Petani memanen padi di Kampung Karanganyar, Sayar, Serang, Banten, Sabtu (11/4/2020). | ADENG BUSTOMI/ANTARA FOTO

Opini

Hitung Ulang Nilai Tukar Petani

Wabah pandemi korona berdampak pada kehidupan petani, peternak, nelayan, serta pelaku usaha lainnya.

 Oleh: M Noor Azasi Ahsan, Tenaga P2SDM LPPM IPB University

 

Bagaimanakah kita melihat kondisi pertanian saat ini? Berdasarkan data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani (NTP) nasional Maret 2020 sebesar 102,09 atau turun 1,22 persen dibandingkan NTP bulan sebelumnya.

Penurunan NTP disebabkan oleh indeks harga yang diterima petani (IT) turun 1,08 persen, sedangkan indeks harga yang dibayar petani (IB) naik 0,14 persen.

Selama Maret 2020, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 4.936 per kg atau turun 4,64 persen dan di tingkat penggilingan Rp 5.030 per kg atau turun 4,65 persen dibandingkan harga gabah kualitas sama pada bulan sebelumnya.

Rata-rata harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani Rp 5.766 per kg atau turun 1,04 persen dan di tingkat penggilingan Rp 5.888 per kg atau turun 0,95 persen. Kondisi serupa juga dialami peternak ayam potong.

Berdasarkan data Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia yang dipublikasikan Indonesiainside, harga ayam hidup di tingkat peternak anjlok sekitar Rp 5.000-Rp 8000 per kilogram (kg). Padahal, harga pokok produksi (HPP) saja Rp 17.500-Rp 18 ribu per kg.

Makna NTP

NTP adalah salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan petani, juga untuk menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi ataupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, tingkat kehidupan petani relatif semakin tinggi.

NTP diartikan sebagai pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian.

photo
Sejumlah petani memasukan gabah ke dalam karung usai dipanen dengan mengunakan traktor bantuan dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulutura Pemkab Kolaka di areal persawahan Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Senin (13/4). - (ANTARA FOTO)

 

Secara sederhana, NTP merupakan rasio antara IT dan IB yang dinyatakan dalam persentase. Selama ini, IT didefinisikan meliputi dua kelompok besar. Pertama, tanaman bahan makanan (TBM) yang meliputi padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

Kedua, tanaman perdagangan rakyat (TPR) yang meliputi tanaman perkebunan rakyat. IB pun meliputi dua kelompok besar. Pertama, konsumsi rumah tangga (KRT) yang mencakup kelompok-kelompok makanan, perumahan, pakaian.

Kedua, aneka barang dan jasa serta kelompok biaya produksi dan penambahan barang modal yang mencakup nonfaktor produksi, upah, penambahan barang modal, dan kelompok lainnya.

Bila rata-rata hasil produksi per hektare enam ton dikalikan harga GKP Rp 4.936,00/kg, diperoleh penerimaan Rp 29,6 juta/ha. Dengan asumsi biaya produksi Rp 15 juta, petani masih akan memperoleh Rp 14,6 juta per musim tanam selama tiga bulan.

Petani yang memiliki lahan garapan dua hektare dan belum menikah, tentu relatif sangat makmur dan sejahtera untuk ukuran desa, tetapi bagaimana dengan petani yang lahan garapannya kurang dari satu hektare dan sudah berkeluarga dengan anak lebih dari satu?

Apalagi, hasil di lapangan sering tidak mencapai enam ton, kadang-kadang gagal panen atau harga anjlok saat panen raya.

Nilai GKP juga bisa dibanding dengan beberapa jenis kebutuhan tertentu di luar pengelompokan di atas. Nilai penjualan seluruh GKP pada sepetak lahan tak akan cukup untuk membeli senjata virtual seharga jutaan bila ingin bermain gim daring pada level tertentu.

Minum teh atau kopi di hotel berbintang setara dengan penjualan 5 - 10 kg GKP. Bahkan, sekadar ingin bekerja sampingan di kota, petani harus mengorbankan simpanan GKP sebanyak dua kuintal untuk membayar sewa rumah petak bulanan.

Langkah memperbaiki kondisi ini bisa dimulai dengan merombak konsep NTP dengan memasukkan beberapa jenis kebutuhan sekunder dan tersier dalam komponen IB, kelompok harga barang yang harus dibayar petani.

photo
Petani menjemur gabah di Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (13/4/2020). - (ANTARA FOTO)

 

Dampak korona

Wabah pandemi korona berdampak pada kehidupan petani, peternak, nelayan, serta pelaku usaha lainnya. Petani di Ciwidey tidak bisa memasarkan sayur-sayuran yang dihasilkannya karena banyak perusahaan catering yang tidak beroperasi.

Warung pecel lele dan ayam serta rumah makan tidak beroperasi karena pembatasan sosial, praktis menurunkan permintaan daging dan berbagai jenis ikan. Secara umum, harga hasil laut, ayam potong, dan daging menurun antara 30 hingga 70  persen.

Penurunan kinerja ekonomi itu menyebabkan pelaku usaha terpaksa melakukan rasionalisasi, baik dengan menghentikan sementara operasional perusahaan maupun mengurangi jumlah pekerja atau pegawai tidak tetap.

Dampaknya, terjadi peningkatan jumlah penganggur, penurunan daya beli, dan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Petani kecil dan buruh tani merupakan salah satu yang paling rentan menghadapi kondisi ini.

Paralel dengan perombakan konsep NTP, perlu ada kebijakan afirmasi. Pemerintah bisa menerapkannya dengan mengubah mekanisme pemberian subsidi.

Bahan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya langsung dibeli dari petani, lalu didistribusikan sebagai komponen upah //in-natura// kepada para pekerja dan PNS sebagai bagian integral dari instrumen jaminan sosial nasional.

Dalam jangka pendek, sebagian dana sosial dan dana tanggap darurat penanganan Covid- 19 bisa dibelikan bahan pangan produk petani lokal agar bisa dibagikan kepada masyarakat lain yang terdampak.

Selain peningkatan produktivitas dan kualitas produk petani, adanya kepastian pembelian dengan harga meningkat, akan merangsang regenerasi petani secara alamiah.

Peningkatan NTP dan pendapatan, memungkinkan petani milenial hidup sebagaimana milenial lainnya. Main gim di sela-sela kegiatan mengolah tanah, ataupun mencari pengalaman dengan traveling ke desa lain di berbagai pelosok nusantara pada masa bera.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat