
Nostalgia
Rakjatschool di Antara IPO dan Oepik Itam
Sejak berkecimpung di pergerakan kiri, Oepik Itam menjelma sebagai propagandis perempuan.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset, penulis dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Arts University of Melbourne Australia
Sekolah Rakyat yang dicanangkan di masa Prabowo Subianto, tentu berbeda dengan Rakjatschool di masa Kolonial Belanda. Rakjatschool di masa Kolonal Belanda adalah sekolah partikelir berjiwa progresif pertama yang digagas oleh Tan Malaka di Semarang untuk organisasi Sarekat Islam. Bermula dari ajakan Semaun Ketua SI Cabang Semarang, agar Tan Malaka mau mendirikan sekolah untuk kaum protelar.
Didirikan di Semarang, berkecambah di Padang Panjang
Lalu dari mana Tan terinspirasi membangun Rakjatschool? Tan sendiri mendapatkan inspirasi mengenai sekolah untuk Sarekat Islam ini dari Rusia dan Belanda. Tan sempat membaca tulisan seorang Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Selain itu, Tan juga mendapat pengalaman saat bekerja di perkebunan tembakau di Deli (Poeze, 2010).
Rakjatschool yang didirikan pada 21 Juni 1921 itu bertujuan membangun kesadaran antikolonial. Sekolah ini bukan hanya bertujuan untuk memberikan bekal pendidikan dasar, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan rasa cinta tanah air pada siswanya (Tim Buku Tempo, 2010).
Tan merancang sekolah ini untuk membentuk pola pikir agar tidak lagi bergantung pada pemerintah kolonial. Artinya mereka menolak subsidi dari pemerintah. Sehingga nafas antikolonial pun terasa benar di sekolah ini (Hongxuan, 2023). Sejak resmi berdiri di Semarang, Rakjatschool segera buncah di kantong-kantong gerakan kiri.
Nun jauh di pedalaman Sumatra sana. Tersebutlah kisah pada November 1923, perkumpulan Sarekat Rakyat Padang Panjang yang baru saja diresmikan, berencana mendirikan Rakjatschool. rencana ini urung dilaksanakan.
Dua propagandis Sarekat Rakyat, Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah (pemimpin S.K Pemandangan Islam sekaligus guru bantu di Sumatra Thawalib Padang Panjang) dan Natar Zainuddin (pemimpin SK Djago! Djago! dan Ketua Internationale Debating Club) keburu ditangkap oleh veldpolitie. Mereka pun dibuang masing-masing di Kalabahi dan Kefamenanu Nusa Tenggara Timur.
Gagasan itu, baru diwujudkan pada awal 1924. Di bawah kepemimpinan Moh Noer Ibrahim -seorang haji, mengantikan posisi Haji Datuk Batuah selaku ketua Sarekat Rakyat dan hoofdredacteur Pemandangan Islam. Ketika Rakjatschool resmi didirikan, sekolah yang diperuntukan bagi golongan proletariat itu pun segera booming.
IPO: Kepanduan Progresif dan Pembelaan untuk Oepik Itam
Tidak hanya itu, mewadahi kegiatan kepanduannya, Djamaluddin Tamim selaku directur (kini: kepala sekolah) Rakjatschool merintis Internationale Padvinders Organitatie–atau yang diakronimkan IPO. Inilah kepanduan merah milik dari Rakjatschool – dalam catatan Leon Salim (1981) disegani oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Nama kepanduan IPO kembali mengemuka, ketika tuduhan spreekdelict menimpa seorang perempuan penggerak Kuminih di Afdeling Batipuh X Koto. Namanya Oepik Itam. Nama yang unik. Dia dihubungkan dengan beberapa afiliasi Kuminih, sebut saja Sarekat Djihin pimpinan Labay Patai dan Sarekat Hitam.
Kenapa Oepik Itam begitu dimusuhi? Tersebutlah kisah pada 20 Maret 1926, pecah kerusuhan di Kota Padang. Tepatnya pada 5 Ramadhan tahun 1344 Hijriah, sekitar 40 orang –yang dulunya adalah eks bandit yang kemudian ‘hijrah’ dan mendalami Islam, mengubah penampilannya lebih agamis, dengan identitas jenggot, berpakaian putih, dan punya ilmu kebatinan (Doenia Achirat, 22 Maret 1926).
Mereka menamakan dirinya Sarekat Djihin (Djin), dan dua orang lainnya adalah anggota Sarekat Itam. Di mata Belanda mereka adalah bandit yang sering merampok orang-orang kaya dan pejabat Kolonial Belanda. Tapi, bagi rakyat jelata adalah penolong igama (baca: agama). Aksi kerusuhan yang digerakkan 40 orang itu berakhir seketika. Ilmu kebal tidak mampu menahan laju timah panas. Lima orang tersungkur, sisanya ditangkap tentara marsose.
Pasca ditangkapnya punggawa Sarekat Djihin di Padang, dan dua aksi perlawanan di daerah lainnya di Sumatra Westkust, propagandis Kuminih segera menggelar rapat umum di Padang Panjang. Satu dari sekian yang menggagas rapat umum di Rex Theather Padang Panjang itu adalah seorang perempuan. Itulah Oepik Itam.
Oepik Itam (harfiah: perempuan hitam) terlahir di Nagari Pitalah, afdeling Tanah Datar pada tahun 1905. Pendidikannya dimulai dari Volkschool Pitalah, setelah menyelesaikan studinya, ia melanjutkan di Sumatra Thawalib Gunung. Di Nagari Pitalah-Bungo Tanjung di masa bersemainya Kuminih, ada dua orang yang bergerak dan aktif di Sarekat Rakyat, yakni Arif Fadhilah dan Oenggoen.
Diduga kuat, Oepik Itam mendapat pengaruh kuat Kuminih dari rekan sekampungnya Arif Fadhiilah, dan melalui bacaan-bacaan seperti surat kabar Pemandangan Islam, Djago! Djago!, dan Doenia Achirat.
Sejak berkecimpung di pergerakan kiri, Oepik Itam menjelma sebagai propagandis perempuan –yang lantang memprotes kapitalisme, kolonialisme, belasting yang menyengsarakan rakyat, termasuk mengritik keras para penghulu yang berafiliasi pada pemerintah.
Kritik kerasnya terhadap datuk-datuk yang pro Kolonial Belanda, memicu kemarahan dari otoritas adat. Pasca pencidukannya karena melanggar vergader verbond, ditambah pengaduan dari otoritas adat, Oepik Itam yang awalnya ditempatkan di Koto Tangah Padang, segera dipindahkan ke Fort Van der Capelen, kini Batusangkar (Sumatra Bode, 11 November 1946).
IPO Meradang, Demonstrasi pun Digelar
Proses pemindahan Oepik Itam dan Boestami ke Batusangkar pun menyulut protes besar-besaran. Mereka diminta untuk dibebaskan. Suara protes menggema dalam rapat umum yang digelar IPO. Rapat umum yang dihadiri 300 anggota IPO yang berasal dari Bungo Tanjung, Pitalah, Batipuh Baruh, Gunung Rajo dan tempat-tempat sekitarnya dipimpin seorang aktivis SR bernama Kari Soeleman dan Katib Besar (De locomotief, 23 November 1926).
Mereka berkumpul di Nagari Bungo Tanjung dan menuntut dibebaskannya Oepik Itam dan Boestami (De Indische courant, 22 November 1926). Selain menuntut pembebasan, massa IPO yang hadir juga mengikuti rapat umum protes terhadap penangkapan Oepik Itam dan Boestami. Mereka berdua berada dalam tahanan di Fort van der Capellen. Mereka dtuduh melanggar aturan pelanggaran rapat terbuka.
Tidak sebatas rapat umum. Massa berencana menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Aparat veldpolitie dan marsose melihat gelagat radikal itu, segera membubarkan massa – yang umumnya murid-murid Rakjatschool. Kari Soeleman dan Katib Besar pun ikut ditangkap.“Sebagai protes terhadap pemenjaraan Oepik Itam berambut merah dan rekannya, IPO mengadakan pertemuan untuk memprotes penangkapan itu di Bungo Tanjung” – demikian Sumatra Bode menurunkan beritanya pada 19 November 1926.
Setelah itu, keduanya divonis oleh Hakim di Padang Panjang dengan denda masing-masing f 5 gulden. Bila tidak mau membayar denda, mereka akan dikenai hukuman penjara selama lima hari Mereka dikenai pasal karet, karena melanggar artikel 37 Indische Staatsregeling.
Lama meringkuk di penjara Batusangkar, propagandis Oepik Itam divonis oleh Landraad Sawahluto, dengan hukuman delapan tahun penjara (De Sumatra post, 25 Februari 1927) Pasal karet yang dituduhkan pada Oepik Hitam, berlanjut dengan penahananya di Penjara Semarang selama setahun. Kemudian, ia kerap berpindah penjara. Alasannya, kurang masuk akal. Oepik Itam yang memang dibenci kalangan otoritas adat itu, dianggap turut memprovokasi tiga aksi kerusuhan di bulan Ramadhan tahun 1926.
Setahun kemudian, Oepik Itam kerap berpindah dari satu sel ke sel lainnya. Mulai dari Padang, Tapanuli, Benkoelen (Bengkulu), Jambi, Indragiri, Bengkalis bagian Pantai Timur Sumatra. Pasca menyelesaikan masa tahanan, Oepik Itam memilih berdiam di Medan (De Sumatra Post, 6 Februari 1936).
Oepik Itam tidak memiliki kerabat, teman atau kenalan di Medan. Di tengah kemiskinan yang menderanya, ia menyadari bahwa dirinya akan menjadi beban masyarakat. Setelah dibebaskan, Oepik Itam berdiam dua bulan di Jalan Madras. Ia tinggal bersama ibunya yang telah lanjut usia, dan putra semata wayangnya yang berusia sekitar 10 tahun.
Ia harus berjuang menghidupi anaknya dan ibunya yang sudah lama sakit. Dilaporkan, bahwa sebuah komite dibentuk oleh beberapa kawannya di afdeling Tanah Datar, dengan tujuan penggalangan dana untuk membantu Oepik Hitam keluar dari kesulitan keuangannya.
Kabar mengenai propagandis Kuminih perempuan Oepik Itam, kembali hangat dibicarakan pasca menjalani hukumannya. Seorang anggota Volksraad asal nagari Koto Gadang, dan bertugas di Oud Agam bernama Datoek Kajo, menyebut Oepik Hitam perempuan petani sederhana dari Pitalah. “…Diusianya usia 20 tahun, ia menjadi orang yang menonjol dan berwibawa di antara para ‘pemberontak’ –demikian tulis De Sumatra Post pada 14 Maret 1936.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Menkeu Purbaya Janji Berpihak ke Rakyat
Purbaya menyebut tantangan ekonomi Indonesia tidak ringan.
SELENGKAPNYAKrisis Beras Oplosan, Berkah Tersembunyi untuk Ekonomi Kerakyatan
Struktur industri penggilingan padi Indonesia mengidap penyakit kronis.
SELENGKAPNYAMenggali Pemikiran Bung Hatta Soal Rakyat dan Kekuasaan
Demokrasi politik tak akan bermakna bila tiada demokrasi ekonomi.
SELENGKAPNYA