Opini-Dosa Ekologis | Republika-Daan Yahya

Opini

Bencana, Dosa Ekologis, dan Tanggung Jawab Kolektif Umat

Ketika kerusakan lingkungan bukan lagi sekadar musibah, tetapi hasil kelalaian sistemik

Oleh MOH NUR FAUZI; Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu, Universitas KH. Mukhtar Syafaat Banyuwangi

REPUBLIKA.ID, Rentetan bencana alam yang terus berulang di Indonesia—banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan krisis air bersih—tidak dapat lagi dipahami semata sebagai peristiwa alamiah. Dalam pandangan keimanan, bencana tidak hanya menghadirkan duka dan cobaan, tetapi juga panggilan untuk melakukan muhasabah kolektif.

Alqur’an mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” (QS. ar-Rum: 41). Ayat ini menegaskan bahwa sebagian bencana ekologis adalah akibat dari cara manusia memperlakukan alam secara tidak adil.

Dalam teologi Islam, manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Status khalifah bukanlah mandat untuk mengeksploitasi, melainkan amanah untuk menjaga, merawat, dan menegakkan keseimbangan (mizan). Namun dalam praktik pembangunan modern, relasi manusia dengan alam sering tergelincir dari relasi amanah menjadi relasi dominasi. Alam direduksi menjadi sumber daya ekonomi semata, sementara daya dukung ekologis diabaikan.

Di sinilah gagasan fikih bencana dan fikih lingkungan (fikih bi’ah) menjadi sangat relevan. Fikih tidak boleh berhenti pada pengaturan ibadah personal, tetapi harus hadir sebagai pedoman etika sosial dalam menjaga keselamatan kehidupan. Bencana bukan hanya persoalan teknis kebencanaan, melainkan masalah moral, spiritual, dan struktural yang menuntut tanggung jawab bersama.

photo
Warga menyaksikan sejumlah rumah rusak tertimbun lumpur dan sampah kayu pascabanjir bandang di Desa Manyang Cut, Kecamatan Mereudu, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis (27/11/2025). Gubernur Aceh Muzakir Manaf menetapkan status darurat bencana hidrometerologi setelah 16 kabupaten/kota di Aceh dilanda banjir hingga longsor, terhitung 28 November hingga 11 Desember 2025. - (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer, kesadaran ini diperkuat oleh Fazlun Khalid melalui karyanya Signs on the Earth: Islam, Modernity and the Climate Crisis (2019). Ia menegaskan, krisis iklim pada dasarnya adalah krisis tauhid ekologis. Ketika manusia memutus relasi spiritual dengan alam, maka alam kehilangan kesakralannya dan berubah menjadi sekadar komoditas. Padahal dalam Islam, bumi dan seluruh isinya merupakan ayat-ayat Tuhan yang harus dihormati dan dijaga.

Gagasan tersebut sejalan dengan pemikiran Ibrahim Abdul-Matin dalam Green Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet (2010). Abdul-Matin memperkenalkan konsep “Islam hijau”, yakni pemahaman bahwa iman harus terwujud dalam perilaku ramah lingkungan, hidup sederhana, tidak berlebihan (israf), dan tidak menyia-nyiakan nikmat (tabdzir). Merusak alam, dalam kerangka ini, adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai tauhid.

Secara normatif, kerangka ini dipertegas oleh pengembangan maqashid syariah kontemporer yang dirumuskan Jasser Auda dalam Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (2008). Auda memperluas tujuan syariat tidak hanya pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, tetapi juga pada keberlanjutan sistem kehidupan secara menyeluruh. Dengan pendekatan ini, pelestarian lingkungan bukan isu tambahan, melainkan bagian dari tujuan dasar syariat.

 
Sabar menghadapi musibah tetap penting, tetapi jauh lebih penting adalah ikhtiar serius untuk mencegah bencana melalui perubahan perilaku, kebijakan, dan orientasi pembangunan
MOH NUR FAUZI
 

Dengan demikian, fikih bencana sejatinya adalah fikih tentang tanggung jawab. Ia menuntut pergeseran dari sikap fatalistik menuju kesadaran etis. Sabar menghadapi musibah tetap penting, tetapi jauh lebih penting adalah ikhtiar serius untuk mencegah bencana melalui perubahan perilaku, kebijakan, dan orientasi pembangunan.

Dalam konteks Indonesia, bencana ekologis tidak bisa dilepaskan dari persoalan eksploitasi sumber daya alam yang masif. Deforestasi, alih fungsi lahan, ekspansi pertambangan, serta pembangunan kawasan industri dan proyek-proyek strategis nasional yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah memperbesar risiko bencana. Banjir di wilayah hulu akibat kerusakan daerah aliran sungai, longsor di kawasan tambang terbuka, serta krisis ekologis di pesisir karena rusaknya mangrove menunjukkan bagaimana pembangunan yang tidak berkeadilan ekologis berubah menjadi sumber petaka.

Dalam fikih bencana, kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk kezaliman struktural. Negara sebagai pemegang amanah kekuasaan memikul tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan selaras dengan prinsip kemaslahatan (maslahah ‘ammah) dan tidak melahirkan mudarat yang lebih besar. Kekuasaan, dalam perspektif Islam, bukan hak untuk mengeksploitasi, melainkan amanah untuk menjaga keselamatan seluruh makhluk.

Islam juga mengenal prinsip sadd al-dzari‘ah, yakni menutup segala jalan menuju kerusakan. Prinsip ini semestinya menjadi dasar etika kebijakan publik dalam pengelolaan lingkungan. Ketika sebuah proyek sejak awal berpotensi merusak ekosistem dan mengancam keselamatan warga, maka pencegahan harus didahulukan daripada sekadar mengandalkan penanganan pascabencana.

Namun tanggung jawab ekologis tidak berhenti pada negara. Masyarakat dan organisasi keagamaan memiliki peran yang sama pentingnya. Masjid, pesantren, majelis taklim, dan jaringan dakwah memiliki posisi strategis untuk membangun kesadaran ekologis berbasis iman. Dakwah tentang tauhid tidak boleh terpisah dari pesan tentang menjaga bumi sebagai ciptaan Allah. Membuang sampah sembarangan, membakar lahan, mengeksploitasi sumber daya secara serampangan, dan hidup dalam pola konsumsi berlebihan adalah perilaku yang bertentangan dengan akhlak Islam.

Dalam teologi Islam, manusia bukan pemilik mutlak bumi, melainkan peminjam yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap jengkal tanah, setiap tetes air, dan setiap pohon yang ditebang akan menjadi saksi atas bagaimana amanah itu dijalankan. Kesadaran ini seharusnya melahirkan etika hidup sederhana, adil, dan berkelanjutan.

photo
Warga melewati tumpukan kayu-kayu yang menyumbat dan merusak salah satu jembatan penghubung antardesa di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (7/4/2021). Menurut Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), banjir bandang dan tanah longsor yang melanda di sejumlah wilayah di NTT dipicu kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan, pertambangan, dan pembalakan liar. - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO)

Di sisi lain, sektor swasta juga memikul kewajiban moral yang tidak ringan. Keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi alam tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis pada hakikatnya adalah keuntungan yang tercemar. Dalam pandangan fikih, harta yang dihasilkan dari jalan yang membawa mudarat bagi banyak orang tidak pernah benar-benar membawa keberkahan.

Fikih bencana dengan demikian tidak hanya mengatur bagaimana bersikap ketika musibah datang, tetapi juga bagaimana merancang peradaban yang lebih adil terhadap alam. Ia menjembatani antara iman, ilmu, dan kebijakan. Tanpa fikih yang responsif terhadap krisis ekologis, agama berisiko tereduksi menjadi ritual privat yang terpisah dari keadilan sosial dan keselamatan semesta.

Solusi yang mendesak harus ditempuh secara simultan. Pertama, pada level kebijakan, penegakan hukum lingkungan harus dilakukan secara adil dan tegas tanpa pandang bulu. Kedua, pada level pendidikan, nilai-nilai fikih lingkungan dan ekoteologi perlu diintegrasikan dalam kurikulum madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi. Ketiga, pada level masyarakat, penguatan komunitas tangguh bencana berbasis masjid dan desa menjadi kebutuhan mendesak di tengah meningkatnya risiko iklim.

Pada akhirnya, bencana ekologis adalah ujian keimanan kolektif. Cara manusia meresponsnya akan menentukan apakah Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), atau justru terasing dari penderitaan bumi. Fikih bencana mengingatkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga ibadah sosial, amanah kekhalifahan, dan tanggung jawab kita kepada generasi yang akan datang.

 

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tanda Tanya Fase Kedua Gencatan Senjata di Gaza

Negara Muslim masih keberatan harus melucuti Hamas di Gaza.

SELENGKAPNYA

Kamboja-Thailand Panas Lagi, Lima Tewas

Kedua pihak saling tuduh memulai serangan.

SELENGKAPNYA

Muhasabah dan Bangkit dari Musibah

Jika manusia berperasangka baik terhadap pemberian Tuhan, maka rezeki lain akan datang.

SELENGKAPNYA