Internasional
Giliras UEA Tolak Gabung Pasukan Stabilisasi di Gaza
Belum ada kerangka yang jelas soal penempatan pasukan internasional di Gaza.
ABU DHABI -- Seorang pejabat senior UEA mengatakan UEA tidak mungkin bergabung dengan Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza (ISF). Hal ini karena tidak adanya kerangka kerja yang jelas.
Dilaporkan media UEA The National, Dr Anwar Gargash, penasihat diplomatik Presiden Sheikh Mohamed bin Zayed, mengatakan pada hari Senin bahwa UEA “belum melihat kerangka kerja yang jelas untuk pasukan stabilisasi”.
“Dalam keadaan seperti ini, kami mungkin tidak akan berpartisipasi dalam pasukan seperti itu,” katanya dalam pidato pembukaan Debat Strategis Abu Dhabi. “Tetapi kami akan terus mendukung semua upaya politik.”
Pasukan Stabilisasi Internasional adalah pilar utama bagi fase berikutnya dari gencatan senjata di Gaza. AS telah menganjurkan kekuatan dari negara-negara mayoritas Muslim.
UEA dianggap sebagai salah satu negara yang dapat menjadi bagian dari pasukan tersebut, sementara negara-negara Arab lainnya, termasuk Yordania, sejak awal menyatakan bahwa mereka tidak akan bergabung.
Pembentukan pasukan tersebut merupakan bagian dari perjanjian yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump yang menghasilkan gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas. Perjanjian ini mulai berlaku pada 10 Oktober, mengakhiri dua tahun pertempuran di Gaza.
Rencana perdamaian Gaza “tidak sempurna, namun signifikan”, kata Dr Gargash. Perjanjian yang dimediasi AS juga menjamin pembebasan sandera Israel yang ditahan di Gaza sebagai imbalan atas kebebasan hampir 2.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.
Tahap berikutnya dari rencana tersebut difokuskan pada pemerintahan masa depan Gaza. “Rencana tersebut mengharuskan kita semua, dipimpin oleh Amerika Serikat, untuk melakukan perubahan nyata bagi rakyat Gaza dan seluruh rakyat Palestina dan untuk memetakan cakrawala yang jelas menuju solusi dua negara,” kata Dr Gargash.
“Rakyat Palestina sudah cukup menderita. Mereka berhak mendapatkan keadilan dan perdamaian serta sebuah negara di mana mereka hidup berdampingan dengan Israel yang aman.”
Dr Gargash juga mengatakan rencana perdamaian Gaza harus menjadi “permulaan, bukan akhir”, dan menggambarkannya sebagai “satu-satunya jalan berkelanjutan menuju perdamaian dan negara Palestina yang layak”.
Dia mengatakan kawasan ini berada pada “titik yang menentukan setelah puluhan tahun konflik dan keputusasaan”, dengan “peluang langka” untuk memetakan jalan baru menuju stabilitas dan perdamaian jangka panjang. “Wilayah ini masih rapuh, namun ada alasan untuk optimisme hati-hati,” katanya kepada para delegasi.
“Kebijakan ekstremis dan tuntutan maksimal adalah resep kekerasan tanpa akhir. Hal ini paling jelas terlihat di Gaza.”
Timur Tengah memiliki peluang bersejarah untuk “mengatasi keluhan mendalam yang dieksploitasi oleh para ekstremis selama beberapa dekade”, tambah Dr Gargash.
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono menyatakan, Indonesia siap berpartisipasi dalam misi penjaga perdamaian di Jalur Gaza, Palestina. Ia mengindikasikan, lebih memilih penerjunan pasukan perdamaian di Gaza.
Dia menekankan pentingnya rencana komprehensif dan mandat yang jelas dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam proses tersebut.
"Indonesia siap berkontribusi dalam proses penjaga perdamaian. Detail implementasi, modalitas, dan yang utama adalah mandat resmi dari PBB yang imparsial harus sesuai dengan semangat perdamaian," ujar Sugiono di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Terkait rencana pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza, Sugiono menjelaskan, Indonesia belum membahas mekanisme teknisnya lebih lanjut. Dia menjelaskan, Indonesia membuka kemungkinan untuk menyiapkan pasukan perdamaian baru yang dapat diterjunkan ke wilayah tersebut.
Pernyataan Sugiono muncul setelah Amerika Serikat (AS) mengajukan rancangan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB mengenai pembentukan Pasukan Stabilitas Internasional di Gaza untuk masa dua tahun. Pasukan tersebut akan bertugas sebagai penegak hukum sekaligus penjaga stabilitas pascakonflik.
Dalam rancangan tersebut, ISF bakal melibatkan pasukan dari berbagai negara anggota PBB dan dibentuk melalui konsultasi dengan Dewan Perdamaian (Board of Peace) di Gaza. Misi utama ISF meliputi pengamanan perbatasan Gaza dengan Israel dan Mesir, perlindungan warga sipil dan jalur kemanusiaan, serta pelatihan bagi pasukan polisi Palestina yang akan menjadi mitra operasional.
ISF juga diharapkan dapat membantu proses demiliterisasi Gaza. Termasuk, penghancuran dan pencegahan pembangunan kembali infrastruktur militer, serta pelucutan senjata kelompok bersenjata nonnegara.
Selain itu, menurut rancangan AS, pasukan tersebut dapat menjalankan tugas tambahan yang diperlukan untuk mendukung perjanjian perdamaian Gaza, dengan masa kerja Dewan Perdamaian yang direncanakan setidaknya hingga akhir 2027.
Sugiono mengatakan, rancangan resolusi tersebut masih dalam tahap pembicaraan awal di tingkat PBB. "Kami berharap ada mandat yang jelas dan imparsial, serta dalam kerangka peacekeeping force, yang benar-benar berfungsi untuk menjaga perdamaian," ucap Sugiono.
Amerika Serikat dilaporkan akan menyampaikan rancangan resolusi mengenai rencana perdamaian Presiden Donald Trump untuk Gaza kepada 10 anggota terpilih Dewan Keamanan PBB pada Rabu malam, kata seorang pejabat AS. Perwakilan Mesir, Qatar, Arab Saudi, Turki dan Uni Emirat Arab akan bergabung dengan AS, “menunjukkan dukungan regional yang jelas,” tambah pejabat itu.
Israel dan kelompok Palestina Hamas sebulan yang lalu menyetujui tahap pertama dari 20 poin rencana Trump untuk Gaza: gencatan senjata dalam perang dua tahun mereka dan kesepakatan pembebasan sandera.
Amerika Serikat telah menyusun resolusi Dewan Keamanan PBB yang akan menyetujui mandat dua tahun untuk badan pemerintahan transisi Gaza dan kekuatan stabilisasi internasional di wilayah kantong Palestina, menurut teks yang dilihat oleh Reuters pada hari Selasa.
Belum jelas apakah ada perubahan yang dilakukan pada rancangan yang akan dibagikan kepada 10 anggota Dewan Keamanan terpilih. Sebuah resolusi memerlukan setidaknya sembilan suara setuju dan tidak ada veto dari Rusia, China, AS, Inggris, atau Prancis untuk dapat diadopsi. Belum jelas apakah AS belum membagikan salinan rancangan resolusi tersebut kepada Rusia dan China.
Teks dua halaman yang dilihat oleh Reuters akan memberi wewenang kepada administrasi pemerintahan transisi Dewan Perdamaian untuk membentuk Pasukan Stabilisasi Internasional sementara di Gaza yang dapat “menggunakan semua tindakan yang diperlukan” untuk melaksanakan mandatnya. Ini mengindikasikan bahwa ISF akan berfungsi sebagai pasukan ofensif, bukan pasif seperti pasukan perdamaian PBB.
Mike Waltz, duta besar AS untuk PBB, menyampaikan nada optimis setelah pertemuan Dewan Keamanan di mana sebuah proposal tentang bagaimana memajukan gencatan senjata di Gaza diedarkan. Waltz menggambarkan pertemuan tersebut sebagai pertemuan yang “bersejarah” dan menambahkan bahwa pertemuan tersebut merupakan contoh “kepemimpinan yang kuat” dari Presiden Donald Trump dalam masalah ini.
Situs berita Amerika, Axios, mengutip pejabat Amerika dan Israel mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump berusaha mengeksploitasi militan Hamas yang terperangkap di wilayah yang dikuasai pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza, untuk mengembangkan model untuk melucuti senjata gerakan tersebut.
Situs web tersebut menjelaskan bahwa para pejabat AS dalam beberapa hari terakhir telah berusaha untuk mempersempit kesenjangan dalam perselisihan mengenai krisis pejuang Hamas. Kepala intelijen Turki Ibrahim Kalin bergabung dalam upaya mediasi mengenai hal itu atas permintaan AS.
Meyakinkan militan Hamas untuk meletakkan senjata mereka adalah isu paling sensitif dalam rencana perdamaian Gaza yang diusung Presiden Trump. Israel sangat skeptis bahwa Hamas akan setuju untuk melucuti senjatanya melalui diplomasi.
Memberikan amnesti kepada para pejuang Hamas juga ditentang banyak orang di koalisi sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Presiden Trump telah mengatakan beberapa kali bahwa jika kelompok tersebut menolak untuk melucuti senjatanya, maka kelompok tersebut akan dihancurkan oleh Israel, namun utusannya ingin mencari solusi tanpa membiarkan perang berlanjut.
Ada puluhan pejuang Hamas bersembunyi di terowongan di sisi “garis kuning” Israel, yang memisahkan zona kendali, khususnya di kota Rafah. Bentrokan antara pasukan Israel dan pejuang Hamas menyebabkan dua ancaman besar dalam gencatan senjata.
Pekan lalu, AS menawarkan jalur aman bagi pejuang Hamas melintasi garis kuning selama 24 jam dengan harapan menghindari terulangnya bentrokan serupa. Hamas awalnya tidak menerima tawaran tersebut, namun kelompok tersebut kembali lagi kemudian dan menyatakan tertarik.
Namun, pada saat itu, Israel bersikeras bahwa tenggat waktu telah berlalu. Situasi menjadi lebih rumit ketika kelompok garis keras baik di dalam maupun di luar koalisi Netanyahu mengkritik niatnya untuk mengizinkan “jalur yang aman” bagi pejuang Hamas.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
