Sastra
Hujan di Rawa Pengasingan
Puisi-Puisi Iwan Setiawan
Oleh IWAN SETIAWAN
Hujan di Rawa Pengasingan
Hujan turun di rawa pengasingan—
Setiap tetesnya seperti doa yang menua.
Anak-anak bermain di lumpur lapar,
Menyebut nama Tuhan dengan perut kosong.
Langit murung, bumi berdzikir,
Dan roh leluhur menyalakan dupa dari kesedihan rakyatnya.
Budaya kini berdiri di antara pasar dan iklan,
Gamelan kehilangan nadanya,
tapi suaranya masih bergetar di dada petani.
Aku pun tenggelam dalam genangan waktu,
Mencari wajah-Nya di bayangan air.
Tuhan berkata:
“yang terusir dari dunia,
Justru sedang pulang kepada-Ku.”
Padang, 7 September 2025
***
Sang Pencari Cinta
Dari kabut doa dan makam waktu, ia berjalan,
Mencari cahaya di reruntuhan luka.
Setiap air mata menjelma mawar,
Mekar di kening doa yang fana
Ia mencari wajah Kekasih
Di mata dunia yang retak.
Langkahnya gema tasbih senyap,
Napasnya bayang langit yang tak tampak.
Cinta baginya bukan memiliki,
Melainkan luluh di samudra ridha
Ia pun lenyap seperti debu
Yang dicium cahaya-Nya
Dan saat malam menutup segala,
Ia pulang tanpa nama—
Menjadi bisik di hati semesta:
Engkaulah Cinta, tiada yang lain
Padang, 17 september 2025
***
Tuhan Bermata Cahaya
Angin berdoa di kelopak cahaya,
membawa harum mawar dari taman tak bernama.
Di sana, bayangku sujud pada cahaya
yang tak tampak, namun membakar sukma.
Setiap duri di jalan adalah doa,
setiap luka adalah pintu rahasia.
Dan dalam setiap hembus napas,
ada bisik-Mu yang memanggil dengan kasih.
Wahai Tuhan bermata cahaya,
hapuslah aku dari aku,
biarkan hanya cinta-Mu yang tinggal—
seperti mawar yang mekar
tanpa pernah tahu siapa yang menanamnya
Padang, 23 september 2025
***
Lahirnya Cahaya
Pada mula—hanya sunyi dan debu doa,
Langit bergetar dalam napas Yang Esa.
Dari rahim gelap, cinta menyalakan fajar,
Seberkas cahaya lahir dari air mata sadar.
Aku adalah bayang yang mencari wajah,
Berjalan di padang makna tanpa arah.
Namun setiap luka, bila disentuh ridha,
Menjelma taman, tempat ruh berjumpa.
Dunia hanyalah tirai yang mudah tersibak,
Bila hati dipanggang di api yang lembut dan bijak.
Cahaya tak datang dari mata yang memandang,
Melainkan dari jiwa yang pulang dan tunduk tenang.
Maka, lahirlah cahaya di relung dada,
Ketika segala selain Dia lenyap bersama fana.
Di sanalah cinta sejati bersemayam:
Tak bernama, namun menyala dalam diam
Padang, 30 september 2025
***
Selepas Maghrib
Selepas maghrib, langit menunduk di kelopak senja,
Suara adzan tinggal gema di dada angin.
Bayangan padi bersujud di pematang doa,
Sementara waktu menitikkan cahaya bening.
Di serambi masjid tua, dupa mengepul,
Aroma kayu gaharu menulis ayat di udara.
Seekor burung hinggap di tiang langit,
Menyanyikan tasbih dari rahasia cahaya.
Para ruh berjalan bersama angin,
Menyentuh dada para kekasih yang berzikir.
Mereka membawa kabar dari negeri tak bernama,
Tentang cinta yang tak lekang oleh takdir.
Dan aku, di tepi malam yang bergetar,
Menadah sunyi di genggam doa.
Selepas maghrib, segala bayang pun fana—
Hanya Cahaya yang tinggal abadi di dada
Padang, 5 oktober 2025
***
Api di Kelopak Mawar
Ku teguk anggur dari cawan sunyi—
Setiap tetesnya adalah rahasia,
Yang menyalakan api di tubuh rindu ini.
Di taman mawar jiwa,
Setiap duri menulis nama-Mu dengan darah.
Aku hanyalah kelopak yang jatuh,
Mencari harum abadi di napas-Mu yang merah.
Api cinta-Mu membakar segala bentuk,
Menyisakan debu yang berzikir di udara.
Dalam hangus itu aku tahu,
Tiada yang nyata selain cahaya-Mu semesta.
Maka biarlah aku mabuk dalam-Mu,
Menyanyi dengan lidah para kekasih.
Kepada Hu
kutitipkan jiwaku—
Setetes anggur di laut kasih-Mu yang tak bertepi
Padang, 20 oktober 2025
***
Iwan Setiawan, kelahiran Madukoro baru, Lampung Utara 23 Agustus1980, kini berdomisili di kota Lubuk Begalung, Padang Sumatra Barat. Pernah tergabung dalam Antologi 55 Penyair Coretan Dinding Kita, 30 Penyair Sastra Roemah Bamboe, 3 Penyair Ilalang Muda, Seutas Tali; Segelas Anggur (2017) dan masuk sebagai kategori Puisi Terpuji Anugrah Sastra Litera 2017, serta karyanya pernah di muat di berbagai media, juga telah menerbitkan buku puisi yang berjudul SANG PENCARI CINTA, buku pisi yang bertema spiritual dan bernuansa sufi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
