Resonansi
Superspreader, Pelonggaran PSBB, dan Ketegasan
Protokol kesehatan harus jelas dan tegas jika melonggarkan PSBB.
Oleh ASMA NADIA
ASMA NADIA
Hanya butuh satu orang superspreader untuk mengacaukan sebuah tatanan saat PSBB dilonggarkan. Superspreader, sebutan ini muncul diperuntukkan bagi orang yang menularkan virus ke banyak orang. Pada beberapa wilayah yang melonjak tajam, penyebaran virus dipicu oleh seorang superspreader yang secara sadar atau tidak sadar menularkan penyakit secara berantai.
Kasus SAR, misalnya, penyebarannya menjadi mendunia diawali oleh seorang dokter yang menangani kasus SARS di Provinsi Guangdong. Saat itu ia tidak sadar terpapar virus lalu mengabaikan dan menganggap gejala ringan yang menjangkitinya, biasa. Merasa sehat maka ia berangkat ke Hong Kong untuk menghadiri pesta pernikahan keluarga, dan menginap di lantai 9 Hotel Metropole di Kowloon. Di hotel itu kemudian ia menulari 16 tamu di lantai yang sama. Semua tamu tersebut kemudian berpencar ke Kanada, Singapura, Taiwan, dan Vietnam, menjadi pembawa virus dan menularkan SARS di negara asal yang lalu mengakibatkan epidemi global. Akibatnya, tercatat; 346 meninggal di Taiwan, 251 meninggal di Kanada, 238 meninggal di Singapura, dan 63 kematian di Vietnam.
Serupa dengan kasus SARS, tidak sedikit kasus meningkatkan pasien covid-19 dimulai dari superspreader .
Di Korea Selatan, salah satu klaster terbesar bermula dari seorang wanita berusia 61 tahun yang menginfeksi setidaknya 37 orang. Meskipun mengalami demam, wanita ini dua kali menolak untuk dites, bahkan menghadiri empat kebaktian gereja hingga akhirnya wabah terjadi.
Setelah peristiwa tersebut, Pemerintah Korea berbenah. Mengadakan random rapid test dengan gencar dan memberlakukan pembatasan di banyak lokasi sehingga berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19. Korea menjadi contoh negara yang berhasil meredam penyebaran virus tanpa melakukan lockdown nasional.
Di Korea Selatan, salah satu klaster terbesar bermula dari seorang wanita berusia 61 tahun yang menginfeksi setidaknya 37 orang.
Akan tetapi, tak berselang lama, kini pembatasan sosial mulai kembali diberlakukan. Pemicunya? Superspreader . Pria berusia 20-an yang mengunjungi pub dan diduga menulari banyak orang. Akibatnya, lebih dari 100 orang terkontaminasi virus dan sekitar 7.000 orang kini dalam pengawasan. Setelah kejadian itu 5.700 tempat hiburan langsung ditutup.
Kasus superspreader dalam wabah korona juga terjadi di Eropa. Seorang pengidap virus korona berkebangsaan Inggris diduga telah menginfeksi selusin orang setelah dia kembali dari Singapura kemudian bermain ski di Pegunungan Alpen.
Di India, seorang pemuka agama berusia 70 tahun, sepulang dari Italia dan Jerman, meninggal akibat virus korona. Sebelumnya, ia menolak melakukan swakarantina bahkan sempat menghadiri festival Hola Mohalla yang berlangsung selama enam hari dan dipadati sekitar 10 ribu orang setiap harinya.
Mengenakan masker di tempat publik jelas merupakan keharusan.
Seminggu setelah dia meninggal, sebanyak 19 orang kerabatnya dinyatakan positif terkena penyakit Covid-19. Sementara 550 orang yang sempat melakukan kontak langsung dengan pemuka agama tersebut ditelusuri dan sebagai tindak lanjut pemerintah memutuskan untuk mengisolasi 40 ribu orang dari 20 desa.
Menyadari potensi superspreader pemerintah harus memastikan tidak ada celah sosok ini berkeliaran di kerumunan masyarakat. Sebenarnya, tanpa superspreader pun penyebaran penyakit masih sangat rentan, mengingat banyaknya orang tanpa gejala (OTG) di tengah masyarakat.
Karena itu tidak ada pilihan lain, pemerintah harus memberi protokol kesehatan yang jelas dan tegas dengan standar yang tinggi jika melakukan kelonggaran PSBB dengan dalih bagaimanapun denyut ekonomi harus berjalan.
Mengenakan masker di tempat publik jelas merupakan keharusan. Membawa hand sanitizer mungkin juga bisa menjadi kewajiban, apalagi sekarang hand sanitizer sudah mudah ditemukan. Tempat-tempat umum wajib pula menyediakan hand sanitizer. Pastikan menjaga jarak, baik di kendaraan umum, keramaian, tempat ibadah, maupun lokasi lainnya juga harus menjadi standar.
Jangan sampai kita melonggarkan PSBB, tapi berakibat mengalami kebobolan hingga harus memulai segalanya dari nol bahkan malah minus.
Memaksimalkan keterlibatan polisi dan TNI untuk penegakan protokol kesehatan sudah merupakan keniscayaan karena pada kenyataannya, terlepas kasus korona di Indonesia sudah melesat dan mencapai angka puluhan ribu, serta menewaskan banyak orang, tetap saja masih banyak masyarakat yang abai dengan kehati-hatian.
Kesadaran bahwa banyak OTG juga superspreader berkeliling seperti layaknya orang sehat, harus dicermati. Kita tidak bisa mendeteksi keberadaan mereka, tapi setidaknya dengan protokol yang jelas, risiko dari keberadaan mereka bisa diminimalisasi hingga tidak membahayakan sekitar.
Jangan lupa, seyogianya setiap kita pun menyadari potensi diri yang sangat mungkin membahayakan atau dibahayakan orang lain, hingga terbangun kewaspadaan berlapis. Bila hal ini belum terbangun, tidak ada jalan lain kecuali peraturan harus ditegakkan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.