kerja tim. Inilah peran penting agile mindset.

 
Pemimpin harus memastikan nilai pembelajaran lebih besar daripada biaya pembelajaran dan proses pembelajaran dilaksanakan secara efektif dan efisien. 
 
 

Tuntutan transformasi

Pola piramida yang secara top-down menuntut eksekusi dengan output dan lingkup pekerjaan telah terdefinisi terbukti lambat dalam merespons tuntutan stakeholder kunci organisasi yang serbacepat dan penuh ketidakpastian.

Maka itu, mau tidak mau, perusahaan dan institusi harus bertransformasi. Organisasi yang agile membutuhkan kepemimpinan yang agile   tergambar dari corak, tata nilai, dan perilaku.

Sulit mencari pemimpin yang siap menerima kegagalan sebagai bagian proses pembelajaran jangka panjang, tetapi tetap secara keseluruhan mampu memberikan nilai tambah bagi stakeholder kunci secara bertahap.

Pemimpin harus memastikan nilai pembelajaran lebih besar daripada biaya pembelajaran dan proses pembelajaran dilaksanakan secara efektif dan efisien. Untuk itu, diperlukan penyesuaian terhadap strategi organisasi, struktur organisasi, dan proses bisnis.

Sebuah studi menunjukkan, penghambat terbesar (53 persen) dalam adopsi agile   adalah kemampuan perusahaan mengubah budaya. Seorang pakar di AS yang dikenal sebagai Dr Agile ditanya, kapan sebaiknya perusahaan melakukan transformasi agile  .

Dengan tersenyum, beliau menjawab seharusnya dari dulu. Walaupun sebenarnya tidak ada kata terlambat membuat agile journey, pandemi Covid-19 memberi pembelajaran berharga pentingnya agile   bagi perusahaan dan institusi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat