Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Antara Pandemi dan Kebodohan

Mari bersikap lebih empati terhadap kondisi yang amat jauh lebih berat bagi sebagian kita.

Oleh ASMA NADIA

 

Oleh ASMA NADIA

Mereka bilang, saat ini bukan satu melainkan dua musuh yang harus kita lawan bersama, pandemi dan kebodohan. Hingga istilah ‘Covidiot’ kemudian tercetus dan dengan cepat populer. 

Ketika situasi darurat, mata terpaku pada angka-angka  kasus-di Indonesia saat ini melewati 16 ribu dan belum lagi mencapai titik puncak--rasanya sulit memercayai jika masih saja ada bentuk-bentuk kebodohan yang merebak. 

Tapi baru-baru ini, jagat media sosial gempar.  Seorang Youtuber dengan follower lebih dari dua juta orang, dalam sebuah wawancara mengatakan, “Aku jarang pakai masker. Kalau sheet mask aku pakai setiap hari. Kalau masker yang udara-udara gitu, aku nggak pakai. Kecuali memang kayak ditegur gitu. Tapi kalau tidak ditegur, kita lepas lagi. Ini napas sayang-sayang ditutup-tutup gitu lho. Sesak nih. Dada juga sesak.”

Jawabannya tersebut disambut gelak tawa pada video yang diunggah di sebuah kanal Youtube

Asli ketika menontonnya, saya tidak mengerti, mengapa yang mendengar bisa menganggap pernyataan demikian sebagai sebuah lelucon yang layak diapresiasi. Bukankah tawa merupakan cara kita menghargai sebuah kelucuan? 

 
Silakan jika ingin tampil beda, edgy, atau mau nyentrik dan berlawanan dengan mainstream, selama akibatnya bisa ditelan sendiri. 
 
 

Netizen ramai kemudian mengomentarinya sebagai salah satu pernyataan terbodoh yang pernah mereka dengar. Sebenarnya terkait kebodohan, setiap kita dalam hidup pasti melakukan kekhilafan kalau tidak boleh menyebutkannya sebagai satu kebodohan. Rasanya mungkin tidak cuma sekali. Bedanya, kebanyakan menelan  akibat dari kebodohannya sendiri hingga tidak membahayakan atau merugikan orang lain. Sebenarnya lagi, sah-sah saja jika  pernyataan ini mewakili prinsip pribadi-- sebagaimana siapa saja boleh berpendapat dan berhak memiliki sikap berbeda. 

Namun, jika kemudian disebarkan di ruang publik, apalagi yang bersangkutan memiliki ketokohan atau kekuasaan dengan berbagai definisinya --salah satunya eksistensi di media sosial-- pernyataan tersebut sangat mungkin berpengaruh luas bagi orang lain. 

Silakan jika ingin tampil beda, edgy, atau mau nyentrik dan berlawanan dengan mainstream, selama akibatnya bisa ditelan sendiri. Tapi jika kamu tokoh yang diakrabi apalagi oleh anak dan remaja, gunakan akal sehat dan logika.  

 Jangan asal lempar pernyataan ke masyarakat umum, hal yang kamu masih ragu  benar atau tidaknya, tapi pasti punya peluang mudharat bagi orang lain bila mereka mengikuti. Khususnya pada masa wabah saat ini. Di mana gaya hidup, yaitu kedisiplinan berpengaruh terhadap keselamatan tidak hanya diri sendiri.  

Pernyataan di atas, juga kalimat-kalimat selanjutnya, wajar jika kemudian menjengkelkan banyak orang sebab tidak sensitif. Bukan hanya sebagaimana dibilang netizen sebagai sebuah kebodohan melainkan juga bentuk sikap egois.

 
Sensitivitas seolah menguap. Mengentengkan soal masker, cuci tangan, atau menggunakan hand sanitize, sejatinya bukan untuk keselamatan kita sendiri. 
 
 

“Terus kalau misal ke mal atau pasar, atau segala macam, pegang-pegang, misal habis beli makanan nih, dari ojek online itu, aku nggak cuci tangan dulu baru makan. Jadi, kayak ambil-ambil atau apa segala macam, terus makan aja pakai tangan. Aku tipe yang kayak korona, B aja (biasa aja). Wallahu alam, lu kena korona kek, kena penyakit apa kek, demam berdarah kek, semua bisa mati, lu tahu nggak?”

Pada saat semua orang berjuang, mengurung diri lebih dari dua bulan mengikuti anjuran pemerintah. Menjalani Ramadhan pada bulan paling suci dengan beribadah di rumah sebab anjuran ulama. Masih ditambah harus menyaksikan sekeliling kehilangan pekerjaan akibat PHK maka mendengar pernyataan di atas, sungguh menyakitkan.

Sensitivitas seolah menguap. Mengentengkan soal masker, cuci tangan, atau menggunakan hand sanitize, sejatinya bukan untuk keselamatan kita sendiri. Sebab dengan masih minimnya tes swab, tidak ada di antara kita yang pasti bisa mengatakan kita sehat dan bukan carrier alias pembawa virus. 

Bersikap bodoh lain hal, bersikap abai terhadap kepentingan orang lain adalah hal lain. 

Masalahnya, Covid-19 bukan penyakit batuk, pilek, atau masuk angin biasa. Jika ada yang mau tidak peduli dan menganggap santai, tidak peduli dengan nyawanya, silakan. Tetapi jangan menyebarkan semangatmu ke orang lain, yang merupakan sikap abai dan egois.

Keramaian mendadak di sudut sebuah resto ayam baru-baru ini menegaskan lagi kalimat di awal tulisan. Tanpa keraguan, kita memang sedang berjuang tak hanya melawan korona, melainkan juga kebodohan.

Hanya demi sepotong kenangan, masyarakat rela berbondong-bondong, mengabaikan imbauan menjaga jarak dan menghindari keramaian.  Berduka, padahal ada yang lebih layak ditangisi untuk kondisi saat ini ketimbang tutup sementaranya resto ayam tersebut.

 
Mari bersikap lebih empati terhadap kondisi yang amat jauh lebih berat bagi sebagian kita.
 
 

Perjuangan masih panjang. Selain korban meninggal yang melalui angka 1.000 orang, banyak kenyataan pasien-pasien non-emergency yang menderita karena terpaksa menunda jadwal kontrol ke dokter, menahan sakit, bahkan yang harusnya dirawat inap terpaksa diminta rawat jalan dulu, sampai ada cukup banyak yang menunda operasi demi menghindari terpapar virus sebab menurut dokter, RS lebih berbahaya saat ini. 

“Saya harus bolak balik kontrol kehamilan sendiri sebab suami harus menjaga anak yang masih balita di rumah.”

“Ibu saya terpaksa dirawat jalan sebab tidak memungkinkan menurut dokter untuk rawat inap saat ini, bisa lebih berbahaya.”

“Adik saya tidak jadi melakukan operasi, padahal kondisinya parah.”

“Papa saya punya riwayat  meningitis, selaput otak, darah tinggi,  tapi tidak bisa ke RS, kondisi demam dan muntah-muntah dari kemarin.”

“Mami batalkan endoskopi lambung. Papa batalkan operasi tendon. Padahal, mereka sudah ikuti segala tahapan panjang, betul-betul selangkah lagi. Tapi mereka tertib, menahan sakit. Dengan harapan, apa yang ditahan tidak percuma.”

Mari bersikap lebih empati terhadap kondisi yang amat jauh lebih berat bagi sebagian kita. Inilah masanya  gaya hidup sehat dibutuhkan, juga kepatuhan untuk PSBB yang di negara-negara lain hanya dilonggarkan setelah terbukti terjadi penurunan sungguh-sungguh. Sesuatu yang belum terjadi di Tanah Air. 

Karena itu, jika ada kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian kita berupa nama besar atau popularitas, inilah saatnya kita bisa menggunakan itu untuk mengedukasi sesama dan membuat perjuangan selama ini tidak sia-sia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat