Perawat mengantarkan bayi yang memakai pelindung muka atau | PUSPA PERWITASARI/ANTARAFOTO

Narasi

Ketakjujuran Hingga Stigma Hantui Perawat

Perawat yang menangani pandemi Covid-19 menghadapi banyak resiko

 

OLEH RR LAENY SULISTYAWATI, RONGGO ASTUNGKORO

Beberapa waktu lalu, kabar mengejutkan datang dari Semarang, Jawa Tengah. Sebanyak 46 perawat dan dokter positif terpapar virus korona SARS-CoV2 atau Covid-19. Bahkan hingga kini, sudah sebanyak 24 dokter wafat akibat virus korona yang berasal dari Wuhan, Cina, ini. Tenaga medis, seperti dokter dan perawat, memang menjadi profesi paling rentan terpapar Covid-19.

Bukan hanya karena mereka berada di garda terdepan dalam perawatan pasien Covid-19, tetapi juga dari pasien yang entah sengaja atau tidak, tak mengerti mereka membawa virus ke mana-mana. Ketidakjujuran pasien ketika berobat menjadi salah satu masalah yang turut mengancam orang lain.

Bayangkan saja, ada seorang pasien di Kabupaten Grobogan yang tak jujur terkait kronologi penyakitnya. Ia membuat seluruh tenaga kesehatan yang sempat memeriksanya serta orang-orang yang berinteraksi dengannya harus khawatir tertular Covid-19. Padahal, keterbukaan pasien menjadi salah satu kunci untuk mencegah penularan virus korona. Terlebih, melihat tren kasus di Indonesia yang sudah menunjukkan sebuah harapan dengan terus meningkatnya jumlah pasien sembuh.

Seorang perawat yang menangani pasien positif Covid-19 di Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Nurdiansyah, menuturkan, sudah banyak rekannya yang harus dirawat, bahkan wafat saat menangani pasien Covid-19. “Ada yang tertular karena mungkin ketidakjujuran (pasien). Bulan ini kita penuh duka, angka positif dari teman-teman kita semakin banyak, yang meninggal juga,” tuturnya, Ahad (19/4).

Lebih dari itu, Nurdiansyah juga berkisah tentang apa yang sudah dialami oleh rekan-rekannya tentang stigma negatif tenaga medis, khususnya di lingkungan tempat tinggalnya. Mulai dari diusir hingga anggota keluarganya diasingkan dan dikucilkan tetangga. “Stigma yang negatif tentang perawat Covid-19 mulai dari diusir dari rumah kontrakan, kemudian anak dari perawat juga diasingkan dengan anak tetangganya,” kata Nurdiansyah.

Menurut dia, satu-satunya upaya melawan Covid-19 dengan pencegahan. Garda terdepan untuk pencegahan, yakni masyarakat. "Mari sama-sama kita lakukan pencegahan. Dalam hal ini garda terdepan adalah masyarakat,” katanya. Di sisi lain, Nudiansyah juga memberikan apresiasi kepada pemerintah karena telah memberikan fasilitas bagi tenaga medis berupa tempat tinggal untuk transit dan istirahat. Sehingga, hal itu dapat dimanfaatkan mereka untuk melepas lelah setelah melaksanakan tugas melayani pasien.

 

 
Bulan ini kita penuh duka, angka positif dari teman-teman (tenaga medis) kita semakin banyak, yang meninggal juga.
   

 

Nurdiansyah bertugas di RSPI Sulianti Saroso sejak 1,5 tahun terakhir. Bekerja di fasilitas kesehatan yang khusus menangani penyakit infeksi, membuat ia tidak kaget menangani penyakit infeksi tak remeh seperti pasien HIV/AIDS hingga kasus infeksi lainnya seperti MERS-CoV, flu burung, dan pasien difteri.

Kemudian, ia menyebutkan sejak awal Maret 2020 lalu mulai ada suspect pasien terinfeksi Covid-19 dan dirujuk ke RS tempatnya bekerja. Beruntung sebelumnya ia telah mendapatkan pelatihan untuk pengendalian infeksi. "Akhirnya semua ruangan di RSPI Sulianti Saroso kini jadi tempat penanganan pasien Covid-19. Kami di ruangan melakukan perawatan pada pasien dengan menggunakan APD lengkap dari atas sampai bawah jadi betul-betul harus tertutup karena kami memakai sepatu boots, baju cover all, kacamata goggle, masker N95, visor, hingga baju perawat khusus," ujarnya.

Ia menceritakan selalu memonitor kebutuhan pasien melalui kamera pengawas yang dipasang di setiap kamar pasien. Selain itu pihaknya menyiapkan kebutuhan pasien, ganti baju, ganti infus, memberikan obat, hingga memberikan makanan.

Ia menyebutkan lamanya pemeriksaan bervariasi yaitu paling cepat 30 menit untuk mengganti infus hingga terlama 4 jam karena harus menjalani pemeriksaan seperti jantung hingga memberi motivasi menguatkan pasien dan menganjurkan melakukan hal positif supaya imunitas pasien meningkat.

Setelah mengunjungi pasien, ia segera mengganti APD  di ruangan ganti. Meski telah berjuang menangani pasien corona yang tengah menjadi pandemi dan bukannya jadi pahlawan kemanusiaan, ia dan rekan-rekannya harus mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan hingga risiko kematian.

photo
Sejumlah perawat yang bertugas di Puskesmas Dumai Kota memakai pita hitam sebagai tanda ikut berkabung terhadap rekannya yang meninggal dunia akibat terinfeksi COVID-19 di Kota Dumai, Riau, Selasa (14/4/2020). Perawat di Kota Dumai memakai pita hitam pada baju dinasnya sebagai tanda ikut berkabung terhadap 10 rekannya yang meninggal dunia terinfeksi COVID-19 di saat bertugas di sejumlah rumah sakit di tanah air - (Aswaddy Hamid/ANTARA FOTO )

Ia berharap pemerintah dan masyarakat sama-sama melakukan pencegahan. Ia menegaskan satu-satunya melawan Covid-19 yaitu dengan pencegahan.  "Yang berada di garda terdepan adalah masyarakat. Tenaga kesehatan termasuk perawat justru berada di lini belakang ketika pasien sudah terinfeksi," ujarnya.

Saling Beri Semangat

"Semakin ke sini saya bisa menerima, oh ya mungkin Tuhan punya jalan lain yang terbaik untuk saya ada di sini untuk memberikan semangat kepada pasien-pasien," ucap Yessi, salah satu relawan perawat di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, kepada Republika, Jumat (17/4).

Itu ia rasakan setelah melewati tiga hari pertama yang cukup berat saat bertugas di RSD Wisma Atlet. Relawan perawat dari Dinas Kesehatan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) III tersebut harus meninggalkan tiga orang anaknya yang berusia balita di rumah dan menahan rindu selama hampir sebulan untuk membantu penanganan Covid-19.

Dalam menjalankan tugasnya, Yessi mengenakan APD lengkap. Pakaian berlapis dengan dua lapis masker, N95 dan masker medis, dua lapis sarung tangan, serta kacamata google ia kenakan setiap hendak bertemu para pasien. Rasa panas dan harus menahan haus, lapar, serta buang hajat ia anggap sebagai bentuk pengorbanan untuk para pasien yang sedang berjuang untuk sembuh dari penyakitnya.

"Kalau jaga malam bisa 10-12 jam tidak lepas (APD) sama sekali. Saya nahan pipis, tidak makan, tidak minum dan benar-benar puasa. Kalau jaga malam ini makanya saya sehabis maghrib minum banyak biar ke toiletnya sebelum berangkat," jelas dia.

Selain meminum air yang banyak, salah satu hal yang ia lakukan ketika hendak bertugas ialah mengubungi keluarganya di rumah dengan menggunakan ponsel pintarnya. Ia melakukannya untuk mengabarkan tentang keadaannya kepada suami dan anak-anaknya agar mereka tak khawatir.

"Pas naik jaga, saya nggak pernah bawa handphone. Jadi sebelum naik jaga ini handphone saya video call, saya sudah pakai APD, video call sama anak-anak dan suami. Jadi biar mereka tidak khawatir dengan keadaan saya," tuturnya.

Selama menjalani tugas di rumah sakit yang pernah menjadi tempat tinggal sementara atlet se-Asia itu bukan hanya Yessi yang memberikan semangat, tetapi juga para pasien yang ia rawat. Para pasien di RSD Wisma Atlet memberikan semangat tersendiri bagi Yessi. Ia merasa dianggap sebagai pahlawan oleh para pasien dengan melihat tatapan mata mereka.

photo
Sejumlah petugas medis mengangkat peti jenazah pasien positif COVID-19 saat simulasi pemakaman di Lhokseumawe, Aceh, Jumat (17/4/2020). Simulasi tersebut dilakukan untuk meningkatkan dan melatih kesiapan sarana dan tenaga medis yang sewaktu waktu dibutuhkan dalam membantu menangani pemakaman jenazah pasien positif COVID-19 - (RAHMAD/ANTARA FOTO)

"Pasien-pasien itu menghargai kita seperti kita itu pahlawan di mata dia. Kita lihat dari matanya benar-benar tulus. Jadi hiburan kita saat bertemu pasien, ngobrol dengan mereka, sharing cerita. Ada berbagai cerita," terangnya.

Menurut Yessi, para pasien sangat terbuka dengan para petugas medis yang bertugas di RSD Wisma Atlet. Pasien yang ia temui menyebut para petugas medis memberikan mereka hiburan di tengah melakukan karantina. Dia menjelaskan, rata-rata kondisi psikologis para pasien yang berstatus positif Covid-19 terganggu karena harus isolasi mandiri dan jauh dari keluarganya.

Beberapa waktu lalu, terdapat pasangan suami istri yang menjalani tes pengecekan untuk kedua kalinya. Hasilnya menunjukan sang suami negatif, dan sang istri positif Covid-19. Sang istri tidak terima dan menyangkal hasil tes tersebut. Yessi dan rekan medis lainnya pada akhirnya mencoba memberikan pengertian dan semangat kepadanya agar ia mau dipindahkan ke kamar perawatan.

"Akhirnya dia mau pindah. Malah dia sampai nangis melihat pengorbanan kita itu sampai ngerayu pasien ini. Begitu melihat kita dukung dia, support dia. Karena intinya semua pasien itu butuh dukungan, butuh support," terang dia.

Kurang lebih tiga pekan Yessi bertugas di RSD Wisma Atlet, akhirnya ia dapat kembali ke rumahnya. Suami dan anak-anaknya langsung menyambut kedatangannya pada Kamis (16/4) malam. Ia sudah melalui karantina dan rapid test sebanyak dua kali sebelum diperbolehkan kembali ke kediamannya. Ia masih ingat ketika pamit dengan para pasien, ada satu-dua pasien yang menangis.

"Pas pamit ada satu dua yang nangis, haha. 'Ibu saya pamit ya, saya terakhir,' nangis kehilangan mungkin. 'Nggak ada dong nanti suster yang bawel.' 'Ada, Bu, nanti temen-temen saya suruh bawel ya bu,'" kisahnya.

Dia pun menitipkan pesan untuk disampaikan kepada para pasien yang masih menjalani perawatan di RSD Wisma Atlet. Menurutnya, obat paling mujarab dari penyakit ini ialah hati yang gembira. Karena itu, ia harap mereka tetap semangat, gembira, dan tetap menjaga imunnya. "Bawa enjoy. Anggap saja lagi liburan di Wisma Atlet. Semua pasien itu ingin didengar ceritanya, isi hatinya. Karena rata-rata kan kesepian," jelas dia.

 

Untuk masyarakat Yessi berpesan agar tidak mendiskriminasi para pasien, baik itu pasien dalam pemantauan (PDP), orang dalam pemantauan (ODP), maupun pasien yang dinyatakan positif Covid-19. Termasuk pula terhadap para pekerja medis yang menjadi garda terdepan dalam penanganan pandemik ini.

Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebelumnya mengumumkan sebanyak sepuluh perawat pasien Covid-19 di berbagai rumah sakit di Indonesia, wafat per Kamis (9/4) sore. Sembilan perawat berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan satu positif Covid-19. Di kalangan dokter, merujuk catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sedikitnya 24 dokter meninggal akibat terpapar Covid-19.

Penyebab penularan

Ketua Umum IDI Daeng M Faqih mengatakan, ada dua penyebab tenaga medis bisa tertular virus korona. Pertama, keterbatasan alat pelindung diri (APD) bagi dokter dan tenaga medis, khususnya pada masa awal virus korona ini menyebar di Indonesia.

"APD banyak sekali kekurangannya hingga kawan-kawan banyak melakukan modifikasi," ujar Daeng Faqih dalam sebuah diskusi, Sabtu (18/4). Dengan APD modifikasi dari plastik atau bahan lain tersebutlah, banyak dokter dan tenaga medis yang tertular. Sebab, APD tak sesuai standar tidak 100 persen mencegah masuknya virus ke dalam tubuh.

"Termasuk berita yang dokter THT di Makassar itu dulu tertular waktu mengerjakan atau memeriksa pasien dengan APD yang terbuat dari plastik biasa," ujarnya. Penyebab kedua, banyak dokter yang tak berasal dari rumah sakit rujukan virus Covid-19. Hal ini menyebabkan dokter tertular dari pasien dari praktik pribadinya atau rumah sakit bukan rujukan.

"Jadi, ini banyak sekali orang tanpa gejala yang sudah terinfeksi, yang bersangkutan tidak mengerti terinfeksi dan si dokter pun tidak mengetahui dan kewaspadaanya kurang," tutur Daeng Faqih. Untuk itu, IDI mengimbau dokter untuk membatasi praktik pribadinya. Sebab, berdarakan data IDI, sebanyak 24 dokter meninggal karena ketidaktahuan pasien yang sebenarnya sudah terpapar virus korona. "Kalau dia terpaksa melakukan praktik tatap muka, semua pasien yang dihadapi Covid-19 atau non-Covid kita minta memakai APD sesuai," kata dia. n

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat