Suasana Masjidil Haram menjelang diberlakukannya karantina wilayah oleh Kerajaan Arab Saudi. | AP

Opini

Kultivasi dan Simulasi Covid-19

Persoalan Covid-19 yang beredar di masyarakat juga merupakan persoalan psikologi-informasi.

Oleh Dudi Iskandar, Ketua Pusat Studi Komunikasi Universitas Budi Luhur

Teori kultivasi merupakan salah satu teori dalam ilmu komunikasi. Teori ini dirintis George Gerbner pertengahan abad ke-20. Penelitian ini berkaitan dengan efek menonton kekerasan televisi.

Teori ini berkesimpulan, khalayak yang menonton televisi lebih dari empat jam setiap harinya (kategori high viewer) akan berpandangan, apa yang terjadi di televisi merupakan sesuatu yang sebenarnya.

Menurut Gerbner, ada lima asumsi dasar dari teori ini. Yakni, isi televisi yang diproduksi secara massal berpengaruh lebih besar daripada media massa lain. Kedua, televisi membentuk persepsi, sikap, dan keyakinan seseorang terhadap orang lain dan masyarakat.

Ketiga, televisi menebarkan dan menanamkan nilai tertentu sehingga membentuk sikap tertentu. Keempat, menonton televisi lebih dari empat jam setiap harinya akan menimbulkan sindrom seperti  dijelaskan di awal tulisan ini.

Kelima, menciptakan realitas sendiri. Ia bukan  realitas yang sebenarnya. Dalam jangka panjang, konstruksi realitas televisi dalam teori kultivasi membentuk sebuah pola kekerasan yang menyebabkan khalayak ketakutan.

Padahal realitas televisi tidaklah tunggal. Bisa dipastikan tidak ada khalayak yang menonton acara tunggal televisi. Sebab, acara televisi beragam mulai dari berita, hiburan, petualangan, dan sebagainya.

Bukan hanya tentang berita kekerasan an sich seperti anggapan Gerbner. Masih banyak realitas lain yang tidak terpotret kultivasi. Dengan demikian, secara metodologi teori kultivasi ini bermasalah.

Dalam konteks tulisan ini, kekerasan dalam penelitian Gerbner kita ganti dengan Covid-19 dan televisi diubah dengan medsos. Hasilnya kurang lebih sama.

Efek medsos dalam kasus Covid-19 akan menumbuhkan realitas alternatif dari realitas sebenarnya. Masyarakat yang menggunakan medsos lebih dari empat jam sehari akan berasumsi, realitas Covid-19 di medsos adalah sejatinya.

Padahal, asumsi tersebut salah sebab ia bukan realitas yang sebenarnya, melainkan realitas buatan (medsos). Realitas buatan Covid-19 ini yang ditolak, misalnya, oleh Presiden AS Donald Trump.

Ia pun dengan jemawa menyatakan, wabah Covid-19 tidak akan memorakporandakan Amerika. Hal yang sama dilakukan Inggris. Perdana Menteri Boris Johnson meremehkan Covid-19. Keduanya bersikap antisaintifik.

Kita harus akui, realitas Covid-19 memorakporandakan semua tatanan dunia. Bahkan, dunia menjadi terbalik-balik atau realitasnya menjadi jungkir balik. Pada awalnya, negara “super power” seperti Amerika meremehkan Covid-19.

AS yang dikenal gudangnya ilmuwan justru melakukan tindakan bertentangan dengan kaidah ilmiah. Trump lebih banyak menuduh orang lain (khususnya Cina) daripada mempersiapkan negaranya dalam segalanya.

Sebaliknya, Arab Saudi yang terkenal ortodoks atau konvensional, dalam kasus Covid-19 ini justru bersikap terbuka dan mengikuti kaidah saintifik.

Raja Salman dan Putra Mahkota Arab Saudi langsung menutup akses ke dalam negeri (salah satunya peniadaan ibadah umrah). Mereka mengisolasi diri dan menerapkan kebijakan saintifik lainnya.

Teknik simulasi

Simulasi, kata Yasraf Amir Piliang (2011), merupakan teknik penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak memiliki asal usul atau referensi realitasnya sehingga ia memampukan manusia membuat sesuatu yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata.

Tampak adalah sesuatu yang tak mencerminkan sebenarnya. Misalnya, tongkat yang dimasukkan ke air tampak bengkok, padahal tongkat itu lurus. Ingar bingar Covid-19 di media dan atau jejaring adalah salah satu bentuk simulasi.

Setiap hari ini tidak ada ruang dan waktu yang lewat dari simulasi Covid-19 daripada realitas Covid-19. Mulai dari jenis virus, penyebaran, vaksin, korban, dan penanganannya. Semuanya serba-simulasi.

Lumrah bila Covid-19 ini justru lebih banyak menimbulkan penyakit psikologis daripada penyakit biologis. Teknik simulasi Covid-19 melahirkan realitas lain yang lebih imajinatif, meninabobokan, dan mengaduk perasaan.

Covid-19 yang biologis kini tumpang-tindih dengan hororisme, ketakutan, dan mungkin juga kengenesan akal publik. Covid-19 dalam teknik simulasi menghasilkan Covid-19 dalam konstruksi budaya massa, ideologi populer, dan penuh tipu muslihat kapitalisme.

Sesungguhnya, teori komunikasi kultivasi dan teknik simulasi lebih pada persoalan psikologis-informasi daripada masalah komunikasi, semiotika, ataupun filsafat.

Tanpa mengesampingkan Covid-19 sebagai masalah kedokteran dan kesehatan pun, persoalan Covid-19 yang beredar di masyarakat merupakan persoalan psikologi-informasi.

Maknanya, kewaspadaan penting, tetapi waspada berlebihan menimbulkan persoalan turunan, seperti panic buying, saling curiga, asosial, dan sebagainya. Maka itu, persoalan psikologi-informasi bisa diatasi dengan berbagai langkah. Antara lain, memisahkan informasi atau melek informasi tentang Covid-19. Semakin mencari informasi, kian banyak persoalan mental akan menimpa. Depresi, cemas, panik, waswas, khawatir, dan sebagainya.

Di sinilah, kita perlu berpikir positif dan memperkuat tauhid (keyakinan) kepada Tuhan adalah yang utama. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat