Seorang bocah Palestina menunggang kuda di pantai Gaza, Palestina. | REUTERS / Mohammed Salem

Opini

‘Nakbah’ Palestina

Blokade dan embargo merupakan konspirasi kemanusiaan yang paling jahat sepanjang sejarah Palestina.

Oleh ARDIANSYAH ASHRI HUSEIN, Duta Sosialisasi Palestina KNRP Pusat

Hari ini, genap sudah 72 tahun agresi penjajah Israel atas tanah Palestina. Setelah kekalahan pasukan koalisi Arab membendung penjajahan Israel atas bumi Palestina, 15 Mei 1948, diperingati sebagai hari ‘Nakbah’ Palestina, hari berkabung dan kesedihan Palestina serta seluruh dunia Islam.

Baitul Maqdis dan Palestina adalah bumi suci dan dimuliakan oleh umat Islam. Tempat Allah menurunkan nabi-nabi pilihan-Nya. Bumi Isra dan Mikraj Rasulullah. Kiblat pertama dan salah satu masjid paling mulia di muka bumi, Masjidil Aqsha ada di sana.

Selama 12 abad lebih, negeri ini aman, sejahtera, dan damai di bawah pemerintah Islam sejak masa kekhalifahan Umar bin Khatthab. Namun kini, sejak penjajahan Israel hanya duka dan air mata yang tersisa.

Ratusan ribu warga Palestina meregang nyawa, tanah mereka dirampas, rumah-rumah dikuasai dan dihancurkan, jutaan warga Palestina terusir dari tanah air mereka, yang melawan ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan vonis yang tidak masuk akal.

 
Kita menyaksikan, blokade justru membuat Palestina semakin kuat, hebat, dan dahsyat melakukan perlawanan.
 
 

Mengajak orang shalat dan memakmurkan Masjid al-Aqsha saja bisa dideportasi atau divonis puluhan tahun lamanya. Rakyat Palestina dibatasi gerak dan kebebasannya, terlebih sejak 1948 Israel sudah menguasai hampir seluruh tanah Palestina.

Sepanjang 72 tahun ini, kita menyaksikan Palestina terseok-seok dengan segala kekuatan mencoba bertahan dan melakukan perlawanan. Berjuang menuntut kebebasan dan kemerdekaannya sendiri. Tak banyak negara yang prihatin dan peduli.

Zionis Israel terus coba melumpuhkan dan memblokade perlawanan itu. Mungkin mereka mengira dengan memblokade dan memisahkan beberapa wilayah Palestina, perlawanan rakyat itu dapat ditaklukkan. Tapi sepertinya mereka keliru.

Kita menyaksikan, blokade justru membuat Palestina semakin kuat, hebat, dan dahsyat melakukan perlawanan. Di tengah kesempitan dan kesulitan, mereka selalu kreatif menyuarakan dan melakukan perlawanan.

Blokade dan embargo ini merupakan konspirasi kemanusiaan yang paling jahat sepanjang sejarah Palestina. Aksi ini termasuk dalam daftar kejahatan perang. Ini salah satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court.

Pelanggaran HAM di Jalur Gaza, Shabra Syatila, Tepi Barat, Khan Yunis, dan seluruh wilayah Palestina tak kalah mengerikan dibandingkan pembantaian Srebrenica, pembantaian terbesar di Eropa terhadap 8.000 warga Muslim Bosnia tahun 1995.

photo
Pejuang Palestina dari Fatah berjalan dilatari poster bergambar pejuang Palestinaalmarhum Yaser Arafat di pengungsian Jalil di Baalbek, Libanon, April lalu.  - (AP/Hussein Malla)

Jika delik kejahatan perang bisa menyeret mantan presiden Jerman Karl Donitz, mantan PM Jepang Hideki Tojo, dan mantan presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic ke meja hijau,  Ariel Sharon, Netanyahu, Yitzhak Rabin, Ehud Olmert, Ehud Barak, Shimon Peres, Tzipni Livni juga bisa dijatuhi hukuman karena kejahatan yang sama di Palestina.

Kondisi Palestina semakin sekarat, terutama Jalur Gaza. Selama 14 tahun diblokade sejak 2006, kota ini nyaris tumbang. Sebanyak 97 persen air tercemar, 85 persen pengangguran, 68 persen gizi buruk, dan 75 persen kemiskinan.

Hampir seluruh warga Palestina bergantung pada bantuan internasional. Sebab, rata-rata warganya hanya menghasilkan dua dolar AS atau Rp 30 ribu per harinya. Mereka merasakan pahit getir lockdown selama 14 tahun sebelum kita merasakannya hari ini.

Keadaan ini menjadi semakin buruk di tengah menyebarnya wabah Covid-19 yang melanda dunia. Menurut laporan WHO, hingga pekan ini sudah 547 orang terkonfirmasi positif Covid-19 di seluruh wilayah Palestina, khusus di Jalur Gaza ada 20 orang.

Kondisi blokade tentu akan memperburuk keadaan. Minimnya peralatan medis dan akses bantuan yang terbatas, tentu menjadi faktor terbesar penyebaran virus ini semakin tak tertangani dengan baik. 

Palestina adalah tanah wakaf umat Islam yang harus dipertahankan sampai kapan pun. Seluruh tanah dari Laut Tengah sampai Sungai Yordania, dari perbatasan Lebanon sampai Rafah adalah Palestina dan merupakan sejarah panjang kaum muslimin.

 
Dunia harus tetap berdiri menyuarakan kemerdekaan dan kebebasan Palestina. Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar dunia yang harus menjadi pelopor.
 
 

Eksistensi ini adalah legalitas historis yang tetap akan melekat sampai hari kiamat. //Tafriith fi Sibrin min ardhi filasthiin tafriith fiddiin//, melupakan dan melepaskan sejengkal saja tanah Palestina sama artinya kita menggadaikan agama.

Sejak deklarasi berdirinya Israel di Palestina tahun 1948, kemudian Perang Enam Hari tahun 1967 sampai hari ini, Zionis Israel telah menguasai hampir seluruh wilayah Palestina dan mengusir lebih dari 6 juta penduduknya.

Dari perjanjian Camp David sampai The Deal Of Century (Deklarasi Abad Ini) tidak menghasilkan apa pun selain memperpanjang napas penjajahan atas bumi berkah Palestina.

Untuk itu, umat Islam di seluruh dunia harus tetap berdiri menyuarakan kemerdekaan dan kebebasan Palestina. Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar dunia yang harus menjadi pelopor.

Semoga Ramadhan di tengah badai Covid-19 tahun ini menjadi momentum untuk renungan bersama. Kemerdekaan dan kebebasan itu mahal harganya maka harus diperjuangkan dan dipertahankan.

Semoga kepedulian kita terhadap nasib rakyat Palestina, menjadi asbab Allah menurunkan rahmat-Nya kepada kita sebagaimana pesan Nabi-Nya, “Sesungguhnya Allah ta’ala akan membersamai hamba-Nya, selama dia peduli dan membantu saudaranya.” 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat