Pemandangan bunga tulip di Lisse, Belanda, 12 April 2020. Pengembangan bunga tulip di Belanda tak terlepas dari peran sejarah Kesultanan Utsmaniyah | AP

Dunia Islam

Riwayat dan Jejak Tulip dari Kesultanan Utsmaniyah

Eropa mengenal budi daya tulip melalui Turki.

 

Sejarawan Turki dari abad ke-20, Ahmet Refik (1881- 1937), mengibaratkan paruh akhir masa pemerintahan Sultan Ahmed III (1718-1730) sebagai Era Tulip (Lale Devri). Penggunaan istilah tulip bisa bermakna literal sekaligus metaforis.

Kalau melihat sejarah, ada peran bangsa Turki dalam membawa bunga tersebut ke Benua Biru. Mulanya, tanaman cantik itu tumbuh liar di pegunungan berhawa sejuk di Asia Tengah--khususnya Tengri Tagh (perbatasan Kirgizstan dan Cina kini). Sejak abad ke-11, orang-orang Turki mulai piawai membudidayakannya. Kuat dugaan, mereka meniru kebiasaan bangsa Persia yang lebih dahulu menemukan dan melakukan domestifikasi bibit bunga tulip.

Memasuki abad ke-15, terutama dalam era Sultan Suleiman I (1494- 1566), tulip telah menjadi simbol umum tentang keanggunan dan kebangsawanan. Menjelang akhir abad ke-16, bunga dengan bentuk kuncup memikat hati itu mulai dikenal orang-orang Eropa. Adalah jasa Oghier Ghislain de Busbecq (1522-1592), seorang duta besar Raja Ferdinand I untuk Istanbul pada masa Sultan Suleiman I. Saat pertama kali melihatnya, de Busbecq amat terpesona. Ia membayangkan, alangkah baiknya bila istana Raja Ferdinand I juga dihiasi kebun bunga tulip, seperti halnya kepunyaan sang khalifah.

 
Alangkah baiknya bila istana Raja Ferdinand I juga dihiasi kebun bunga tulip, seperti halnya kepunyaan sang khalifah.
 
 

Tak hanya di lingkungan elite. Ia mendapati, pengetahuan masyarakat Istanbul tentang budi daya tulip sudah sedemikian tinggi. Mereka sanggup mengawin silang antara tulip yang berbeda-beda warna. Hasilnya, anakan bunga tulip yang lebih variatif dan indah. Begitu kembali ke negerinya, de Busbecq memboyong beberapa ikat bunga tulip beserta bibitnya.

Sesampainya di Negeri Tanah Rendah (Belanda), ia lantas menghadiahkan tanaman itu kepada Charles de l'Ecluse. Sahabatnya itu lantas merawat tetumbuhan tersebut dengan telaten, sesuai petunjuk de Busbecq sendiri. Sebab, duta besar itu sudah mencatatan prosedur budi daya tulip ala masyarakat Istanbul.

Belakangan, ahli botani asal Belanda, Carolus Clusius (1526-1609) ikut meneliti dan membudidayakan tulip. Karya-karyanya lantas menjadi dasar bagi kebangkitan industri tanaman tulip di Belanda, terutama dalam era tu lipmania tahun 1630-an. Maka, kalau hari ini Anda mengagumi indahnya hamparan kebun bunga tulip di Belanda, janganlah lupa sejarah. Ingat, ada peran Utsmaniyah di sana.

photo
Ilustrasi bunga tulip di era Kesultanan Utsmaniyah - (DOK Mvslim)

 

Kebijakan sultan

Kembali ke soal pemaknaan istilah Era Tulip. Refik mencatat, zaman Sultan Ahmed III memang layak disebut Era Tulip karena pada masa itu muncul (lagi) kegemaran para bangsawan Turki membudi daya bunga itu. Dalam periode 12 tahun, pemerintah setempat menghidupkan kembali tradisi yang lama sebelumnya hilang. Kini, tiap datang musim bunga tulip bersemi, perayaan besar-besaran pun digelar.

Bahkan, sang sultan memaklumkan suatu hukum yang cukup unik: "Barang siapa yang kedapatan menjual bunga tulip keluar dari Istanbul, maka ia divonis penjara." Tak mengherankan bila putra Sultan Mehmed IV tersebut kerap dijuluki Raja Tulip. Sebab, begitu besar perhatiannya terhadap bunga itu.

Sultan Ahmed III juga senang memberikan bunga tulip sebagai cenderamata kepada para duta dan bangsawan asing yang berkunjung ke Istanbul. Memang, pada masa itu Kekhalifahan Utsmaniyah berada dalam fase damai. Tidak seperti para pendahulunya. Pasca-kekalahan dalam Perang Venesia, Turki mulai menyadari superioritas Eropa di berbagai bidang, utamanya militer dan politik.

Maka, atas saran sang perdana menteri, Damat Ibrahim Pasha (1662- 1730), Sultan Ahmed III pun memberlakukan kebijakan yang lebih lunak terkait hubungan luar negeri. Ia menunda segala bentuk ekspansi wilayah, terutama yang mengarah ke barat. Interaksi dengan negeri-negeri Eropa pun lebih didasari pada keinginan untuk saling pengertian. Kerja sama yang setara coba dijajaki, terlebih dalam soal pertukaran ilmu pengetahuan.

Fatma Muge Gocek dalam risalahnya, East Encounters West: France and the Ottoman Empire in the Eighteenth Century (1987) menjelaskan, masa-masa (relatif) damai di Era Tulip dimanfaatkan oleh rezim Utsmaniyah untuk mengimpor pengetahuan dari Barat. Sebelumnya, mereka mendapati bangsa-bangsa Eropa memiliki organisasi dan perlengkapan militer yang lebih mumpuni daripada Turki. Maka, lanjut Fatma, Sultan mesti meminjam dan mengadopsi berbagai produk teknologi militer Barat agar angkatan bersenjata Turki tak terus-menerus tertinggal.

photo
Pemandangan karya seni yang terdiri dari 3 juta tulip di ladang tulip di Bant, Belanda, Sabtu (25/4). Budidaya bunga tulip di Belanda tidak terlepas dari peran Kesultanan Utsmaniyah - (EPA-EFE/WILBERT BIJZITTER)

 

Adopsi teknologi

Selain terkait kepentingan militer, interaksi yang lebih dekat dengan Barat juga mempengaruhi kehidupan sipil Kesultanan Utsmaniyah pada era Sultan Ahmed III. Fatma mencatat, setidaknya ada tiga bentuk teknologi yang diadopsi dari Barat kala itu, yakni mesin jam (mechanical clock), tekstil, dan mesin cetak (printing press).

Mesin jam telah dibuat sekitar tahun 1300. Penerimaan Turki Utsmaniyah akan teknologi ini pun terjadi secara bertahap. Menurut catatan manuskrip tahun 1531, Sultan Suleiman I membeli sebuah arloji dengan cincin emas di atasnya dari seorang pedagang asal Venesia. Sejak saat itu, para duta besar dari negara-negara Barat kerap menghadiahkan sang sultan dengan mesin jam bandul ataupun arloji. Belakangan, jam menjadi komoditas impor yang digemari masyarakat Istanbul. Menurut Fatma, kebanyakan produk itu didatangkan dari Jenewa, Swiss.

Pada Era Tulip, yakni periode 1718-1730, produk tekstil Eropa Barat juga membanjiri Utsmaniyah. Sesungguhnya, ini menjadi semacam arus balik karena bangsa-bangsa Benua Biru justru pertama kali mengenal teknologi tekstil dari Timur, khususnya selama Perang Salib yang berlangsung hingga 200 tahun (1096-1271). Peradaban Islam mengadopsi teknik membuat kain dari Cina. Pada abad pertengahan sutra menjadi produk khas negeri di kawasan Asia Timur itu.

Pada akhirnya, maraknya kain impor Eropa --terutama dari Prancis-- di Turki membuat kelimpungan para pengrajin setempat. Untuk itu, pemerintah setempat berupaya menanggulangi. Caranya antara lain dengan memperbanyak pabrik-pabrik kain di dalam negeri. Otoritas lokal juga mendatangkan para ahli tenun dan sutra dari Bursa atau Salonica ke Istanbul. Dengan begitu, produk dalam negeri diharapkan dapat menyaingi barang-barang impor di pasaran.

Fatma mengatakan, pada masa itu umumnya negeri-negeri di Eropa menjalankan politik merkantilisme. Artinya, mereka berupaya keras mendorong ekspor sekaligus membendung impor. Tujuannya agar devisa negara tidak surut karena lebih banyak keluar.

 
Pada masa itu umumnya negeri-negeri di Eropa menjalankan politik merkantilisme: mendorong ekspor membendung impor.
 
 

Teknologi berikutnya yang diadopsi dari Barat pada era itu adalah printing press. Sebagai pemimpin, Sultan Ahmed ingin memasyarakatkan kegemaran membaca. Maka, ia membangun lebih banyak perpustakaan dan taman bacaan daripada para pendahulunya. Hingga akhir masa pemerintahannya, tercatat sebanyak 24 perpustakaan umum di seluruh Istanbul. Dengan latar itulah, teknologi mesin cetak hadir di tengah-tengah publik Utsmaniyah pada Era Tulip.

Memang, printing press sudah diimpor sejak abad ke-16. Akan tetapi, nuansa penerimaannya cenderung diwarnai sikap curiga. Sebagai contoh, Sultan Selim I pada 1515 mengeluarkan ancaman hukuman mati bagi pemilik percetakan tak berizin. Sebab, ia takut selebaran yang dihasilkan mereka akan memengaruhi publik untuk melawan Islam. Para penasihat Sultan Ahmed III menganggap aturan itu berlebihan. Mereka pun berupaya meyakinkan sultan agar menerima teknologi yang menguntungkan seluruh Muslimin itu. Alasannya, dengan mesin cetak produksi buku menjadi lebih mudah dan murah. Sejak saat itu, industri cetak pun tumbuh pesat di negeri Utsmaniyah.

 

Jejak Era Tulip pada Tata Kota

Menurut berbagai literatur, seni bangunan Utsmaniyah mulai berkembang sejak abad ke-15. Corak arsitekturnya merupakan kelanjutan dari budaya Turki Seljuk, yang terpengaruh gaya Romawi Timur (Bizantium) dan Persia. Dalam hal ini, Hagia Sofia di Istanbul dipandang sebagai model utama yang turut mempengaruhi gaya arsitektur Utsmaniyah beratus-ratus tahun kemudian.

Sejarah seni arsitektur kekhalifahan itu juga tak lepas dari pengaruh Eropa Barat. Era Tulip pada masa pemerintahan Sultan Ahmed III (1718-1730) mengawali interaksi yang lebih intens antara dua kebudayaan itu. Sang sultan mengagumi gaya istana Kerajaan Prancis. Alhasil, ia memerintahkan para bawahannya agar mendirikan bangunan dengan unsur-unsur Baroquedan Rococo yang kala itu sedang populer di sana. Informasi tentang keadaan bangunan-bangunan besar di Paris diperolehnya dari para diplomat dan duta besar Turki untuk negeri itu.

photo
Bangunan ikonik di era Sultan Ahmet IIIi - (DOK Wikipedia)

Sepanjang Era Tulip, konstruksi berbagai bangunan publik di Istanbul pun mengikuti gaya arsitektur Barat. Pemerintah setempat membangun banyak vila dan paviliun bergaya Prancis. Kalangan aristokrat dan elite Istanbul pun mulai menggemari berbagai aktivitas publik seperti di kota-kota Eropa.

Mereka gemar berkumpul di taman, depan air mancur, dan lain-lain. Tidak hanya kaum pria, para perempuan pun meramaikan fasilitas publik itu. Turki yang sebelumnya introvert kini menjadi ekstrovert lantaran lanskap tata kotanya memungkinkan untuk itu.

photo
Sebil adalah toko yang menghadap jalan besar dan biasanya menyediakan keran air minum. - (DOK Wikipedia)

Penguasa Kota Istanbul marak membangun sebil. Itu adalah semacam toko yang menghadap jalan besar. Tidak hanya menjual kebutuhan konsumen, di depan jendela sebil biasanya terdapat keran air minum. Para pengunjung atau pejalan kaki dapat menikmati air itu secara cuma-cuma. Selain itu, di Istanbul juga mulai dibangun tempat-tempat rekreasi luar ruangan, semisal padang rumput, kolam air mancur, dan tentu saja kebun bunga tulip.

Di antara contoh karya arsitektur Era Tulip adalah Ahmet III Cesmesi, Perpustakaan Enderun, Masjid Ortakoy, dan Masjid Tombul. Ahmet III Cesmesi adalah bangunan yang berukuran cukup besar di seberang gerbang Istana Topkapi, Istanbul. Di dalam bangunan tersebut, ada sebuah kolam air mancur. Airnya jernih sehingga dapat diminum siapa saja.

photo
Perpustakaan Enderun di Turki - (DOK Wikipedia)

Pada masanya, tempat itu menjadi lokasi orang-orang Istanbul berkumpul, berinteraksi sosial, atau sekadar melepas penat. Sisi eksterior Ahmet III Cesmesi menunjukkan perpaduan unsur-unsur budaya Barat dan Turki. Di bagian atasnya terdapat fasad. Guratan kaligrafi juga menghiasi permukaan dinding luar dan dalamnya. Kaligrafi juga menampilkan sajak-sajak yang memuji sosok Sayyid Husein Vehbi bin Ahmed, yakni pewakaf kolam air itu. Tentunya, ada pula syair puji-pujian untuk Sultan Ahmed III --yang darinya nama kolam ini berasal.

photo
Masjid Ortokay di Turki - (DOK Wikipedia)

Pada 20 September 1730, pemberontakan terjadi di Istanbul dengan pimpinan Patrona Halil, seorang berdarah Albania. Sultan Ahmed III pun terpaksa turun takhta. Ia lantas menjadi tahanan di Istana Topkapi. Enam tahun kemudian, raja yang membidani lahirnya Era Tulip ini pun meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Kompleks Permakaman Turhan Sultan, Istanbul.

photo
Masjid Tombul di Bulgaria - (DOK Wikipedia)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat