Ismail Fahmi. Budayakan bijak bermedsos. | DOK Pribadi/Ismail Fahmi

Hiwar

Ismail Fahmi: Budayakan Bijak Bermedsos

Media sosial itu artinya kita berjejaring dengan orang lain.

Umat Islam telah menjalankan puasa sepanjang Ramadhan lalu. Menurut pakar sains informasi Ismail Fahmi, ibadah tersebut memberikan hikmah yang besar tentang keutamaan mengendalikan hawa nafsu. Suasana bulan suci mendidik kaum Muslimin agar menjauhi perilaku tercela, baik di ruang nyata maupun maya.

Dosen Universitas Islam Indonesia (UII) itu menyayangkan, media sosial (medsos) kerap menjadi arena penyebaran konten-konten negatif, semisal hoaks, ujaran kebencian, atau bahkan fitnah. Dengan memetik hikmah Ramadhan, alumnus University of Groningen (Belanda) itu mengajak kaum Muslimin untuk turut mendukung budaya bijak bermedia sosial. "Kita harus baca dari banyak sisi sehingga lebih bijak dalam bermedia sosial," ujar pengembang Drone Emprit itu.

Sejak 2014, Ismail Fahmi mengembangkan sistem Drone Emprit untuk memonitor media sosial dengan berbasis big data. Teknologi itu bermanfaat dalam melawan disinformasi yang berbedar di jagat maya. Sistem buatannya itu juga turut membantu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam menyisir dan memblokir situs-situs pornografi.

Berikut wawancara yang dilakukan wartawan Republika, Muhyiddin, dengan sosok kelahiran Bojonegoro, 4 Januari 1974, itu baru-baru ini.

Menurut Anda, bagaimana pengaruh media sosial terhadap masyarakat kita saat ini?

Pengaruhnya itu besar sekali. Ini bisa kita lihat dari data tentang apa yang paling banyak dipakai di media sosial saat ini. Pertama, orang saat ini paling banyak melihat Youtube, kemudian Facebook, Instagram, dan Twitter. Semua platform media sosial ini menjadi konsumsi hampir setiap hari, khususnya oleh generasi milenial atau generasi Z. Mereka banyak mencari informasi dari media sosial.

Kalau kita lihat, media konvensional memang banyak yang membuat tulisan, tetapi terkadang tidak semua dibaca atau dikonsumsi publik. Mungkin, ada beberapa artikel media online yang viral sehingga menjadi perbincangan luas. Namun, itu akan semakin banyak dikonsumsi justru ketika masuk ke media sosial.

Artinya, banyak orang yang mengetahui suatu berita kadang-kadang setelah berita itu dibagi di media sosial. Sebab, asumsi mereka itu, kalau sudah di-share, pasti menarik berita itu. Jadi, media sosial itu perannya sangat besar untuk menentukan apa yang akan dibaca dan apa yang akan dibahas publik.

Kalau media konvesional, itu kan bicara berdasarkan fakta. Dan, untuk satu isu tertentu, kadang menjadi ramai di media online, tetapi sepi di media sosial.

Jadi, enggak selamanya apa yang menjadi isu besar di media konvensional itu akan menjadi isu utama di media sosial. Namun, yang jelas media sosial itu memang sangat memengaruhi, seperti pembentukan opini publik dan lain-lain.

photo
Budayakan bijak bermedsos. - (Dok Republika/Abdan Syakura)

Bagaimana caranya agar kita menuai manfaat, bukan mudarat, dari media sosial?

Ini penting sekali kalau buat mereka yang menggunakan media sosial. Media sosial ini kan artinya kita berjejaring dengan orang lain. Nah, dalam konteks ini ada orang yang modelnya itu hanya mem-follow dan berinteraksi cuma dengan orang yang berpandangan yang sama, baik dalam hal perspektif keagamaan maupun politik.

Nah, menurut saya, ini sangat berbahaya. Sebab, kita hanya melihat dari satu sisi. Akibatnya, kita bisa menjadi sangat dogmatis. Jadi, kita tetap terbuka di media sosial, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa sangat tertutup. Sebab, kita hanya mem-follow orang-orang yang sepandangan dengan kita.

Di media sosial, kalau kita mau mendapatkan manfaat, kita harus follow semuanya dari banyak sisi. Dengan begitu, kita bisa membaca dari banyak pihak. Setelah itu, kita akan menjadi orang yang siap untuk membuka pikiran dan tidak menjadi dogmatis. Artinya, kita harus baca dari banyak sisi sehingga lebih bijak dalam bermedia sosial.

Kita perlu membaca dua sisi. Sebab, kita tidak tahu yang benar yang mana.Apalagi, terkadang kandi media sosial itu isu-isu banyak menjadi perdebatan.Dengan membaca dua sisi, kita tidak akan langsung menghakimi, mana yang benar dan mana yang salah.

Di media sosial, sering kali muncul fragmentasi politik. Bagaimana pendapat Anda?

Aspirasi pubik itu sebetulnya ada di mana-mana. Ada di mereka yang propemerintah, ada pula di mereka yang kontrapemerintah. Itu semua harus dilihat sebagai publik. Kalau pemerintah sudah terpilih dalam pilpres (pemilihan presiden) maka semuanya itu sudah selesai. Jadi, semuanya harus didengarkan di medsos.

Kalau ada yang sifatnya kritikan, itu harus menjadi perhatian. Namun, kalau ada yang sifatnya nyinyiran, ya dicuekin saja. Jadi, itu kalau dari sisi pemerintah supaya kita bisa mendapatkan manfaat dari media sosial. Adapun dari sisi masyarakat, supaya tidak terjadi polarisasi ini memang susah untuk dihindari.

Polarisasi itu pasti akan terjadi karena sifatnya orang itu memilih. Nah, cuma bagi masyarakat yang ingin aman bermedia sosial-seperti yang saya jelaskan sebelumnya-sebaiknya tetap terbuka, membaca semua dari banyak pihak. Yang menjadi ukuran kebenaran kita adalah data, fakta, dan sains.

Apa saja saran Anda untuk umat dalam bermedia sosial, terutama seusai Ramadhan?

Berpuasa itu menurut saya adalah mengendalikan hawa nafsu dalam diri kita. Bukan malah menghindari realitas, baik di lapangan maupun media sosial. Adanya perbedaan pandangan, perbedaan pendapat, dan suara-suara negatif di media sosial, di situlah kita berlatih untuk tetap sesuai dengan yang diperintahkan Allah.

Dalam berpuasa, misalnya, kita dilatih untuk tetap sabar. Maka, dalam bermedia sosial ke depannya kita harus bisa lebih sabar di media sosial. Jadi, ketika ada yang bersuara negatif di media sosial, kita tidak langsung bersikap reaktif.

Saya juga sering, ketika menulis kemudian dihapus lagi. Sebab, saya berpikir dulu seperti apa kira-kira respons orang-orang terhadap apa yang saya tulis. Ketika (tulisan) di-posting, saya berpikir ada atau tidak unsur emosi itu dalam tulisan saya.

Jika ada unsur emosi maka orang akan menangkap emosi itu dan tentu akan menimbulkan emosi lagi pada lainnya. Jadi, kalau kita emosional dalam bermedsos, orang lain juga akan emosional. Padahal, di bulan puasa kita dilatih untuk tidak mudah emosional. Jadi, dalam bermedsos pun kita harus bisa menahan diri dan lebih bijak.

Dalam situasi pandemi kini, bagaimana peran medsos menurut Anda?

Sangat besar perannya. Sebab, kita sama-sama tidak bisa keluar (dari rumah). Bagaimanapun, saya kira, kita terselamatkan dengan adanya media sosial dalam situasi pandemi ini. Contohnya, pada awal-awal ketika APD (alat pelindung diri) banyak kekurangan, rumah sakit banyak yang berteriak meminta bantuan APD, maka teman-teman langsung bergerak dengan memanfaatkan medsos.

Kemudian, saat awal-awal sebelum adanya Gerakan Masker Kain, misalnya, itu kan banyak yang berebutan. Tenaga kesehatan juga berebutan untuk mendapatkan masker bedah sama masker N95. Harganya sangat mahal.

 
Pengaruh Media Sosial Terhadap Masyarakat
(Suara Ismail Fahmi)
 

Saya sendiri itu pernah membelinya dengan harga Rp 21 juta dan hanya dapat lima boks masker N95 dan 20 boks masker bedah. Akhirnya, saya bikin Gerakan #100JutaMasker. Kalau tidak lewat media sosial, tidak akan jalan gerakan seperti itu.

Dari pengalaman itu, saya melihat, jauh lebih banyak orang-orang yang baik di medsos. Orang yang jahat itu sedikit dari segi proporsi. Jadi, media sosial bisa berperan untuk menyemarakkan berbuat kebaikan.

Seperti juga, misalnya, kalau ada kejadian orang tidak melakukan social distancing. Misal, dalam kasus McDonald's Sarinah kemarin. Itu kan langsung ramai di medsos.

Artinya, saya lihat kecendurungan orang-orang di medsos justru mendukung social distancing. Misalnya juga, shalat Tarawih atau shalat Jumat. Ketika ada yang ketahuan melakukan shalat Tarawih dan Jumat di masjid, itu menjadi pembahasan yang cukup ramai di medsos. Rata-rata para pengguna medsos banyak yang mengingatkan agar untuk sementara waktu tidak melakukan ibadah di masjid dalam situasi pandemi ini. Sebab, masih banyak virusnya.

Dalam kaitannya dengan social distancing, media sosial cukup membantu membangun awareness di tengah masyarakat. Begitu pula dengan munculnya inisiasi-inisiasi kebaikan untuk meringankan beban sesama. Medsos dapat mempertemukan ragam inisiatif demikian.

photo
Budayakan bijak bermedsos. - (Dok Antara/Ekho Ardiyanto)

Fenomena Belajar Agama Via Medsos

Saat ini, tak sedikit dai yang menggunakan berbagai platform media sosial (medsos). Menurut pakar sains informasi Ismail Fahmi, fenomena demikian berdampak cukup besar, terutama bagi generasi milenial dan generasi Z di Tanah Air. Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, mereka tidak lagi semata-mata mengandalkan buku atau kitab, tetapi juga teknologi informasi dalam memperoleh pemahaman keagamaan.

"Sekarang, mereka banyak belajar di media sosial yang sifatnya pendek, ringan, entertaining, menarik. Dan, yang bisa melakukan ini adalah ustaz yang lahir di zaman sekarang yang kemudian memanfaatkan gaya milenial di media sosial," ujar Ismail kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Pendiri Akademi Drone Emprit ini mengingatkan, medsos tak hanya berefek positif, tapi juga negatif. Di satu sisi, generasi muda menjadi lebih mengenal sosok-sosok ustaz atau ustazah yang menyiarkan dakwahnya via daring. Akan tetapi, di sisi lain, mereka dapat terbiasa mencari informasi yang mudah dan pendek. Bila terus dibiarkan, mereka akan puas pada pemahaman keislaman yang dangkal atau setengah-setengah.

"Tapi, apa yang dilakukan oleh ustaz-ustaz sekarang ini saya cenderung lebih optimistis untuk melihat sisi positifnya. Sebab, mereka sudah membuka kesadaran anak-anak muda untuk ke agama. Tapi, ini masih koma, belum selesai," kata lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan University of Groningen (Belanda) tersebut.

Oleh karena itu, ia menyarankan kepada para ustaz agar terus mendorong semangat belajar generasi milenial. Kalangan mubaligh dapat menasihati mereka agar tidak puas dengan konten-konten pengajian di medsos. Harapannya, mereka pun terstimulus untuk mengaji secara langsung (tatap muka).

"Jadi, mereka masih di level ghiroh. Itu sudah bagus, tetapi tindak lanjutnya harus diperdalam dan diperluas," ucap bapak dua orang anak ini.

Di zaman internet ini, menurut dia, pemahaman generasi muda bisa menjadi sangat sempit bila menjadi pengikut (follower) fanatik. Misalnya, mereka mengikuti satu ustaz atau satu kelompok saja. Ketika mendengarkan ustaz yang berbeda pandangan, mereka cenderung mudah menyalahkan. Menurut Ismail, anak-anak muda seyogianya memiliki pandangan yang terbuka. Tidak melihat dari satu sisi saja, melainkan banyak perspektif.

"Harapan saya, generasi milenial Muslim ini bangkit lewat keilmuan mereka, sains mereka, kreativitas mereka, jiwa entrepreneurship-nya," tuturnya.

Selain itu, ia juga berharap kalangan ustaz dapat terus mengingatkan kaum Muslimin tentang etika bermedsos. Dengan kemudahan yang disediakan teknologi, seolah-olah ada kesan bebas menyampaikan apa pun tanpa memperhatikan perasaaan orang lain.

"Padahal, itu salah. Di media sosial, apa yang kita tulis itu mencerminkan siapa diri kita. Apa yang kita tuliskan itu bisa berdampak kepada mereka yang membacanya," terang Ismail.

Tulisan yang bagus akan membuat orang lebih simpatik. Ketika suatu tulisan bersifat menyinggung, menghina, atau mencaci maki, respons yang ditimbulkannya sama. Konten yang negatif akan menghasilkan hal yang negatif pula.

"Di sinilah kita sebagai umat Islam dilatih selama Ramahdan lalu untuk menahan diri. Kuncinya adalah menahan diri. Seharusnya, setelah usai Ramadhan kita teruskan itu untuk bermedia sosial," kata dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat