Pengunjuk ras berkumpul di Texas State Capitol guna memprotes kebijakan pembatasan sosial di wilayah itu, Sabtu (18/4). | AP

Opini

Trias Covidiotica

Pembangkangan publik menyulitkan penanganan Covid-19.

 

Oleh AKMAL NASERY BASRAL, Ketua Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia

Pandemi global Covid-19 sudah menjangkiti lebih dari dua juta pasien di seluruh dunia. Tak seorang ahli pun yang secara definitif bisa memastikan kapan tragedi ini berakhir.

Pada Maret 2015, Bill Gates dalam orasi di TED Talk mengatakan, sebuah wabah penyakit yang lebih berbahaya daripada perang akan membuat jutaan orang meninggal dalam waktu dekat.

“Bukan misil (yang menjadi penyebab), melainkan mikroba. Kita terlalu banyak investasi untuk senjata nuklir, tapi sedikit sekali menyiapkan sistem menghadapi epidemi,” katanya.

Ketidaksiapan itu ada dua, pemerintah (di pelbagai negara) yang lamban bertindak dan vaksin anti-Covid-19 yang belum ada. “Vaksin masih belum tersedia 12-18 bulan ke depan,” ujar Dr Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS. 

Dua faktor di atas diperparah faktor ketiga berupa pembangkangan publik, membentuk “Trias Covidiotica”, terminologi yang penulis gunakan untuk melihat fenomena ini.

Pada Maret 2020, Urban Dictionary memperkenalkan kata baru “covidiot”, lakuran (portmanteau) dari “covid” dan “idiot”. Maknanya, orang-orang yang mengabaikan anjuran jaga jarak atau bekerja/beribadah dari rumah dan melakukan panic buying.

Setidaknya, ada tiga kelompok covidiot berdasarkan motif tindakan mereka, yaitu covidiot eksintensialis, covidiot borjuis-hedonis, dan covidiot spiritualis. Covidiot eksistensialis adalah kelompok yang tak bisa bekerja dari rumah.

 
Ada tiga kelompok covidiot berdasarkan motif tindakan mereka, yaitu covidiot eksintensialis, covidiot borjuis-hedonis, dan covidiot spiritualis.
 
 

Jika tak bekerja di luar rumah, tak ada pemasukan. Jadi, pengabaian mereka terhadap anjuran agar tetap di rumah sebetulnya karena kondisi dilematis. Keluar rumah bisa terpapar Covid-19, tetap di rumah memperbesar peluang cepat ko’it (Betawi: mati).

Covidiot borjuis-hedonis, mereka tak betah di rumah bukan karena harus bekerja melainkan terbiasa berleha-leha di ruang publik. Mayoritas dari kalangan menengah atas atau anak muda ignoran yang masih menyempatkan diri liburan atau nongkrong di pinggir jalan.

Sementara itu, covidiot spiritualis adalah kalangan yang tak betah beribadah di rumah. Bagi mereka, ibadah yang benar dan sah harus di rumah Tuhan (masjid, gereja, pura, dan lain-lain) meski ada fatwa pemuka agama yang membolehkan ibadah di rumah selama wabah. 

Perilaku ketiga kelompok tersebut adalah penunjang Trias Covidiotica, pembangkangan kaum sipil paling benderang dalam sejarah masyarakat madani. Sikap covidiot eksistensialis merupakan perilaku yang “bisa dipahami” (tidak berarti harus disetujui).

Mereka beraktivitas di luar rumah karena terdesak keadaan. Perilaku covidiot borjuis-hedonis tak bisa ditoleransi karena merelakan tubuh mereka sebagai ‘relawan’ penyebar wabah. Yang paling sulit dimengerti adalah covidiot spiritualis.

Misalkan televangelist terkenal Kenneth Copeland di Texas, AS. Dia bilang, ketakutan terhadap virus korona merupakan dosa besar bagi umat Kristen karena memberi jalan kepada iblis untuk masuk ke dalam tubuh.

Sikap serupa terjadi di India. Hari pertama PM Narendra Modi melakukan kuncitara (lockdown) nasional pada 25 Maret, pandita karismatik Yogi Adityanath yang juga menteri utama Uttar Pradesh justru meresmikan pembangunan Kuil Utama Ram.

Akibatnya, umat Hindu India – 80 persen dari populasi 1,3 miliar warga – membanjiri Ram Janmabhoomi, tempat yang diyakini sebagai situs kelahiran Dewa Ram di Ayodhya.

Di Iran, saat korban banyak bergelimpangan sehingga membuat Kota Qom dijuluki ‘Wuhan Timur Tengah’, Perwakilan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Khamenei justru mendorong masyarakat mengunjungi Masjid Fatima Masumeh, yang bisa ‘melindungi dari wabah korona’.

Contoh dari tiga negara ini menunjukkan covidiotas spiritualis tidak dihuni satu pemeluk agama tertentu. Bagaimana kita bisa memahami cara berpikir mereka? Pertama, dari pemahaman mengenai konsep takdir dan ajal.

 
Covidiotas spiritualis tidak dihuni satu pemeluk agama tertentu.
 
 

Bagi covidiot spiritualis, pandangan mereka terangkum dalam dua premis, yakni ‘jika belum takdirnya ajal datang di rumah Tuhan, kita masih akan terus hidup’ dan ‘jika sudah takdirnya ajal  datang, di rumah sendiri pun tetap mati juga’.

Kedua premis ini membentuk fondasi cara berpikir, ‘Daripada mati di rumah sendirian, lebih baik mati di rumah Tuhan bersama teman seiman’.

Kedua, pemahaman mengenai totalitas penyerahan diri. Kaum covidiot spiritualis berpandangan, menghentikan – meski hanya sementara – ibadah kolektif menunjukkan sikap berserah diri yang tidak total kepada Tuhan karena tercemari rasa takut mati.

Ketiga, pemahaman mengenai konsep waktu terbaik mendekati Tuhan. Covidiot spiritualis melihat, semakin besar bencana, semakin baik kesempatan mendekati-Nya. Cara paling tepat adalah dengan memasuki rumah-Nya, bukan justru meninggalkan.

Para covidiot spiritualis melupakan satu hal paling gamblang, ledakan pasien Covid-19 yang kian meroket di banyak negara sering terjadi melalui klaster kelompok mereka seperti Kasus #31 di Korea Selatan.

Pada tahap inilah pernyataan Helen Keller bahwa "satu-satunya hal yang lebih buruk dari menjadi buta adalah bisa melihat, tetapi tak memiliki pandangan jauh ke depan’’ menjadi valid. Sebab, covidiot spiritualis tidak buta mata seperti Helen, bahkan memiliki penglihatan sempurna, tetapi tak memiliki pandangan jauh ke depan akibat terhalang ego untuk menunjukkan kesalehan individual dan kesalehan komunal. n 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat