Sejumlah perawat yang bertugas di Puskesmas Dumai Kota memakai pita hitam sebagai tanda ikut berkabung terhadap rekannya yang meninggal dunia akibat terinfeksi COVID-19 di Kota Dumai, Riau, Selasa (14/4/2020). | Aswaddy Hamid/ANTARA FOTO

X-Kisah

Yang Berjibaku di Ruang IGD

Optimisme dinilai penting bagi para tenaga medis.

Oleh KIKI SAKINAH, PUTI ALMAS

Para petugas medis menjadi garda terdepan dalam memerangi virus korona. Berhadapan langsung dengan pasien yang bisa saja telah terjangkit Covid-19, membuat mereka rawan terpapar virus yang pertama kali mewabah di Wuhan, Cina, itu.

Di balik perjuangan para tenaga medis, mereka juga memiliki keluarga di rumah yang kerap cemas dan senantiasa mendoakan akan keselamatan mereka. Seperti Hatim Faraby, yang istrinya merupakan perawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) di Jakarta.

Tentu saja, Hatim khawatir akan keselamatan Siti Robiah istrinya, juga anak-anak mereka. Apalagi, Jakarta adalah zona merah Covid-19, yang mengharuskan sang istri stand by. "Tetapi, demi tuntutan tugas dan kemanusiaan kita harus ikhlas," kata Hatim melalui pesan elektronik kepada Republika, Rabu (16/4).

Meskipun bukan termasuk rumah sakit rujukan Covid-19, Siti Robiah bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS MMC. Artinya, wanita yang biasa disapa Suster Robi itu bertugas di garda terdepan rumah sakit. 

Calon pasien yang baru datang biasanya ditanyai terlebih dahulu mengenai keluhannya. Jika mengarah ke gejala Covid-19, mereka akan diperiksa di IGD. Pasien yang positif Covid-19 nantinya dibawa ke ruang isolasi untuk dilakukan perawatan dan pengobatan. Memeriksa para suspect Covid-19 itulah yang dilakukan Siti Robiah saban hari. 

Suster Robi pun lebih waswas. Sebab, hampir setiap hari pasien yang masuk ke IGD, pasti ada yang dinyatakan positif Covid-19. Apalagi, menurut Hatim, beberapa rekan Suster Robi juga terinfeksi korona. Namun, darma sebagai seorang tenaga medis selalu meyakinkannya agar tetap bertahan.

photo
Jurnalis membawa bunga mawar untuk dibagikan kepada tenaga medis rumah sakit rujukan penanganan virus Corona (COVID-19) RSUD Cut Meutia Aceh Utara, di Lhokseumawe, Aceh, Sabtu (11/4/2020). - (RAHMAD/ANTARA FOTO)

"Setiap hari pasien yang masuk ke IGD pasti ada yang hasil tesnya positif. Kadang ada perasaan waswas juga, tetapi dia bilang selalu, lawan. Karena, teman-temannya ada juga yang beberapa positif Covid-19, malah ada yang saat ini masih terbaring di ruang isolasi, dia kemarin cerita, kondisi (teman)-nya masih belum stabil," kata dia. Kondisi sejumlah rekannya itu juga mengharuskan Suster Robi bekerja lebih berat dari biasanya. Kadang, ia memborong dua shift dalam sehari. 

Hatim mengatakan, istrinya tetap pulang ke rumah setelah bertugas di rumah sakit. Suster Robi memang sempat ditawari tinggal sementara di rumah sakit, tetapi ditolak karena harus tetap menjaga tiga anaknya di rumah. Apalagi, Hatim mengatakan, anak pertama mereka tengah mempersiapkan diri masuk ke SMA. Hatim mengakui, meski masih tetap tidur dalam satu ruangan dengan istrinya, mereka tetap menjaga jarak. 

Suster Robi bercerita, ia selalu bergegas mandi setiap selesai menangani pasien positif Covid-19. Dalam sehari bertugas, ia bisa mandi tiga kali di rumah sakit. Begitu pun sesampainya di rumah, Suster Robi kembali mandi. "Dia benar-benar menjaga sekali kesehatan dan kebersihan, jangan sampai dia membawa virus ke rumah," ujar Hatim.

Memiliki rasa cemas merupakan hal yang wajar, tetapi Suster Robi selalu meyakinkan Hatim dan anak-anaknya untuk tetap selalu berpikir positif sembari menjaga kebersihan. Hatim mengatakan, istrinya tipikal yang pemberani dan optimistis sembari diimbangi dengan doa.

"Dia selalu menekankan sikap optimistis. Karena, menurutnya, kalau pikiran kita pesimis, malah itu yang bisa kena Covid-19. Karena, kondisi jiwa yang selalu tenang, tidak stres, katanya jauh dari penyakit," kata Hatim.

Hatim bersaksi, Suster Robi sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti itu. Saat bom meledak di Kedutaan Australia, Jakarta, pada 2004, saat itu Suster Robi tengah bertugas dan mengandung anak pertama mereka. Rumah Sakit MMC hanya berjarak beberapa meter dari Kedubes Australia. Dalam kondisi demikian, Suster Robi juga harus melayani korban Bom Kuningan.

"Dia sih selalu bilang 'Bismillah aja. Kalau kita memang punya niat tulus, insya Allah tidak akan kenapa-kenapa'," ujarnya.

Meski memiliki rasa cemas, Hatim mengaku selalu mendukung pekerjaan istrinya. Apalagi, kata dia, ini menyangkut tugas kemanusiaan. Hal yang paling penting, Hatim menekankan, mereka harus mengikuti aturan penanganan Covid-19 dan selalu menanamkan pikiran yang positif bahwa mereka harus selalu sehat. "Alhamdulillah, saya, istri, dan ketiga anak saya selalu menguatkan semuanya," kata dia.

Saat dihubungi Republika, Suster Robi baru saja mengabarkan kepada suaminya soal hasil rapid test Covid-19 yang diikutinya. Hatim bersyukur, hasilnya nonreaktif atau berarti negatif Covid-19. Baik Hatim maupun Suster Robi sama-sama berharap wabah Covid-19 segera berakhir dan semuanya bisa kembali bekerja dengan kondisi normal. 

Ismiana Fatimah, seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi juga berbagi cerita tentang bagaimana kondisi yang harus dihadapinya saat bekerja di tengah adanya wabah virus berbahaya. Meski tidak bertugas di rumah sakit rujukan Covid-19, ia mengatakan tetap menangani PDP maupun orang dalam pengawasan (yang datang untuk berobat. “Alhamdulillah di rumah sakit tempat saya bekerja APD (alat pelindung diri) masih ada dan kami pakai APD lengkap,” ujar Ismiana kepada Republika, Kamis (16/4).

Ismiana mengungkapkan bahwa saat memeriksa ODP maupun PDP, tim medis di rumah sakitnya menggunakan APD lengkap. Meski demikian, hal itu sebenarnya tidak menghilangkan kekhawatiran dirinyq saat bekerja. “Deg-deg juga tapi Bismillah saja. Biasanya kalau ketemu PDP saya mandi dulu di rumah sakit, baru pulang ke rumah terus mandi lagi,” jelas Ismiana.

Lebih lanjut, Ismiana juga menuturkan kekhawatiran dirinya terhadap orang-orang terdekatnya. Ia yang saat ini tinggal bersama suami dan kedua orang tuanya mengatakan harus melakukan tindakan pencegahan agar tidak membawa risiko menularkan virus dan penyakit apapun saat tiba di rumah.

Karena itu, setiap sebelum masuk ke rumah, Ismiana terlebih dahulu menyemprotkan disinfektan ke sekujur tubuh dan barang-barang yang dibawa seperti tas. Ia juga langsung merendam baju yang dikenakan selama bekerja di rumah sakit dengan deterjen saat tiba di rumah. “Di rumah, saya juga full pakai masker, terus alat makan dan cuci baju dipisahin sama orang tua, karena mereka udah berusia lanjut,” kata Ismiana.

Ismiana mengatakan semua langkah yang dilakukan bertujuan untuk melindungi seluruh anggota keluarganya semaksimal mungkin. Terlebih, kedua orang tuanya yang telah berusia 60-an dan memiliki penyakit diabetes melitus dan hipertensi (tekanan darah tinggi) yang berarti termasuk orang paling berisiko terinfeksi virus corona jenis baru. “Papa saya malah ada penyakit jantung, jadi takut banget. Mereka yang di rumah juga sekarang sering pakai masker dan kami semua minum vitamin,” jelas Ismiana. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat