Ilustrasi Didi Kempot | Daan Yahya

Kisah Dalam Negeri

Sugeng Tindak Mas Didi

Keluarga sangat kehilangan dengan kepergian sang Maestro yang terbilang mendadak.

 

Oleh Binti Sholikah, Shelbi Asrianti

Tak sedikit selebritis dan seniman yang tenar sekadar tenar. Terkenal hanya karena sering tampil di media massa meski hanya sedikit saja punya bakat seni. Dionisius Prasetyo bukan salah satunya. Pada masa-masa pandemi seperti sekarang ia juga satu dari sedikit yang tak mau berpangku tangan.

Bahkan semalam sebelum kepulangannya, pria yang akrab disapa Didi Kempot itu masih punya rencana. "Istrinya Pak Doni Monardo (kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ingin mengajak kampanye. Kira-kira Agustus nanti Corona sudah kelar kita sudah bangkit, jadi mengajak Mas Didi untuk mengampanyekan itu," kata sahabat Didi Kempot, Blontang Poer, dalam keterangannya, kemarin.

Sejak pagebluk mendera Indonesia, Didi Kempot memang salah satu yang memanfaatkan betul ketenarannya yang dua tahun belakangan mendapat suntikan darah baru para milenial. Didi kerap muncul dalam berbagai pertunjukan virtual dan aktif menggalang dana untuk melawan pandemi Covid-19.

Pada Sabtu (28/3), Didi menutup gelaran konser penggalangan dana #Dirumahaja besutan Narasi yang digelar sejak Rabu (25/3). Usai penampilan dari Didi, donasi yang terkumpul telah melewati angka Rp 9 miliar dan terus bertambah.

Didi juga terlibat dalam "Konser Amal dari Rumah" yang digelar salah satu stasiun televisi swasta, Sabtu (11/4). Usai acara, dia mengucapkan terima kasih kepada seluruh donatur karena jumlah dana yang terkumpul jauh melebihi yang dia bayangkan. Hasil dari konser amal tersebut, sebagian telah disalurkan untuk membantu warga melalui PB Nahdlatul Ulama dan Lazizmu Muhammadiyah senilai masing-masing sekitar Rp 2 miliar.

photo
Penyanyi Campur Sari Didi Kempot menghibur penggemarnya di Stadion Brawijaya, Kota Kediri, Jawa Timur, Jumat (29/11/2019) malam. Pertunjukan yang dihadiri puluhan ribu penonton tersebut untuk memeriahkan Hut ke-48 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) - (ANTARA FOTO)



Lewat tayangan video yang diunggah ke Instagram, Didi mengapresiasi para penggemarnya yang dijuluki Sobat Ambyar, Kempoters, Sadboys, dan Sadgirls. "Terima kasih, matur suwun sekali, dan salut buat kinerja semua. Ini sumbangsih saya, Didi Kempot, sebagai seniman tradisional. Semoga apa yang kita perbuat sangat bermanfaat untuk penanggulangan virus corona," ujarnya dalam tayangan yang diunggah Ahad (19/4).

Beberapa bulan mendatang, Didi yang lahir pada 31 Desember 1966 itu sedianya merencanakan konser akbar "Ambyar Tak Jogeti" di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Rencana pertunjukan pada 10 Juli 2020 itu sekaligus menjadi perayaaan 30 tahun bermusiknya. Namun takdirnya lain.

Asisten Humas RS Kasih Ibu Solo, Divan Fernandez, mengatakan, almarhum tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Kasih Ibu pada Selasa pagi pukul 07.25 WIB diantarkan para sejawat. "Saat tiba di IGD, kondisinya tidak sadar, henti nafas dan henti jantung," kata Divan, kemarin.

Kemudian, segera dilakukan pertolongan semaksimal mungkin. Namun karena kondisi pasien buruk pasien tidak tertolong. Pukul 07.45 WIB Didi Kempot dinyatakan meninggal oleh dokter. "Sekitar 20 menit di IGD. Diagnosa saat masuk (rumah sakit) henti jantung. Untuk riwayat penyakit lebih pantas keluarga yang menjawab," imbuhnya.

Dari Solo, jenazah Didi diberangkatkan ke Majasem, Kendal, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur menjelang tengah hari. Ngawi, merupakan kampung halaman istri almarhum.

Jenazah Didi Kempot tiba di rumah duka sekitar pukul 14.10 WIB untuk disemayamkan dan dishalatkan. Kemudian jenazah dimakamkan di tempat pemakaman umum yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumah duka.



Sejak mobil ambulans datang dan peti jenazah dikeluarkan, tangis kesedihan dari keluarga, tetangga dan Sobat Ambyar yang hadir langsung pecah. Demikian juga, saat peti jenazah diturunkan ke dalam liang lahat.

Proses pemakaman jenazah tidak hanya dihadiri oleh keluarga dan tetangga, namun juga para Sobat Ambyar yang rela datang dari berbagai wilayah, di antaranya Solo, Ngawi, dan sekitarnya.  "Didi Kempot adalah sosok seniman dan pencipta lagu yang kreatif. Ia tidak bisa diam. Hal-hal yang terjadi di sekitarnya justru menjadi insiprasinya untuk mencipta lagu," ujar kakak almarhum, Lilik Subagyo di Ngawi, Selasa.

Ia mengatakan, keluarga sangat kehilangan dengan kepergian sang Maestro yang terbilang mendadak. Sebelum meninggal, Didi Kempot sedang dalam tahap menyempurnakan lagunya berjudul Kapusan Janji yang baru saja direkam ulang dengan berkolaborasi bersama Yuni Shara

"Memang jadwal dia belakangan ini sangat padat sehingga kecapekan," kata Lilik. Ia mewakili keluarga besar meminta Sobat Ambyar untuk mendoakan Didi Kempot agar semua amal ibadahnya diterima oleh Tuhan YME dan karya-karya lagunya tetap disukai meski yang bersangkutan telah berpulang.

Didi Kempot sudah fenomenal sejak pergantian abad lalu. Pada Oktober 2000, wartawan Republika Edy Setyoko yang juga berpulang beberapa waktu lalu, mewawancarainya terkait jalan yang ia pilih tersebut. "Aku nggak malu. Betul, nggak gengsi menyanyi lagu Pop Jawa," ujar Didi Kempot yang kala itu berusia 34 tahun.

Musisi hitam manis dan berambut gondrong ini menjanjikan kala itu tetap konsisten pada jalurnya. "Musik Pop Jawa akan saya digeluti hingga akhir hayat," ujarnya.

Mencipta sekaligus menyanyikan lagu Pop Jawa, menurut Didi, tidak bakal menurunkan derajad dan martabatnya sebagai seniman. Ia justru bangga. Karya ciptanya belakangan semakin digandrungi masyarakat. Hampir sebagian albumnya, begitu dilempar ke pasar, langsung laris bagai kacang goreng.

photo
Pelepepasan jenzah penyanyi campur sari Didi Kempot menuju TPU Jatisari, Kendal, Ngawi, Jawa Timur, Selasa (5/5). Didi Kempot meninggal di RS Kasih Ibu, Solo dan jenazah dimakamkan di TPU Jatisari, Mejasem, Ngawi - (Wihdan Hidayat/ Republika)



Musisi kelahiran 31 Desember 1966 ini tidak khawatir sedikitpun, suatu ketika karya ciptanya kurang mendapat sambutan di hati masyarakat. Prakiraan semacam itu, katanya, belum tercium gelagatnya. Ia optimis saja, karyanya akan tetap dicintai masyarakat.

"Yang jelas, saya bangga jadi artis Pop Jawa tulen," ia menambahkan. Dalam kurun waktu satu setengah tahun belakangan saat itu, nama Didi Kempot meroket dalam blantika musik di Tanah Air. Sekarang, hampir sebagian karyanya merajai pasar kaset, media rekam yang barangkali tak dikenal kebanyakan Sobat Ambyar generasi terbaru.

Namanya terus melambung, bahkan berkali-kali diundang ke Suriname. Tentu, ini tidak lepas dari nomor-nomor lagu hits-nya. Karya cipta Didi, begitu lekat dihati masyarakat. Bukan hanya kalangan artis yang turut mendendangkannya, para pengamen jalanan pun turut melariskan sekaligus mempromosikannya di pasaran.

Didi, sepertinya, tidak begitu peduli pada penilaian masyarakat ihwal warna musik garapannya. Sementara kalangan saat ini menilai warna musik Didi merusak warna musik keroncong asli. Ia memang mencampuradukkan unsur instrumen gamelan Jawa, dangdut, dan musik modern. "Biarlah masyarakat menyebut apa. Terserah," kata dia.

Ia sendiri saat itu tidak paham betul aliran musik yang dipilihnya. Yang jelas, lanjutnya, "warna musik saya itu campur-aduk. Gado-gado, gitu". Sebagian besar berwarna “Congdut”, singkatan dari kerongcong dangdut. Ada unsur ukulele, dan gendhang tidak pernah ia tinggalkan. "Instrumen lain, hanya sekedar 'penyedap' rasa musikalisasi saja. Jalur ini, sebenarnya berbasis pop."

Didi mengklaim saat itu, bekal seni dimiliki tidak diperoleh dari pendidikan formal. "Semua bekal alamiah," katanya. Antara lain, faktor keturunan. Darah seni yang mengalir dari orang tuanya, Ranto Edi Gudel, cukup kuat. Ini diakuinya secara terus terang.

Mbah Ranto -- panggilan akrab Ranto Edi Gudel -- dikenal sebagai seniman serba bisa. Ia seorang pelawak, penyanyi, pemain kethoprak, melukis, juga mencipta lagu pop Jawa. Karya hits-nya berjudul Joko Lelur dan Anoman Obong. Ia menurunkan bakat seninya kepada anak-anaknya -- Sentot S (penyanyi pop Jawa), Mamiek "Si Jambul Merah" Prakoso (pelawak Srimulat), Didi Kempot dan Eko (pelukis dan pelawak).

 
Didi Kempot adalah sosok seniman dan pencipta lagu yang kreatif. Ia tidak bisa diam. Hal-hal yang terjadi di sekitarnya justru menjadi insiprasinya untuk mencipta lagu.
 
 



Proses perjalanan kesenimanan Didi termasuk cukup panjang. Ia mengawali profesi ini sebagai seniman jalanan. Ngamen. Kegiatan ngamen keliling dilaluinya dalam kurun waktun 1986 hingga 1998.

Paling sering nongkrong di kawasan warung lesehan nasi liwet Keprabon, Banjarsari, Solo. "Jadi, tak ada itu jalur pendidikan formal. Sekolah SMP mentog, terus ngamen," ia mendaku. Awal 1989, Didi hijrah ke Jakarta.

Di kota ini ia tetap menekuni profesi sebagai pengamen jalanan. Ia, bersama kelompoknya -- Kuncung, Hery Gempil, Dany Pelo, dan Comet -- mengais rejeki eceran di seputar kawasan Bunderan, Slipi. Didi tergolong pendatang baru yang memiliki suara emas di antara sesama pengamen di sana.

Kemampuan tarik suara Didi lantas membuat tertarik musisi Pompi. Dia memberi tawaran untuk masuk dapur rekaman. Anak kedua Mbah Ranto ini langsung menyodorkan sejumlah kaset yang berisi lagu-lagu karyanya.

"Ada sepuluh biji lagu yang saya sodorkan," katanya. Diantaranya, We Can You (kowe pancen ayu -- Red), Cidro, Podho Pinter, dan sejumlah karya lama hasil daur ulang. Didi belum beruntung waktu itu. Karya-karya yang dilempar ke pasar kurang mendapat sambutan.

Ia, tak patah semangat. Mungkin, akunya, "nasib belum berpihak kepada saya." Setahun kemudian, Didi dan kawan-kawan terjun menjadi pengamen jalanan lagi. Profesi ini ditekuni sembari mencipta lagu tiap memperoleh inspirasi dari kehidupan nyata.

Persis tahun 1992, Didi dan kawan-kawannya dipercaya untuk rekaman di Musica Studio. Lagu berjudul Bungkus Saja diikutsertakan dalam rekaman itu. Sedang lagu Modal Dengkul dilantunkan duet bersma Viara Rizky, hingga mendongkrak namanya ke permukaan. Album kaset yang dilempar ke pasar pun laku keras.

photo
Penyanyi Campur Sari Didi Kempot tampil pada penutupan Batang Expo 2019 di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin (7/8/2019) malam. Dalam acara penutupan tersebut, Didi Kempot membawakan sejumlah lagu seperti Sewu Kuto, Cidro, dan Layang Kangen - (Harviyan Perdana Putra/ANTARA FOTO)



"Sejak itu saya menikmati buah karya keseniman yang sesungguhnya," katanya. Didi seperti 'kecanduan'. Ia, ingin mengulang suksesnya. Uji rekaman dilakukan lagi tahun 1994. Kali ini nasibnya tidak semulus sebelumnya.

Kaset yang dilempar ke pasar tidak direspon masyarakat. Namun, ini tidak memebuatnya putus asa. Dicobanya rekaman sendiri. Lagu berjudul Malam Mingguan, Montor Omprengan, dan Mlebu Metu yang dibawakan duet bersama Yatti Pesek juga bernasib sial.

Hinga suatu ketika, Is Haryanto memberi tawaran ngamen di Negeri Belanda. "Eh, Belanda. Boro-boro, Bali saja belum tahu." Tanpa pikir panjang, tawaran itupun diterimanya. Permintaan itu datang dari seorang promotor yang ingin mengundang penyanyi muda asli Jawa.

Di negeri kincir angin itu Didi diminta menghibur kaum buruh asal Suriname keturunan Jawa. Katanya, mereka kangen pada hiburan nenek moyangnya. Pamor Didi kian mencorong.

Berita tentang dirinya di Belanda cepat menyambung hingga Suriname. Warga Suriname keturunan Jawa di sanapun mengundangnya. Di Suriname ia malah sempat mencipta lagu Angin Panamaribu. Lagu ini menceriterakan keindahan ibu kota Suriname, Panama. Bahkan, lagu ini menjadi kenangan warga di sana. Sampai Presiden Wede Bose, saat itu, mengundangnya ke istana kepresidenan dan memberinya penghargaan Gold Man.

Nyali Didi mengecil tatkala masuk istana menerima penghargaan. Ketika menerima hadiah berupa uang emas, kedua tangannya gemetar. Padahal, sebelumnya, sudah dinasehati oleh sejumlah menteri yang juga keturunan Jawa, "Kowe ora usah gemeter, tenang wae (Kamu tidak usah gemetar, tenang saja)," ujar Didi menirukan nasehat seorang menteri Suriname.

Awal tahun 1988, Didi pulang kampung. Ia pun mencipta lagu berjudul Stasiun Balapan. "Alhamdulillah, sukses besar," ujarnya bangga. Namanya semakin meroket. Lagu yang mengisahkan perpisahan dua kekasih itu laku keras. Begitu laris, kemudian disusul lagu Jawaban Stasiun Balapan. Kesuksesan ini, membuatnya bangga. Karena, ia mampu mengorbitkan lagu tentang kota kelahirannya.

photo
Penyanyi Didi Kempot menggelar konser tunggal bertajuk The Godfahter of Broken Heart Konangan Concert di Jakarta, Jumat (20/9). Dalam konser yang dipadati ribuan penggemarnya, Didi membawakan sejumlah lagu seperti Stasiun Balapan, Sewu Kutho, Pamer Bojo dan Dalan Anyar - (Republika/Edwin Dwi Putranto)



Karya Didi pun terus mengalir, bak air. Album barunya, berisi lagu-lagu Kuncung, Terminal Tirtonadi, Plong, Aku Dudu Rojo, sempat merajai pasar. Ia sertakan juga lagu Sewu Kutho terjemahan dari Seribu Kota karya Ari Wibowo. "Saya diberi izin untuk menterjemahkannya."

Didi tidak tahu persis berapa ribu keping kaset terjual. "Semua yang tahu produsen," kilahnya. Ia, tinggal menerima hasil penjualan berikut royaltinya. Didi mengaku, Stasiun Balapan termasuk lagu yang paling mengesankannya. Selain mencapai puncak top hits, lagu ini berkisah tentang Kota Solo. Ia sampai berujar, "Tanpa Stasiun Balapan, orang tak bakal kenal Didi Kempot." Dirjen RTF waktu itu, Aziz Husein, pun memberi dukungan moril ketika ia rekaman di PN Lokananta Solo.

Sepulang dari Suriname produktivitas Didi benar-benar luar biasa. Tak kurang dari 60 judul lagu ia hasilkan dan terekam dalam 13 album. Hampir setiap album, pasti ada lagu yang mencapai puncak hits. Sebagian merupakan karya hasil daur ulang lagu yang dicipta ketika ia masih aktif ngamen. Ia juga sempat menyanyikan lagu karya ayahnya, Ayo Solat.

Kebesaran Didi ternyata tidak mengubah gaya hidupnya. Ia tetap berpenampilan nyeniman, bersahaja, tidak glamour seperti selebritis. Bersama isterinya yang mantan buruh di sebuah pabrik di Tangerang, Jawa Barat, ia juga memilih bermukim di desa terpencil, Majasen, Ngawi, Jatim. Daerah yang belum terjamah listrik, apalagi saluran telepon.

Kesibukan Didi, bagai kipas angin. Permintaan manggung keliling ke berbagai daerah terus mengalir. Sering, dalam semalam saja ia harus melayani pentas di dua-tiga tempat. Saking larisnya, orang menyebut Didi saat itu sudah menjadi raja. Sebutan itu pun dijawabnya dalam lagu Aku Dudu Rojo (Saya Bukan Raja).

Basis penggemar Didi kian lebar pada era medis sosial. Sejak beberapa tahun lalu, lagu-lagunya dianggap mewakili kegalauan kalangan muda yang patah hati. Julukan “The Godfather of Broken Hearts” disematkan para penggemar.

Kepergian Didi tak ayal didukai para penggemarnya tersebut. Tagar  #SobatAmbyarBerduka ramai di lini masa Twitter pada Selasa pagi. "Sugeng tindak Mas Didi Kempot, Lord Of Broken Heart," kata Heru Wahyono vokalis band ska-reggae Shaggy Dog melalui Twitter.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat