Nasabah mengakses aplikasi BTN Mobile saat melihat rumah bersubsidi di Perumahan Hadrah Land, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Senin (12/2/2024). | Republika/Edwin Dwi Putranto

Ekonomi

Menakar Risiko Penghapusan SLIK untuk KPR Subsidi

Apabila SLIK dihapus, maka sama saja menghilangkan alat navigasi bagi perbankan.

JAKARTA — Pemerintah diminta mempertimbangkan dengan matang rencana penghapusan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK untuk mempermudah kredit rumah subsidi. Sebab, kebijakan itu dapat menimbulkan sejumlah risiko.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait sebelumnya mengusulkan untuk menghapus kredit macet di bawah Rp1 juta. Tujuannya untuk mengakselerasi serapan program FLPP. Menurut Ara, pengembang pun bersedia untuk membayar kredit macet tersebut.

Pengamat Pasar Modal Hans Kwee menilai wacana penghapusan SLIK OJK untuk mempermudah kredit rumah subsidi merupakan kebijakan yang  berisiko. SLIK merupakan salah satu instrumen utama yang digunakan bank atau lembaga keuangan untuk menilai kelayakan debitur sebelum memberikan pinjaman.

Menurut Hans, SLIK berfungsi mencatat rekam jejak kredit seseorang sehingga bank dapat memprediksi tingkat risiko kredit macet. "Ya, ini usulan yang kurang tepat ya. Kami pikir karena sebenarnya SLIK itu kan track record kredit seseorang. Jadi ini menjadi acuan bank dalam menyalurkan kredit. Nah asumsi yang dipakai disini adalah kalau orang itu pernah punya masalah, maka bank itu harus hati-hati dalam menyalurkan kredit," ujar Hans.

Lebih lanjut katanya, apabila SLIK dihapus maka itu sama saja menghilangkan alat navigasi bagi perbankan dalam menyalurkan kredit. Tanpa data riwayat kredit, bank akan sulit menilai apakah seorang calon debitur mampu membayar kewajibannya di masa mendatang.

“Kalau SLIK tadi dihapus, kemudian orang itu dapat kredit, maka kredit-kredit itu potensi macetnya akan sangat tinggi. Padahal perbankan ini, dia menarik dana masyarakat yang ternyata dana masyarakat itu juga ada cost-nya. Sehingga kalau kita melakukan penghapusan SLIK untuk memberikan kredit pada pihak-pihak yang memang belum layak mendapatkan kredit, itu sama saja memindahkan masalah dari debitur ke industri perbankan,” jelas Hans.

Hans mengingatkan bahwa peningkatan kredit macet dapat mengancam kesehatan perbankan secara keseluruhan. "Kalau perbankan terganggu, implikasinya luas karena bisa men-trigger terjadinya krisis pada ekonomi Indonesia secara keseluruhan," tambahnya.

Sebagai contoh, Ia menyinggung pengalaman krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008 ketika kredit perumahan diberikan kepada kelompok yang tidak layak dan menyebabkan lonjakan gagal bayar yang mengguncang perekonomian global.

"Waktu itu orang yang no income, no job, tetapi mereka punya properti dengan bunga yang tinggi. Ya akhirnya keluarlah banyak subprime mortgage yang meledak di 2009 yang menyebabkan ekonomi Amerika dan dunia terpuruk pada krisis gitu," pungkasnya.

Menurut Hans, kebutuhan akan hunian memang penting, tetapi tidak semua orang yang membutuhkan hunian itu layak mendapatkan fasilitas kredit. Untuk itu, agar tidak mengorbankan stabilitas keuangan, Hans mengusulkan agar pemerintah membuat mekanisme rumah, rumah susun atau apartemen yang disewakan dengan subsidi sehingga harganya terjangkau.

Ia mengusulkan, hunian sewa itu dapat diberikan berdasarkan radius tempat bekerja sehingga membantu menghemat biaya hidup masyarakat berpenghasilan rendah. "Sehingga ini membantu dia bekerja yang tinggalnya dekat daerah tempat tinggalnya, sehingga cost dia menjadi lebih minim. Kemudian waktunya menjadi lebih efisien gitu. Nah mungkin mekanisme itu bisa dipikirkan ya," imbuhnya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya menegaskan Sistem Layanan Informasi Keuangan tidak menjadi penghambat masyarakat dalam memperoleh pembiayaan maupun lembaga jasa keuangan menyalurkan kredit. SLIK, menurut OJK, bukan satu-satunya acuan dalam menentukan kelayakan debitur.

“SLIK bukan menjadi satu-satunya acuan dalam pemberian kelayakan dari calon debitur,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, pada November lalu.

Mahendra menjelaskan lembaga keuangan tetap memiliki ruang untuk menilai berbagai aspek lain sebelum menyalurkan pembiayaan. Faktor-faktor seperti karakter, legalitas, arus kas, serta kapasitas pembayaran calon debitur juga menjadi pertimbangan penting.

“SLIK berfungsi sebagai sumber informasi yang bersifat netral dan tidak dimaksudkan sebagai hambatan bagi pemberian kredit kepada pihak dengan kualitas kredit di luar kategori lancar semata,” kata Mahendra.

Pernyataan Mahendra merespons isu bahwa SLIK menjadi kendala dalam penyaluran pembiayaan perumahan melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Ia menegaskan sebagian besar pengajuan yang ditolak bukan karena catatan SLIK, melainkan tidak memenuhi kriteria penerima FLPP atau belum melengkapi dokumen persyaratan.

“Sebagian besar pengajuan yang tidak disetujui disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan kriteria program atau kelengkapan dokumen,” ujarnya.

Mahendra menambahkan, hanya sebagian kecil pengajuan yang ditolak akibat hasil pemeriksaan SLIK, misalnya karena saldo kurang dari Rp1 juta namun tercatat sebagai kredit macet. Ia menekankan jumlahnya sangat kecil dibandingkan total keseluruhan pengajuan pembiayaan.

Ia memastikan OJK terus mendukung optimalisasi peran sektor jasa keuangan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. OJK juga berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR, dan BP Tapera agar kebijakan penyaluran FLPP berjalan lancar tanpa hambatan administratif.

Selain isu SLIK, Mahendra menyoroti kondisi makroekonomi nasional yang dinilai masih solid. Pada kuartal III 2025, ekonomi tumbuh 5,04 persen (yoy) dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur tetap di zona ekspansif.

“Perlu dicermati perkembangan permintaan domestik yang masih memerlukan dukungan lebih lanjut, seiring dengan moderasi inflasi inti, tingkat kepercayaan konsumen, serta penjualan ritel, semen, dan kendaraan,” tuturnya.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyatakan hasil klarifikasi OJK yang dilakukan per individu menunjukkan SLIK bukan faktor penentu dalam masalah pengajuan KPR FLPP.

Meski begitu, OJK mendukung pemerintah untuk memperpanjang kebijakan hapus buku dan hapus tagih yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024.

OJK melihat PP 47/2024 memberikan dampak positif terhadap penyaluran kredit, sebab debitur yang masuk dalam daftar hitam SLIK akan dianggap bersih kembali dan bisa mendapatkan akses keuangan ke depannya.

Namun, kebijakan itu telah berakhir pada 5 Mei 2025. "Itu harapan kami (perpanjangan PP 47/2024). Persoalan-persoalan teknis itu kemudian dengan gampang kami atasi,” tutur Dian.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat