Pada hari Kamis, 2 April 2020 ini, foto, penjahit membuat jas hazmat di sebuah pabrik garmen di Depok, Indonesia. Ketika seorang pengusaha Indonesia Maryati Dimursi mendengar dari teman-teman yang bekerja di rumah sakit bahwa mereka tidak memiliki cukup a | AP

Ekonomi

RS Mulai Rebutan APD

BUMN farmasi siap berkolaborasi di tengah pandemi Covid-19.

 

JAKARTA – Saat pandemi virus korona atau Covid-19 melanda di Indonesia, rumah sakit ternyata masih harus bersaing ketat untuk mendapatkan alat kesehatan. Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma mengatakan banyak rumah sakit yang tidak bisa mendapatkan alat kesehatan sesuai jumlah yang diminta.

“Masker N95 misalnya ini dibutuhkan yang berada di garda terdepan tapi barang itu mungkin terbatas sampai bersaing dengan rumah sakit lain untuk mendapatkan itu,” kata Lia dalam sebuah diskusi online, Ahad (19/4).

Sebab, Lia mengatakan banyak kasus yang mengemukakan siapa yang memiliki uang dan langsung membayarnya maka langsung mendapatkan. Sementara kebanyakan rumah sakit harus memproses sejumlah tahapan baru bisa membayar alat kesehatan yang dibutuhkan. “Rumah sakit kalau siapkan uang tunai sulit juga dan repot mengenai harganya. Ini bisa berlipat ganda harganya apakah karena permintaannya tinggi dan ketersediannya terbatas,” tutur Lia.

Meskipun begitu, Lia berterima kasih beberapa waktu terakhir ini sudah banyak bantuan daru pemerintah dan donatur lainnya dalam menyalurkan alat kesehatan. Hanya saja, jumlah tersebut menurutnya masih belum cukup sehingga rumah sakit masih harus bersaing untuk mendapatkan alat kesehatan.

Lia mengakui semenjak Covid-19 melanda di Indonesia memang kebutuhan alat kesehatan semakin tinggi. “Masker sampai dengan APD tenaga medis permintaan tingi. Apakah karena itu jadi susah mencarinya,” tutur Lia.

Dia mengatakan pada dasarnya memang banyak bahan baku untuk alat kesehatan dibutuhkan dari luar negeri. Seperti masker, kata Lia, terdapat lapisan tertentu yang bahan bakunya hanya bisa diimpor.

Meskipun saat ini industri dalam negeri sudah bisa memproduksi masker bedah sendiri namun berbeda dengan masker N95. Lia mengatakan masker khusus untuk tenaga medis seperti N95 masih sulit didapatkan dan belum bisa diproduksi dalam negeri.

Untuk itu, Lia mengharapkan pemerintah dan pihak terkait bahkan rumah sakit saat ini harus memikirkan jalan lain agar tidak ada lagi ketergantungan dengan negara lain dalam memproduksi alat kesehatan. Secara bersamaan, Lia mengakui kebutuhan saat ini masih sangat mendesak sehingga tidak bisa terlalu lama menunggu produksi dalam negeri saat situasi pandemi. “Tidak bisa lagi menunggu, kalau nggak ada dari luar lalu berhenti kan tidak mungkin. Kita juga bisa mempelajari mana produk lokal yang bisa meski itu tidak mudah dilakukan,” jelas Lia.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan, APD untuk tenaga medis yang menangani virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) mutlak harus terus tersedia. Karena itu, pemerintah diminta harus rutin memastikan ketersediaan APD di RS rujukan dan menambah jumlahnya.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI Daeng M Faqih menegaskan, APD untuk tenaga kesehatan (nakes) yang menangani Covid-19 harus disediakan rutin. "Karena APD ini kan habis pakai, sehingga tidak cukup kalau hanya disuplai dalam jumlah tertentu dan hanya dalam kurun waktu tertentu saja. Jadi harus terus disuplai secara kontinyu," ujarnya saat dihubungi Republika, Ahad (19/4).

photo
Sisiwa SMK memproses pembuatan baju pelindung diri (Hazmat Suit) di SMKN 2 Blitar, Jawa Timur, Kamis (9/4/2020). Untuk pemenuhan kebutuhan alat pelindung diri (APD) dalam penanganan pasien COVID-19 di sejumlah rumah sakit umum dan swasta, pemda setempat menggandeng sejumlah SMK untuk memproduksi Hazmat Suit, masker medis, pelindung wajah (Face Shield), dan sejumlah APD lainnya - (ANTARA FOTO)

Tak hanya itu, pihaknya juga merekomendasikan pemerintah meningkatkan jumlah APD karena pertambahan pasien Covid-19 semakin banyak setiap harinya. Kemudian, ia menegaskan pemerintah harus melakukan pengawasan pendistribusian APD. Ia mengaku khawatir masih ada beberapa RS yang belum mendapatkan APD. 

"Karena itu kami minta pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan lewat Dinas Kesehatan hingga Komisi IX DPR melakukan pengawasan (ketersesiaan APD di RS). Memang tidak ada petunjuk khusus mengenai pelaksanaannya tapi kan ada RS yang ditunjuk pemerintah untuk menangani Covid-19," ujarnya. 

Di satu sisi, ia juga meminta masing-masing rumah sakit rujukan ini ikut aktif melaporkan apakah telah mendapatkan APD dan berapa jumlahnya. Di rapat koordinasi yang dihadiri pihaknya bersama Gugus Tugas, Daeng mengakui pemerintah mengaku belum mendapatkan laporan ketersediaan APD di RS. Padahal, dia melanjutkan, pemerintah membutuhkan laporan ini untuk memastikan apakah APD benar-benar sudah disalurkan ke RS.

"Karena takutnya kelebihan atau malah kekurangan APD. Karena RS swasta kan ada yang ditujuk untuk menangani Covid-19, jadi sebaiknya memang harus ada pengawasan," katanya.

Jadi, ia menambahkan, pelaporan ini bersifat top down atau pihak RS melaporkan. Ia menambahkan, data-data yang dilaporkan ini juga bisa bermanfaat untuk RS yang bersangkutan karena pemerintah akhirnya tahu kebutuhan yang harus didukung. Untuk meningkatkan partisipasi RS yang melaporkan kebutuhan APD, Daeng menyebutkan pemerintah melalui Gugus Tugas akan memberikan imbauan melalui surat edaran supaya pihak fasilitas kesehatan rujukan itu aktif melakukannya.

Keamanan kesehatan

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan adanya mafia di industri kesehatan nasional karena health security atau keamanan di bidang kesehatan belum maksimal. Sebagai induk subholding BUMN farmasi, PT Bio Farma (Persero) akan berfokus mewujudkan health security di Tanah Air.

“Dengan pembentukan subholding farmasi ini kan tujuan utamanya untung mewujudkan health security. Makanya kita sudah fokuskan portofolio,” kata Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir kepada Republika di Jakarta, Ahad (19/4). 

photo
Seorang staf mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap berada di laboratorium yang akan digunakan untuk tempat pemeriksaan COVID-19 kantor Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Jumat (17/4/2020). Laboratorium BPOM setempat akan dijadikan tempat pengujian spesimen COVID-19 agar hasil pemeriksaan dapat diketahui lebih cepat tanpa harus dikirimkan ke luar daerah - (Adiwinata Solihin/ANTARAFOTO)

Honesti mengatakan, sebelumnya perusahaan farmasi seperti PT Kimia Farma (Persero) dan PT Indo Farma (Persero) mengalami tumpang tindih produk. Dengan adanya subholding farmasi, lanjut Honesti, maka mulai difokuskan portofolio masing-masing. “Bio farma ini kita arahkan portofolionya untuk alat-alat kesehatan medis,” ujar Honesti. 

Honesti menyampaikan, pandemi Covid-19 secara tidak langsung menghadirkan sisi positif. Sebab, pada akhirnya dapat dilihat keamanan di bidang kesehatan Indonesia tidak bagus, bahkan bisa dikatakan lemah. Hal tersebut terlihat dari banyaknya impor bahan baku alat kesehatan. 

“Hampir semuanya impor seperti masker dan alat pelindung diri (APD) mengimpor semua. Padahal, ini kan tidak butuh teknologi tinggi, tapi memang ada isu bahan baku,” kata Honesti. 

Melihat kondisi seperti itu, kata Honesti, BUMN farmasi bertekad bersatu padu untuk mewujudkan keamanan di bidang kesehatan. Honesti menyebutkan, Indo Farma bisa menjadi yang terdepan untuk alat kesehatan di Tanah Air. Namun, ia tak menampik kondisi pandemi Covid-19 saat ini memang memancing impor semakin tinggi bahkan di seluruh dunia juga terjadi. 

“Kebutuhan penting di seluruh dunia butuh sehingga ini membuat semua negara diuji tidak ada yang benar-benar siap. Industri di dalam negeri harus berpadu dan berkolaborasi mewujudkan kemandirian,” kata Honesti. 

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, sejak awal menjabat, Menteri BUMN Erick Thohir sudah memetakan tiga hal yang sudah dipetakan, yakni food security, health security, dan energy security hingga dibuat subholding farmasi. 

“Kenapa sampai terpikir seperti itu? Setelah melihat industri kesehatan, ternyata alat kesehatan kita di atas 90 persen impor. Kemudian, bahan obat demikian di atas 90 persen adalah impor,” kata Arya.

photo
Prajurit TNI menurunkan sejumlah kotak kardus berisi Alat Pelindung Diri (APD) dari pesawat TNI AU A-7306 saat tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar, Aceh, Sabtu (18/4/2020). Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pusat kembali mengirimkan sejumlah APD berupa baju pelindung guna memenuhi kebutuhan tenaga medis di Aceh dalam menangani pasien COVID-19 - (ANTARA FOTO)

Pandemi virus korona juga menyingkap fakta adanya persoalan mafia dalam industri kesehatan. Arya mengungkapkan, bahkan hal tersebut bukan persoalan di dalam negeri saja. “Ini sudah mafia dunia. Sudah bukan lagi lokal dan ini benar-benar terjadi,” ujar Arya.

Bukan tanpa alasan Arya mengungkapkan hal tersebut. Dia mengatakan, Kementerian BUMN sempat mengupayakan mencari salah satu obat untuk menangani Covid-19, yakni Tamiflu, hingga harus mendapatkanya ke India.

Arya mengatakan, Kementerian BUMN pernah mengupayakan tidak menyebarkan kabar pembelian obat ke India sebelum mendapatkannya sampai ke Indonesia. “Please, jangan beritakan dulu. Ada perebutan bahan baku obat juga. Tolong jangan diberitakan. Kalau disebar, nanti dipotong (dihalangi) di tengah jalan,” ujar Arya. 

Seperti kejadian sebelumnya, salah satu negara di Eropa yang membeli masker dari negara lain. Arya mengungkapkan, negara tersebut pada akhirnya mengajukan komplain karena masker yang dibawa ternyata dibeli di tengah jalan. 

Arya menambahkan, perkara stok bahan baku obat, Indonesia bahkan sampai harus bertempur seperti itu. Begitu juga dengan ventilator, Indonesia harus berebut dengan negara lain, harganya juga cukup tinggi sehingga mafia dalam industri kesehatan ia duga sudah sampai di tingkat global. 

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma mengatakan, banyak rumah sakit yang tidak bisa mendapatkan alat kesehatan sesuai jumlah yang diminta. 

“Masker N95, misalnya, ini dibutuhkan yang berada di garda terdepan, tapi barang itu mungkin terbatas sampai bersaing dengan rumah sakit lain untuk mendapatkan itu,” kata Lia dalam sebuah diskusi online.

Sebab, Lia mengatakan, dalam banyak kasus, siapa yang memiliki uang dan bisa langsung membayarnya maka bisa langsung mendapatkannya. Sedangkan, kebanyakan rumah sakit harus memproses sejumlah tahapan baru bisa membayar alat kesehatan yang dibutuhkan.  n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat