Petugas Masjid Al-Musyariin melihat posisi hilal (bulan sabit muda) menggunakan teropong untuk menentukan 1 Ramadhan 1441 H di Jakarta Barat, Kamis (23/4). | MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA FOTO

Opini

Idul Fitri Bersamaan

Mungkinkah hilal penentu Syawal 1441 H berhasil diamati pada rukyat nanti?

Oleh JUDHISTIRA ARIA UTAMA, Dosen dan Peneliti Bidang Astronomi-Astrofisika di Program Studi Fisika, FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

 

Berdasarkan takwim hijriyah Kementerian Agama, awal Ramadhan 1441 H mulai Kamis, 23 April 2020, setelah ijtimak (momentum bulan dan matahari berada di bujur ekliptika yang sama di bola langit pada hari yang sama pukul 09:26:51 WIB) setelah terbenamnya matahari. Maka itu, tibanya hari ke-29 Ramadhan tahun ini pada Kamis, 21 Mei 2020, setelah terbenam matahari.

Pengamal rukyat akan mengobservasi hilal menjelang berakhirnya hari ke-29 Ramadhan guna memastikan pergantian ke Syawal pada malam itu ataukah menggenapkan menjadi 30 hari. Observasi hilal diadakan petang keesokan harinya, Jumat 22 Mei 2020. Siklus sinodik bulan yang menjadi sandaran kalender Hijriyah memiliki durasi yang bervariasi, dari yang tersingkat 29,3 hari hingga yang terlama 29,8 hari.

Durasi satu lunasi ini mengacu ke peristiwa konjungsi. Konjungsi yang mengakhiri Ramadhan tahun ini terjadi pada Sabtu 23 Mei 2020 pukul 00:39:54 WIB. Durasi periode sinodik sejak konjungsi sebelumnya (yang mengakhiri Syakban 1441 H) dan konjungsi berikutnya yang mengakhiri Ramadhan 1441 H adalah selama 29 hari 15 jam 12 menit 58 detik.

Tampaknya, observasi hilal menjelang akhir hari ke-29 (Jumat, 22 Mei 2020) akan dilaksanakan sebelum konjungsi (Sabtu, 23 Mei 2020). Mungkinkah hilal penentu Syawal 1441 H berhasil diamati pada rukyat nanti?

photo
Anggota tim hisab rukyat Kemenag DKI Jakarta melakukan pemantauan hilal di Gedung Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. - (Edwin Dwi Putranto/Republika)

Hasil perhitungan Sopwan dkk (2018) pada kurun Juli 622 M hingga Desember 3000 M untuk lokasi di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, kemungkinan bulan sabit tua (fase bulan sebelum konjungsi) berketinggian positif ada di cakrawala arah barat saat matahari terbenam. Meskipun ini kasus yang sangat langka (hanya ada 56 kasus dari 7.433 kasus bulan sabit tua selama rentang waktu di atas), faktanya dapat terjadi di lapangan.

Bulan sabit tua dengan ketinggian positif (kurang dari 1 derajat) saat matahari terbenam ini, sebaran kejadiannya pada Februari, Maret, April, dan Mei. Bagaimana dengan posisi bulan saat rukyat, Jumat 22 Mei nanti?

Menggunakan bantuan perangkat lunak MoonCalc ver.6.0 dari Dr Monzur Ahmed, di Merauke (mewakili kawasan timur Indonesia yang mengamati hilal paling awal), bulan terbenam 17 menit 38 detik lebih awal daripada matahari. Kota Sabang (mewakili kawasan barat Indonesia yang mengamati hilal paling akhir), bulan terbenam 15 menit 7 detik sebelum terbenamnya matahari. Karena hilal didefinisikan sebagai sabit bulan paling awal yang diamati setelah konjungsi setelah terbenamnya matahari, dapat dipastikan saat rukyat nanti tidak akan diperoleh laporan kesaksian keberhasilan mengamati hilal.

Maka itu, sidang itsbat saat rukyat yang dipimpin menteri agama akan memutuskan untuk menggenapkan (istikmal) Ramadhan menjadi 30 hari. Artinya, malam hari setelah matahari terbenam pada Jumat, 22 Mei 2020, masih tanggal 30 Ramadhan 1441 H. Karena umur bulan dalam kalender hijriyah tidak mungkin lebih panjang dari 30 hari, rukyat pada akhir hari ke-30 Ramadhan yang bertepatan dengan Sabtu, 23 Mei 2020, tidak lagi dalam posisi menentukan.

Kendati begitu, rukyat pada akhir hari ke-30 bulan berjalan dapat menjadi alat uji bagi model matematis yang telah dikembangkan. Hasil observasi yang diperoleh juga menjadi data tambahan dalam pangkalan data hasil rukyat di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan sains tentang visibilitas hilal.

Penulis telah menghitung visibilitas hilal lokal untuk Merauke dan Sabang pada Sabtu, 23 Mei 2020, menggunakan model Kastner (1976) dengan modus pengamatan visual berbantuan alat. Hasil disajikan dalam bentuk kurva visibilitas dan kesimpulannya bisa dibandingkan dengan prediksi model lainnya. Sebagai pembanding, digunakan prediksi visibilitas hilal global yang diberikan oleh model Odeh (2004) dan Shaukat (https://www.moonsighting.com). Prediksi visibilitas hilal global dari kedua model ini disajikan melalui grafik berikut.

photo
Gambar 1. Peta visibilitas hilal global menurut model Odeh (2004). Seluruh wilayah Indonesia berada dalam daerah arsiran berwarna biru yang menandakan hilal hanya akan dapat diamati menggunakan alat bantu optik, semisal binokuler atau teleskop. - (DOK Penulis)

 

Dalam gambar 1, model Odeh memprediksi visibilitas hilal global pada Sabtu, 23 Mei 2020, ke dalam tiga zona yang ditandai dengan arsiran berwarna biru, magenta, dan hijau. Kawasan di permukaan bola bumi dalam rentang lintang geografis 60 derajat LU – 60 derajat LS yang diarsir warna biru hanya akan dapat mengamati hilal dengan bantuan alat optik. Tidak dimungkinkan mengamati hilal dengan mata telanjang.

Seluruh wilayah Indonesia, sebagian Australia, dan mayoritas benua Asia berada di dalamnya. Arsiran berwarna magenta menandai kawasan yang dimungkinkan bisa mengamati hilal dengan mata telanjang meskipun tidak mudah, yang meliputi sebagian kecil Asia dan seluruh wilayah Afrika.

Hilal diprediksi diamati dengan mudah menggunakan mata telanjang karena posisinya cukup tinggi (> 7 derajat) untuk kawasan dengan arsiran berwarna hijau yang mencakup sebagian Amerika Utara dan Amerika Selatan.

photo
Gambar 2. Peta visibilitas hilal global menurut model Shaukat (https://www.moonsighting.com). Seluruh wilayah Indonesia berada dalam daerah arsiran warna merah yang menandakan hilal hanya akan dapat diamati menggunakan alat bantu optik, semisal binokuler atau teleskop. - (DOK Penulis)

Gambar 2 menunjukkan peta visibilitas global prediksi model Shaukat terlihat memerinci daerah dengan arsiran warna magenta di model Odeh. Dalam model Shaukat, warna magenta di dalam model Odeh diperinci lagi ke dalam kawasan berwarna abu-abu gelap (memerlukan alat bantu optik untuk menemukan hilal) dan abu-abu terang (dapat langsung menemukan hilal dengan mata telanjang hanya jika kondisi atmosfer sempurna).

Kedua model ini dibangun dari data keberhasilan maupun ketidakberhasilan mengamati hilal yang dikumpulkan dari seluruh dunia. Secara umum, prediksi kedua model ini konvergen, yaitu untuk seluruh wilayah Indonesia hilal hanya akan dapat diamati secara visual dengan bantuan binokuler ataupun teleskop.

Bagaimana dengan prediksi model Kastner (1976)? Menurut model visibilitas Kastner dalam Gambar 3, hilal awal Syawal 1441 H yang dipantau Sabtu, 23 Mei 2020, sudah dapat diamati sejak matahari terbenam bila pengamat menggunakan teleskop, minimal diameter objektif 66 mm. Dalam simulasi perhitungan yang dilakukan, penulis menggunakan teleskop pembias yang tersusun atas tiga lensa (enam permukaan) dengan faktor transmitansi 0,95 (diasumsikan teleskop bersih dari debu dan jamur) dan menghasilkan perbesaran sudut 50x.

Tepat saat matahari terbenam, nilai visibilitas dengan bantuan teleskop di Merauke dan Sabang, masing-masing +6,4 dan +6,6. Nilai visibilitas positif bermakna hilal bisa diamati.

photo
Gambar 3. Prediksi visibilitas hilal lokal menurut model Kastner (1976). Visibilitas dihitung untuk Merauke dan Sabang dengan modus pengamatan menggunakan alat bantu teleskop. Terlihat bahwa jendela waktu pengamatan di Sabang (33 menit) lebih panjang ketimbang Merauke (27 menit). - (DOK Penulis)

Saat matahari terbenam, ketinggian hilal 5,6 derajat di Merauke dan 7,1 derajat di Sabang. Meskipun dengan bantuan teleskop hilal dapat diamati sejak matahari terbenam di masing-masing kota, nilai kontras terbaik (rasio antara kecerahan hilal dan kecerahan langit senja) baru terjadi 18 menit hingga 23 menit kemudian. Yakni, saat ketinggian hilal sudah jauh lebih rendah daripada ketinggian semula. Agar tetap bisa mengamati hilal dalam posisi kian rendah, perlu cakrawala yang bebas halangan di arah hilal berada.

Dengan semakin rendahnya posisi hilal di atas cakrawala, nilai kontras kembali berkurang setelah mencapai nilai maksimumnya. Ini mudah dipahami karena serapan atmosfer dekat cakrawala lebih kuat dibandingkan saat posisi hilal masih tinggi. Prediksi model Kastner ini mengasumsikan kondisi atmosfer lokal bersih atau minim polutan melalui penggunaan nilai  faktor ekstingsi k-0,2. Simulasi kondisi atmosfer moderat (k=0,4) hingga kotor (daerah urban, k=0,8) menghasilkan konsekuensi sama, yakni hilal dapat diamati tapi dengan nilai visibilitas yang mengecil seiring kotornya atmosfer.

Selain itu, penampakan hilal juga terjadi dalam “jendela pengamatan” yang lebih singkat. Sehingga dapat disimpulkan, prediksi model Kastner terkait visibilitas hilal awal Syawal 1441 H bersesuaian dengan prediksi model Odeh dan Shaukat.

Tentu menarik untuk menguji prediksi ini dengan mengamati hilal di lokasi terbaik dengan atmosfer dan cuaca yang mendukung.

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat