Novelis Asma Nadia berpose untuk Harian Republika di sela-sela kegiatan Workhsop Kepenulisan pada gelaran Festival Republik 2019, di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ahad (29/12). | Thoudy Badai_Republika

Resonansi

Indonesia Kita Memang Berbeda

Oleh Asma Nadia

Setiap kita berbeda dengan  lainnya. Sidik jari setiap manusia tidak ada yang identik. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, diketahui bahwa retina mata, pola di lidah, nyaris semua bagian tubuh manusia berbeda sampai titik sekecil DNA.

Tidak hanya manusia, tetapi binatang juga memiliki  keunikan. Strip pada setiap zebra berbeda, moncong anjing mempunyai pola yang tidak sama, lurik dan pola pada tubuh macan pun unik.

Karena itu, jangan kaget jika cara manusia termasuk pemerintah setiap negara dalam menyikapi wabah korona pun berbeda-beda.

Untuk membuat rakyat tidak keluar rumah, Pemerintah Rusia melepas ratusan singa, India melepas sapi, sementara Spanyol melepas banteng. Indonesia? Pemerintah memutuskan melepas sejumlah narapidana atas dasar kemanusiaan. 

Tentu saja berita Pemerintah Rusia melepas singa, India melepas sapi, Spanyol melepas banteng yang viral hanya merupakan hoaks belaka. Berbeda dengan tiga hoaks di atas, perkara Indonesia melepas narapidana adalah fakta yang dengan cepat menghiasi halaman utama media-media papan atas. Ironinya, berbagai media kemudian ramai mengungkap bukan hanya satu kasus melainkan beberapa narapidana yang dibebaskan, tanpa menunggu lama langsung melakukan tindak kejahatan dan kembali ke penjara.

Ah, memang cara berpikir pemerintah dan rakyat berbeda. Ini sesuatu yang lumrah juga.

Pemerintah berpikir, melepas narapidana merupakan persoalan kemanusiaan. Rakyat berpikir, membiarkan mereka menyelesaikan masa hukuman juga bagian dari keadilan selain menjamin  keamanan masyarakat yang sudah terlalu banyak beban pikiran saat ini. 

Betapa tidak, di tengah wabah korona, bahkan perantau yang sukses di kota besar saja dilarang pulang kampung karena dikhawatirkan membawa virus. Lalu bagaimana masyarakat daerah kemudian mampu  menerima mantan narapidana di daerahnya?

Jika orang yang punya pekerjaan saja sekarang sulit menemukan peluang mencari uang, apalagi mantan narapidana? 

Berbeda itu terkadang baik.  Meski tak selalu. Selain di luar begitu banyak perbedaan, manusia pun  mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama. Di mana pun, terlepas latar belakangnya butuh makan dan tempat tinggal, begitu pula mantan narapidana. Jika mereka tidak memiliki tempat tinggal, tidak punya tempat pulang, tidak ada uang, sementara lapar itu kepastian, bagaimana mereka mampu bertahan hidup? Tidakkah lebih manusiawi jika mereka justru tetap berada di tahanan? 

Di luar semua fenomena berbeda di atas, sungguh, saya bersyukur, dalam banyak hal rakyat cukup cerdas menyikapi perbedaan.

Ketika otoritas menyatakan masker hanya untuk yang sakit, rakyat hampir serentak memutuskan tidak hanya memakai, tapi memproduksi masker kain secara massal. Dan tindakan mandiri rakyat ini cukup menyelamatkan. 

Ketika pemerintah pusat masih ragu menetapkan lockdown, sudah banyak masyarakat yang mengambil sikap berbeda dan secara sukarela mengurung diri di rumah tanpa perlu ditakut-takuti dengan ‘melepas singa atau banteng’.

Perbedaan kebijakan pemerintah pusat dan daerah juga hal lain yang diyakini banyak pihak,  menyelamatkan. Tidak sedikit pemerintah daerah yang berani berinisiatif melakukan tahapan-tahapan pencegahan yang diyakini menyelamatkan anak bangsa. Jika tidak dan kebijakan terpusat satu suara, sangat mungkin situasi  Indonesia akan jauh lebih buruk dari saat ini. Di sisi lain, tentu kita perlu mengapresiasi pemerintah pusat yang secara bijak menampung perbedaan aspirasi yang ada demi keselamatan rakyat. 

Bicara tentang perbedaan, jadi teringat juga ketika korona mulai merebak, saat berbagai negara berlomba-lomba menutup diri dari Cina yang sedang terjangkit, Pemerintah Indonesia punya cara berbeda, justru berusaha membuka diri sebesar-besarnya untuk wisatawan masuk. 

Bahkan, pada masa itu sejumlah dana cukup besar digelontorkan demi  promo wisata. 

Tidak berhenti di sana, saat ini ketika Indonesia dianggap sebagai salah satu negara pandemi korona, pejabat senior berani mengambil sikap berbeda. Berpikir untuk segera membangkitkan sektor pariwisata dengan alasan  turis di negara-negara yang sudah membaik pasti bosan dan ini merupakan peluang agar mereka  berkunjung ke Indonesia. 

Ada lagi kebijakan tak umum yang diambil Indonesia. Ketika Amerika membatalkan ekspor jutaan masker yang sudah dibayar Kanada. Kanada menuntut masker tersebut tetap dikirimkan, tapi karena kebutuhan dalam negeri mendesak, Amerika memilih membatalkan.

Di Indonesia, sebaliknya, ketika para dokter menjerit kekurangan APD, kita  justru mengekspornya. Selain menambah devisa, pejabat terkait mengatakan, kebutuhan dalam negeri masih terpenuhi. 

Wallahu alam, yang jelas bertubinya permohonan akan minimnya APD  dan deret nama dokter dan tenaga kesehatan yang gugur, terus mewarnai berita. 

Benar, berbeda itu biasa, setiap makhluk termasuk manusia diciptakan berbeda. Cara berikir, cara  membuat kebijakan setiap pribadi dan negara lumrah jika berbeda.

Hanya pertanyaannya, apakah perbedaan yang kemudian dirumuskan merupakan pilihan tepat dan membanggakan untuk dikenang pada masa depan? 

Semoga saja perbedaan yang kemudian dipilih tidak membuat kita berujung pada nasib serupa atau bahkan lebih buruk dari  Amerika atau Italia. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat