Petugas berada di kawasan pasar untuk melakukan sosialisasi kewajiban menggunakan masker bagi pedagang saat beraktivitas di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (16/04). | ANTARA FOTO

X-Kisah

'Takut Korona, tapi Anak Masih Kecil'

Pendapatan para pedagang kaki lima anjlok selama pandemi.

Oleh Puti Almas, Febrian A

Gerobak bertuliskan es cendol yang berada di pinggir jalan raya itu terlihat siap menyajikan kesegaran bagi orang-orang di tengah cuaca terik pada Kamis (16/4) siang. Di sana, terlihat seorang bapak paruh baya yang membungkus minuman tersebut. 

“Alhamdulillah masih ada yang beli buat dibungkus, sudah sebulan sepi, sekarang juga enggak boleh duduk-duduk minum di sini,” ujar Samingan, penjual es cendol di wilayah Duren Sawit, Jakarta Timur kepada Republika pada Kamis (16/4). 

Samingan yang menjual es cendol seharga Rp 6.000 per porsi mengatakan dalam satu bulan terakhir, pendapatan yang dimilikinya berkurang drastis. Tidak ada yang berbeda setiap harinya, termasuk pada akhir pekan, di mana menjadi waktu pelanggan biasanya berdatangan.  “Biasanya satu hari itu bisa Rp 300.000 setidaknya dapat dari jualan, tapi sekarang Rp 100 ribu saja udah syukur,” jelas Samingan. 

Pria yang akrab disapa Pakde Mingan ini juga mengatakan salah satu sumber pendapatan terbesar adalah pesanan es cendol untuk acara atau hajat tertentu. Namun, tak ada acara keramaian apapun yang dapat diselenggarakan di tengah pandemi virus korona jenis baru (Covid-19), sebagai bagian dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang merupakan instruksi pemerintah untuk mengendalikan penyebaran wabah. 

“Tadinya ada pesanan buat acara pesta tanggal 4 April kemarin, tapi dibatalin enggak jadi karena musim ini,” ungkap Samingan. Samingan mengatakan para penjual makanan pinggir jalan seperti dirinya tengah berjuang untuk mencari cara agar tetap dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setidaknya, menurut pria berusia 59 tahun ini kebutuhan pokok seperti makan bagi dirinya dan keluarga masih tercukupi. 

“Banyak yang pusing buat bayar kontrakan rumah juga, padahal sekarang bisa makan aja Alhamdulillah. Saya berharap sih pas puasa sudah mendingan, biasanya juga pas puasa pada beli buat buka,” jelas Samingan. 

Samingan berharap agar pandemi Covid-19 segera berakhir dan kondisi di Indonesia terus membaik agar dirinya dan banyak orang lain dapat menjalani hari-hari dengan normal. Ia meyakini bahwa dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan banyak orang saat ini untuk tetap berada di rumah masing-masing mengikuti instruksi pihak berwenang tidak akan sia-sia. "Semoga semua membaik habis lebaran, musim ini juga berlalu,” kata Samingan.

Tidak hanya Samingan, penjual makanan di pinggir jalan lainnya seperti Katman juga mengungkapkan hal serupa. Ia yang menjual mie ayam dengan gerobak di Klender, Jakarta Timur itu mengatakan tidak banyak orang yang bisa menikmati sajian yang dijual olehnya sejak makan di tempat tidak boleh disediakan.  “Sekarang enggak boleh lagi ada bangku-bangku buat yang mau makan langsung di sini. Dalam sebulan ini juga memang sudah berkurang banget yang datang,” ujar Katman. 

 
Sekarang enggak boleh lagi ada bangku-bangku buat yang mau makan langsung di sini. Dalam sebulan ini juga memang sudah berkurang banget yang datang.
   

Menurut Katman, mie ayam yang dijual olehnya selalu ramai didatangi orang-orang setiap pagi. Bahkan, pada Sabtu dan Ahad atau akhir pekan, terutama di pagi hari banyak yang rela mengantre untuk menikmati santapan tersebut. 

“Biasanya dari pagi sudah banyak yang datang, terus jam 12-an juga habis mie ayam ini. Sekarang yang mau bungkus buat dibawa pulang juga enggak banyak, jarang yang keluar,” jelas Katman. 

photo
Sejumlah pedagang kecil menunggu pembeli di Pasar Manonda, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (15/4). - (BASRI MARZUKI/ANTARAFOTO)

Katman menuturkan biasanya pendapatan yang didapatkan dari berjualan mie ayam per hari, terutama saat akhir pekan bisa mencapai Rp 2,5 juta, sementara pada Senin hingga Jumat Rp 1,2 juta. Namun, saat ini, setiap harinya pendapatan yang ia raih adalah setidaknya Rp 800 ribu.  “Paling sekarang sih Rp 800 ribu lah dapatnya, paling kadang saja bisa sampai Rp 900 ribu. Enggak tahu bagaimana deh kalau bulan puasa,” ungkap Katman. 

Biasanya, saat bulan Ramadhan, pendapatan dari penjualan mie ayam tidaklah besar. Karena itu, di tengah kondisi saat ini, di mana penjualan tidak sebanyak biasanya, membuat Katman berpikir keras.  Biasanya, saat bulan puasa tiba, Katman memilih untuk pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta.

Namun, karena kondisi saat ini, di mana ia juga sangat membutuhkan pendapatan, kemungkinan ia tetap akan berjualan. “Paling jadinya tetap jualan pas bulan puasa, jualan seperti sekarang buat dibungkus dibawa pulang,” kata Katman. 

Di saat negara harus memberlakukan PSBB untuk sementara waktu demi memutus mata rantai penyebaran COVID-19, dampak perekonomian bagi warga kelas menengah ke bawah akan sangat besar. Hal itu karena biasanya, pendapatan yang mereka miliki tergantung dengan pemasukan sehari-hari. 

Warga dari kelas menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal seperti pedagang kecil sangat rentan dan terdampak dengan kondisi Indonesia saat ini. Karena itu, jutaan orang di Tanah Air bisa terancam menjadi pengangguran, terlebih tak mudah untuk berganti profesi dengan cepat, atau mengharapkan lowongan suatu pekerjaan dibuka untuk orang-orang dari sektor ini.  Di Indonesia, tercatat ada 5.516 kasus Covid-19 hingga Kamis (16/4). Dari jumlah tersebut, 496 orang meninggal dunia, sementara 548 dinyatakan sembuh. 

photo
Sejumlah pedagang jalanan protes saat ditertibkan personel Satpol PP kota Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (16/4). - (ANTARA FOTO)

PSBB telah ditetapkan oleh pemerintah pusat di ibu Kota Jakarta, dan lima wilayah di Provinsi Jawa Barat, yatu Kota dan Kabupaten Bogor, Kota dan Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok. Sementara, tiga wilayah di Provinsi Banten, yakni Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan akan memberlakukan PSBB pada 18 April mendatang.

Masyarakat kelas menengah ke bawah paling riskan terdampak wabah Covid-19. Sebagian mereka kini hidup tanpa pekerjaan, tanpa pemasukan. Sebagian lain terseok-seok mempertahankan usaha. Jika tak ada perubahan dalam waktu dekat, bisa jadi mereka terjerembap dalam jurang kemiskinan.

Seperti itulah gambaran hidup Dayat (30 tahun) kini. Pedagang nasi goreng gerobak di pinggir Jalan Pejaten Raya, Jakarta Selatan, itu mulai mengeluhkan minimnya penjualan. Omzetnya turun drastis sekitar 60 persen sejak Covid-19 melanda ibu kota. "Sekarang tambah parah lagi sejak PSBB (pembatasan sosial berskala besar) di Jakarta," kata Dayat di depan gerobaknya, Rabu malam.

Tapi Dayat tak punya pilihan lain. Ia harus tetap berjualan demi menghidupi keluarga. Meski tak ada jaminan dagangannya laku, tapi ia setidaknya mencoba. Ketakutan terpapar Covid-19 pun terpaksa ia lawan. "Ya saya takut juga corona, tapi mau gimana, anak masih kecil. Makanya gimanapun harus tetap jualan" ucapnya.

 
Ya saya takut juga corona, tapi mau gimana, anak masih kecil. Makanya gimanapun harus tetap jualan.
   

Jika Dayat masih bisa bertahan, lain halnya dengan Hardianto (27). Sejak sebulan terakhir ia terpaksa menutup lapaknya di Pasar Tanah Abang.  "Tanah Abang sepi. Para pedagang bahkan sekarang banyak yang pulang kampung," kata Hardianto yang biasa berjualan pakaian gamis dan jilbab itu kepada Republika, Kamis (16/4).

Hardianto kini juga terpaksa pulang ke kampung halamannya di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Tujuannya demi menghemat pengeluaran lantaran biaya hidup di sana tak semahal di ibu kota. 

Tapi, tetap saja ia harus menghidupi keluarga. Ia pun mulai mengandalkan penjualan secara daring walau tak bisa menutupi kerugian. Sebab, penjualan secara daring hanya 5 persen saja jika dibandingkan omzetnya ketika berjualan di Tanah Abang pada masa normal. "Sekarang makin sulit lagi sejak stok barang mulai putus gara-gara supplier tutup," ujarnya.

photo
Seorang penjual makanan tradisional kerupuk gurilem, Rahmat berjalan sambil menawarkan dagangannya di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (15/4). - (Edi Yusuf/Republika)

Nasib karyawan tak kalah susah. Misalnya, Ilham Alzamar (25) yang merupakan barista di sebuah kedai kopi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Sejak PSBB mulai diterapkan, kedai kopi tempat ia bekerja mulai menyesuaikan kebijakan. Jam operasional diperpendek. Pelanggan tak diperkenankan lagi untuk menikmati kopi langsung di tempat. Harus bawa pulang. 

Walhasil, jumlah karyawan yang masuk setiap hari pun mulai dikurangi. "Saya sekarang statusnya dijadikan pekerja harian. Dalam dua pekan, cuma dapat jatah masuk kerja sebanyak 2 hari," ucapnya. Cerita berbeda datang dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Rian Alfianda (27) yang baru 3 bulan terakhir ditunjuk untuk mengelola sebuah kafe rintisan di Kota Mataram, kini terpaksa menutup kafe tersebut lantaran minimnya penjualan. Terlebih lagi, ia juga khawatir bakal terpapar Covid-19 di sana. 

Walhasil, Rian kini terpaksa pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tak lagi memiliki pekerjaan, ia kini hanya bekerja membantu-bantu usaha orang tua.

 
Kalau seperti ini terus, ini usaha cuma bisa bertahan hingga 2 bulan ke depan karena sekarang sudah makan modal.
   

Cerita usaha rintisan yang berdarah-darah dihantam Covid-19 juga datang dari Sumatra Barat. Yakni, sebuah kedai kopi yang berlokasi di Kota Payakumbuh. Usaha milik Prima Nugraha (26) itu kini kehilangan omzet sekitar 65 persen lantaran minimnya penjualan sejak wabah melanda. "Omzet per bulan sekarang hanya Rp 1,5 juta. Kalau seperti ini terus, ini usaha cuma bisa bertahan hingga 2 bulan ke depan karena sekarang sudah makan modal," ucapnya. 

Selain usaha diambang kebangkrutan, Prima juga harus menghadapi kenyataan bahwa ia masih memiliki hutang ke bank. Pinjaman dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) itu memang ia ambil dulu untuk membuka usaha kedai kopi tersebut.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, pada Rabu (15/4), menyatakan, pihaknya telah menyusun sembilan program untuk membantu para pelaku Koperasi dan Usaha Kecil Mikro Menengah (UMKM).  Program itu di antaranya stimulus daya beli produk Koperasi dan UMKM, program restrukturisasi dan subsidi suku bunga kredit usaha mikro, bantuan langsung tunai, serta pemberian kartu prakerja kepada pelaku usaha mikro yang paling riskan terdampak Covid-19.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat