Gus Miftah | DOK Pribadi

Hiwar

Gus Miftah: Perbanyak Sedekah Kala Ramadhan

Ramadhan menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan kita.

Nuansa Ramadhan pada tahun ini mungkin terasa berbeda. Sebab, umat Islam di seluruh dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Akan tetapi, keadaan itu tak mengurangi suka cita dalam menyambut kedatangan bulan suci.

Menurut KH Miftahul Maulana Habiburrahman, Ramadhan adalah bulan yang istimewa. Amal ibadah seorang Mukmin akan diganjar pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT pada bulan ini. Maka dari itu, dai yang akrab disapa Gus Miftah itu menganjurkan kaum Muslimin agar berlomba-lomba dalam kebajikan selama bulan Ramadhan.

Pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji Yogyakarta itu menjelaskan, banyak hadis mengenai keutamaan bersedekah saat Ramadhan. Upaya saling berbagi dan tolong menolong, lanjut dia, dirasakan penting, apalagi di tengah situasi wabah seperti sekarang.

"Bulan Ramadhan di tengah (pandemi) Covid-19 ini menjadi momentum yang sangat bagus bagi orang yang berpunya, yang dikasih kelebihan rezeki oleh Allah SWT, untuk berbagi," ujar Gus Miftah saat dihubungi dari Jakarta. Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Gus Miftah pada pekan ini.

photo
Gus Miftah - (DOK Pribadi)

Bagaimana Anda memaknai Ramadhan di tengah situasi Covid-19 seperti saat ini?

Mungkin, selama ini kita sering beribadah itu karena pujian orang. Karena pamer, riya, suka memperdengarkan amal, dan lain sebagainya. Itu biasa dilakukan ketika kita beribadah di depan publik, banyak orang atau massa. Namun, saat Ramadhan tahun ini tentunya akan sangat berbeda. Sebab, sudah ada imbauan dari pemerintah dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk kaum Muslimin tetap beribadah di rumah saja.

Maka, di sinilah keimanan kita diuji. Apakah ketika kita beribadah di rumah itu sebaik ketika beribadah di dalam masjid, dilihat banyak orang? Jadi, ini sebenarnya menjadi sebuah momentum untuk memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan kita.

Bahwa kemudian dikatakan, "Bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada." Jadi, dilihat orang banyak pun kita harus tetap bertakwa. Begitu pula ketika tidak dilihat orang banyak. Kita harus tetap bertakwa.

Maka, bagi saya, ada banyak hikmah dalam memahami puasa di tengah situasi Covid-19 ini. Apakah selama ini kita benar-benar beribadah hanya untuk Allah SWT atau hanya karena ingin dipuji manusia? Apakah memang benar selama ini kita (beribadah) hanya untuk mendapatkan ridha Allah? Atau, jangan-jangan hanya mengharapkan pujian manusia? Alhasil, saya pikir, Ramadhan menjadi momentum yang tepat untuk menguji keimanan dan ketakwaan kita.

 

Biasanya, Ramadhan menjadi momen bagi orang-orang menggiatkan donasi. Bagaimana menurut Anda?

Begitu banyak hadis yang menyatakan keutamaan atau kelebihan ketika kita bersedekah, khususnya saat bulan suci Ramadhan. Dalam salah satu hadis riwayat at-Tirmizi, dikatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang memberi makan orang berpuasa, maka baginya pahala layaknya orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala sedikitpun (orang yang berpuasa)."

Saya rasa, penting bagi kita untuk menggiatkan berbagi. Apalagi, bulan puasa tahun ini di tengah situasi pandemi. Tentunya, sedekah berapa pun itu pasti akan sangat bermanfaat.

Sejak jauh hari, saya juga sudah mengingatkan kepada semuanya. Ketika kita harus tinggal di dalam rumah, maka akan berdampak pada persoalan lainnya. Efeknya tidak hanya pada persoalan ibadah atau keagamaan, sosial, serta budaya, melainkan juga ekonomi. Sebab, tidak semua orang memiliki tabungan. Banyak kawan-kawan kita bekerja dalam sehari, untuk kemudian penghasilannya itu habis dalam waktu sehari. Padahal, hari-hari ini mereka tidak bisa bekerja.

Maka, tentu ini menjadi kewajiban kita bersama untuk saling berbagi. Kalau kemudian kita mengandalkan bantuan sosial dari pemerintah, kita sama-sama tahu, APBN kita terbatas. Alhasil, bulan Ramadhan di tengah (pandemi) Covid-19 ini menjadi momentum yang sangat bagus bagi orang yang berpunya, yang dikasih kelebihan rezeki oleh Allah SWT, untuk berbagi kepada kawan-kawan kita yang kesusahan ataupun kekurangan.

 

Apa saja manfaat sedekah, baik untuk si pemberi maupun penerima?

Harapannya, dengan sedekah yang kita berikan itu akan meringankan beban kawan-kawan yang sedang dalam kesulitan. Lebih dari itu, saya meyakini, sedekah bisa menolak bencana. Sebab, Rasulullah SAW bersabda, "Sedekah itu bisa menolak bala."

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga menyatakan, "Sungguh, Allah akan menolong hamba-Nya manakala sang hamba mau berbagi dengan saudaranya." Jadi, kalau hari-hari ini kita melihat orang susah, tetapi justru kita diam, maka kelak kalau kita susah, Allah pun akan diam. Namun, kalau hari ini kita melihat orang susah dan berbagi, maka belum sempat kita susah, Allah sudah menolong kita.

Semangat-semangat seperti ini tentunya harus kita galakkan supaya kemudian tenggang rasa muncul dan terawat. Tenggang rasa dari orang-orang kaya kepada mereka yang tidak berpunya. Janganlah kemudian kita menyombongkan harta dan kekayaan kita di tengah situasi seperti ini. Yang justru sebaiknya kita lakukan adalah menjadikan harta atau kekayaan yang kita miliki sebagai sebuah jalan kebaikan.

Tentunya, kebaikan harta itu adalah ketika digunakan untuk menolong sesama, terutama kepada mereka yang tidak berpunya. Yang kaya menolong yang miskin dengan hartanya. Sementara, yang miskin menolong orang kaya dengan doa-doanya. Tepat sekali itu dilakukan dalam bulan suci Ramadhan.

 
Yang kaya menolong yang miskin dengan hartanya. Sementara, yang miskin menolong orang kaya dengan doa-doanya.
GUS MIFTAH
 

Bagaimana caranya agar Muslimin tidak galau beribadah di rumah saja pada Ramadhan kali ini?

Saya pikir, tidak perlu kita cemas.Tidak perlu kita risau. Tidak perlu pula kita galau walaupun beribadah di rumah saja ketika bulan Ramadhan. Sebab, ini menjadi momentum bagi kita untuk bisa lebih intensif dengan keluarga kita di rumah.

Selama ini, barangkali karena kesibukan kita jarang berkumpul dengan istri dan anak-anak di rumah. Contohnya, biasanya saya dalam waktu 10 hingga 15 hari pergi safari dakwah. Saya baru pulang setengah hari, tetapi kemudian harus berangkat lagi. Dan, itulah rutinitas saya sepanjang tahun.

Maka, ketika kemudian Allah SWT menguji kita dengan pandemi Covid-19 ini, bagi saya hikmahnya luar biasa. Saya menjadi bisa bercengkrama dengan anak dan istri saya. Saya bisa beribadah dengan anak dan istri saya. Begitu pula, saya dapat memberikan pengajian kepada santri saya di rumah.

Seharusnya, virus korona ini kita pahami dengan kacamata atau perspektif demikian. Maka, dengan keadaan ini saya pikir kita tidak perlu galau, tidak perlu risau. Tetap saja beribadah. Malahan, kita mesti bersyukur kepada Allah. Sebab, kita menjadi lebih dekat lagi dengan keluarga.

 

Biasanya, apa saja kegiatan dakwah Anda selama Ramadhan?

Jadwal ngaji saya itu kan sudah tersusun pada tahun-tahun sebelumnya. Sejak tinggal di rumah pada akhir Maret lalu hingga akhir Mei ini, ada sekitar 250 jadwal saya yang harus dibatalkan. Selama mengisi kegiatan di rumah, yakni sebelum Ramadhan, saya pun sudah biasa menyelenggarakan pengajian online via media sosial (medsos). Misalnya, melalui Instagram atau Facebook.

Ternyata, tanggapan jamaah luar biasa. Pernah ceramah saya di Facebook itu ditonton langsung (live) sampai 19 ribu viewers. Di Instagram, rata-rata viewers-nya lebih dari 3.000 orang. Nah, insya Allah selama Ramadhan tahun ini saya memaksimalkan penyelenggaraan pengajian via online, baik pengajian inisiatif saya sendiri maupun yang diminta beberapa perusahaan.

Tentunya, jadwal lebih padat ketika Ramadhan sebelumnya. Sebab, Ramadahan tahun lalu itu jadwalnya bisa dikatakan normal. Banyak kegiatan di luar. Sementara, pada tahun ini sangat berbeda karena untuk melakukan apa pun melalui online.

 

Apakah Anda setuju, dakwah era kini mesti ditopang pengetahuan tentang teknologi?

Ya, di sinilah menurut saya pentingnya para kiai, dai, itu sadar media. Sadar medsos. Dengan begitu, mereka dapat mengantisipasi ketika kemudian tidak bisa bertatap muka dengan para jamaah. Dakwah tetap terus berlangsung, yakni melalui media sosial.

Betapa dahsyatnya medsos hari ini menurut saya. Ibaratnya, satu peluru menggunakan pistol itu hanya bisa menembak satu kepala. Namun, kalau kita kemudian menggunakan Instagram, Facebook, Youtube, dan lain sebagainya, kita berbicara satu menit saja itu bisa didengarkan oleh ratusan ribu orang. Jadi, begitu dahsyatnya pengaruh medsos pada masa kini.

Insya Allah, selama Ramadhan tahun ini, saya tak hanya aktif dalam melakukan pengajian online. Saya pun mengajar santri-santri yang tidak pulang (ke kampung halaman), yakni yang masih di pondok. Sebab, dari hampir 200 orang santri saya yang mukim di pondok, separuhnya sudah pulang. Namun, separuhnya lagi tetap ada di pondok karena banyak yang tidak punya keluarga atau kebetulan di daerahnya lagi zona merah Covid-19 sehingga praktis tidak bisa pulang.

photo
Gus Miftah - (Antara)

 

Kebatilan di Balik Ujaran ‘Lebih Takut Korona atau Allah’

Saat sedang mengisi ceramah daring (online) beberapa waktu lalu, KH Miftahul Maulana Habiburrahman membuka sesi tanya-jawab. Ada satu pertanyaan yang cukup membuatnya tersentak. Ulama yang akrab disapa Gus Miftah itu ditanya seorang peserta, "Apakah Anda lebih takut virus korona atau Allah SWT?"

"Ini kalimat kelihatannya saja benar, tetapi mengandung kebatilan," kata Gus Miftah saat dihubungi Republika dari Jakarta, baru-baru ini.

Pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji Yogyakarta itu lantas menjawab si penanya. Sudah barang tentu, seorang Muslim lebih takut kepada Allah SWT. Justru karena takut kepada Allah, maka dirinya untuk sementara tidak menghadiri ibadah jamaah di masjid. Sebab, dengan berkerumun itu orang-orang dapat menjadi perantara (washilah) virus tersebut. Bila sudah demikian, sebaran Covid-19 dikhawatirkan akan semakin meluas.

"Saya pikir, kita perlu orang Islam yang lebih cerdas, orang Islam yang lebih bijak. Tidak kemudian hanya mengandalkan ego atau nafsu. Jangan sampai kita beribadah itu karena nafsu, bukan karena Allah," ujar Gus Miftah.

Ia menerangkan, ada perkataan penuh hikmah, yakni "Laa diina liman laa aqla lahu". Artinya, tidak beragama bagi orang-orang yang tidak berakal. Maknanya, seorang yang mengaku beriman dan berislam harus berpikir secara sehat dan jernih. Dalam situasi wabah, persebaran virus malah semakin hebat ketika orang-orang terus berkumpul dan berkerumun. Membiarkan hal itu terjadi justru dapat memancing datangnya malapetaka.

"Kita harus paham, hari-hari ini kita hidup di tengah (situasi) orang yang kentut itu lebih dihargai daripada orang yang batuk atau bersin," kata Gus Miftah, "saya juga sering mengatakan, kita seperti sedang bermain gobak-sodor. Aturan permainan ini, orang keluar mati, dipegang pun mati. Ini yang terjadi hari ini. Maka, sekali lagi, ikutlah pendapat para ahli. Jangan ikut-ikutan orang yang ahli berpendapat."

Kembali ke pertanyaan yang mengejutkan itu. Gus Miftah menjelaskan, salah satu karakteristik orang beriman ialah taat kepada Allah, Rasulullah SAW, dan ulil amri alias para pemimpin. Saat ini, pemerintah pun sudah mewanti-wanti masyarakat agar tetap di rumah saja. Dengan begitu, persebaran wabah dapat lebih terkendali.

Gus Miftah menduga, si penanya terinspirasi dari tulisan-tulisan atau beberapa video yang berpandangan tak perlu takut korona. Ia pun menyayangkan, di antara video itu justru menampilkan orang dengan predikat ustaz.

"Saya menyarankan, kita lebih bijak ketika membagikan sebuah tulisan atau video. Yang kira-kira dapat membuat resah masyarakat, maka tak usah kita sebar. Salah satunya, video atau ceramah dari ustaz yang menyatakan, kita tidak perlu takut dengan korona. Atau, (ustaz yang mengatakan) kita hanya perlu takut kepada Allah karena korona itu hanya ciptaan Allah," tutur Gus Miftah.

Terkait itu, ia terkenang dengan tafsir surah Yasin ayat 65. "Al-yauma nakhtimu 'ala afwaahihim, watukallimunaa aidiihim, watasyhadu arjuluhum bimaa kaanuu yaksibuun." Sempat Gus Miftah bertanya-tanya, mengapa Allah Ta'ala berfirman bahwa yang berbicara itu adalah tangan manusia, bukan lisannya.

Setelah banyak merenung, Gus Miftah pun menemukan jawabannya. Pada zaman dahulu, termasuk ketika Nabi SAW masih hidup, umumnya orang berbuat dosa dengan lisannya. Maka, bandingkanlah dengan zaman sekarang. Orang dapat berbuat maksiat yang menimbulkan dampak besar hanya dengan tangannya, bahkan lebih spesifik lagi: jempolnya yakni saat mereka bermedia sosial.

"Bagaimana kemudian mengumpat, menggunjing, mencela, dan mencaci maki itu dengan menggunakan tangannya, jemarinya. Itu mereka posting melalui media-media sosial yang ada," kata Gus Miftah.

"Saya sering mewanti-wanti kepada jamaah agar menjadikan medsos sebagai washilah demi mendapatkan ridha Ilahi. Bukan sebaliknya. Medsos malah menjadi washilah kita untuk mendapatkan murka Allah," lanjut dia.

Gus Miftah berharap, bulan suci Ramadhan dapat menjadi momen bagi seluruh Muslimin untuk menahan diri. Tidak hanya dalam persoalan makan, minum, dan segala yang membatalkan puasa. Terkait bermedia sosial pun, hendaknya seorang Muslim menahan diri dari membuat atau menyebarkan keresahan. "Saya inginnya, media sosial kita gunakan secara bijak sehingga kemudian bernilai ibadah," tegasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat