
Internasional
Apa Maksud Kehadiran Presiden Prabowo di Beijing
Negara-negara penantang AS berkumpul di Beijing.
BEIJING – Presiden Prabowo Subianto nampak mentereng di sela-sela parade militer memeringati 80 tahun kemerdekaan China dari Jepang di Beijing, Rabu kemarin. Dalam salah satu sesi foto bersama, Prabowo berdiri di barisan depan, bersama Presiden China Xi Jinping mengapit Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pada Selasa malam, Presiden Prabowo Subianto secara mendadak bertolak ke Beijing China. Di tengah kondisi di Tanah Air yang dinilai lebih kondusif, ia membatalkan rencana absen dari parade militer besar-besaran tersebut. Apa makna kehadiran Prabowo yang terkesan terburu-buru tersebut?
Pertama-tama, mari tengok siapa saja yang hadir dalam parade militer di Beijing.
Para pemimpin 26 negara dan perwakilan asing lainnya bergabung dengan Presiden Xi Jinping untuk memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, yang jarang menghadiri kunjungan ke luar negeri, mengapit Xi saat mereka naik ke panggung pengamatan yang menghadap Lapangan Tiananmen dan menyaksikan peragaan alutsista dan pasukan yang berbaris.
Para pemimpin dari AS, Eropa Barat, Jepang dan India tidak hadir pada acara tersebut dan negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura mengirimkan pejabat tingkat rendah. Namun daftar tamu Xi menunjukkan semakin besarnya pengaruh Beijing di negara-negara Selatan dan negara-negara berkembang lainnya.

Yang bergabung dengan Putin dan Kim adalah Presiden Iran Masoud Pezeshkian. Sekutu dekat Rusia, Presiden Belarusia Alexander Lukashenko berjalan di samping Kim setelah berfoto bersama dengan para pemimpin lainnya.
Asia menyumbang mayoritas pemimpin nasional pada acara tersebut. Selain Prabowo Subianto, rekan-rekannya di Asia Tenggara, seperti Raja Kamboja Norodom Sihamoni, Presiden Vietnam Luong Cuong, dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. Pemimpin militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan Presiden Laos Thongloun Sisoulith juga bergabung dalam acara tersebut.
Turut hadir dari Asia Selatan adalah Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif, Perdana Menteri Nepal Khadga Prasad Oli, dan Presiden Maladewa Mohamed Muizzu. Dari Asia Tengah datang Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev, Presiden Tajikistan Emomali Rahmon, Presiden Kyrgyzstan Sadyr Japarov, Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev dan Presiden Turkmenistan Serdar Berdimuhamedow. Presiden Mongolia Khurelsukh Ukhnaa juga datang.
Presiden Zimbabwe Emmerson Mnangagwa dan Presiden Republik Kongo Denis Sassou Nguesso juga masuk dalam daftar tamu. Presiden Kuba Miguel Díaz-Canel adalah satu-satunya pemimpin Amerika yang hadir.
Tamu lainnya adalah Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan.
Daftar tamunya sangat mirip dengan pertemuan puncak tahunan Organisasi Kerja Sama Shanghai beberapa hari sebelumnya, namun ada beberapa orang yang pulang sebelum parade, termasuk perwakilan dari India dan Turki.

Selain Putin dan Lukashenko, hanya sedikit pemimpin Eropa yang menghadiri parade tersebut. Serbia mengirimkan Presiden Aleksandar Vucic yang bersahabat dengan Rusia dan Slovakia mengirimkan Perdana Menteri Robert Fico.
Namun mantan perdana menteri Rumania Adrian Năstase dan Viorica Dăncilă berfoto bersama dengan para pemimpin saat ini. Mantan pemimpin asing lainnya juga ada dalam daftar tamu, termasuk mantan perdana menteri Selandia Baru Helen Clark dan John Key, serta Daniel Andrews, mantan perdana menteri negara bagian Victoria, Australia.
Yeremia Lalisang, Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia mengatakan, parade militer bukan hal yang baru di China. Pada 2015, Presiden Xi juga mengadakan parade militer guna memperingati 70 tahun kekalahan Jepang.
“Itu konteksnya lebih kepada penguatan nasionalisme, jadi targetnya itu target domestik sebetulnya,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (3/9/2025). Menurut Yeremia, Xi ingin memerkuat legitimasi politik Partai Komunis Cina lewat nasionalisme dan patriotisme di tengah ekonomi China yang tengah merosot.
Selain itu, parade ini juga masuk akal dilihat sebagai tantangan langsung terhadap hegemoni Amerika Serikat. “Menurut saya konteks kalau misalnya ada orang yang berbicara, apakah ini tantangan langsung terhadap hegemoni AS, konteks tersebut masuk akal,” ujarnya.
Ini mengingat rivalitas Amerika Serikat dan China yang menguat belakangan. Mulai dari perang dagang, perlombaan teknologi, dan konteks geopolitik lainnya. “Jadi persaingannya meningkat juga kan untuk produksi electric vehicle dan segala macam. Jadi kalau ini dianggap sebagai tantangan hegemoni AS, masuk akal juga karena intensifikasi rivalitas.”

Ia menyatakan dengan kemampuan yang lebih mumpuni saat ini, termasuk dari segi militer, China sudah masuk dalam era saat mereka menyadari diri sebagai kekuatan besar dan semakin percaya diri untuk menunjukkan kekuatannya. “Walaupun apakah untuk menggunakan kekuatannya ini butuh analisis lain,” ujarnya.
Dengan kekuatan baru itu, menurut Yeremia wajar saja China ingin menegaskan soal adanya tata dunia baru dan multipolaritas kekuatan dunia. “Cina yang kekuatannya jauh melampau Indonesia tentu ingin menunjukkan peran yang lebih besar di dunia secara global, salah satunya tentu dengan narasi-narasi penegasan, narasi-narasi alternatif soal tata dunia baru yang multipolar.”
Dalam konteks itu kemudian kehadiran Presiden Prabowo jadi menarik. “Kalau saya ditanya urgensi ada atau nggak, menurut saya urgensinya untuk Pak Prabowo adalah menetapkan sikap dan mengkalkulasi kepentingan dalam rivalitas geopolitik yang semakin meningkat antara Amerika Serikat dan China,” kata Yeremia.
Meski begitu, ia mengingatkan jangan sampai Indonesia terjebak dalam rivalitas negara-negara besar. Sejauh ini, menurutnya kebijakan luar negeri Indonesia belum tegas. “Jadi urgensi utamanya adalah segera mengkalkulasikan kepentingan-kepentingan strategis dan mengkalkulasikan bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara besar itu bisa melayani kepentingan nasional ketimbang hanya sekedar berkunjung ke paradigma militer.”
Ia mengharapkan ada aksi-aksi yang lebih konkret dilakukan Prabowo ketimbang sekadar aksi-aksi performatif seperti menghadiri parade militer. “Kita menunggu hasil konkret dari apa yang sebetulnya ingin pemerintah Indonesia layani, kepentingan nasional seperti apa, kebutuhan rakyat seperti apa, kebutuhan ekonomi seperti apa yang pemerintah Indonesia sekarang sedang layani dengan Presiden Prabowo hadir di parade-parade militer di negara-negara lain.”

Hadirnya Presiden Prabowo di tengah negara-negara yang terkesan “bermusuhan” dengan AS juga unik di tengah perkembangan belakangan. Indonesia diketahui belakangan menyepakati perjanjian tarif ekspor ke AS sebesar 19 persen dengan sejumlah imbalan, utamanya untuk membuka ekspor mineral penting ke Amerika Serikat.
Padahal di sisi lain Indonesia telah lama berinteraksi ekonomi dengan Cina untuk pengolahan “critical materials” seperti nikel. Sementara Cina berinvestasi besar-besaran di Indonesia sesuai dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk membuat pemrosesan nikel di Indonesia sehingga berkontribusi kepada peningkatan posisi Indonesia dalam global value chain.
“Nah sekarang Indonesia mau gimana? AS minta boleh ekspor raw materials untuk critical minerals tapi China udah komitmen untuk bangun smelter. Nah ini yang perlu rasanya diperjelas Presiden Prabowo ini kan maunya apa.”
Sedangkan pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Suzie Sudarman menilai parade militer China dan kehadiran negara-negara tertentu bakal dilihat sebagai sikap yang antibarat.
Suzie mengamati, Prabowo coba mengikuti jejak Presiden Sukarno dalam hal ini. "Mau menantang tata kelola global, anti imperialis anti kolonialisme, anti kapitalisme ala ala Soekarno karena Pak Prabowo kan merasa seperti titisan Soekarno," kata Suzie kepada Republika.

Suzie menilai parade yang dihadiri Prabowo itu sebagai unjuk kekuatan anti Amerika Serikat dan sekutunya."Parade tahunan yang akan ditonton bersama tokoh-tokoh BRICS dan SCO adalah tokoh-tokoh yang sedang menantangAmerika Serikat dan sekutu ya Jepang," ujar Suzie.
Suzie juga mendapati informasi bahwa Xi Jinping sebenarnya berencana ke Jakarta saat perayaan Konferensi Asia Afrika (KAA). Tapi kedatangannya diurungkan karena perayaan KAA berlangsung hemat di tengah efisiensi pemerintahan Prabowo. "Karena efisiensi, Indonesia nggak bikin perayaan KAA, China butuh narasi itu untuk promosi Global South dia. Kan dia lagi getol tuh, apa-apa harus Global South," ujar Suzie.
Ia mengharapkan, ada yang dibawa Prabowo dari mengikuti parade di Beijing. "Dengan target pertumbuhan delapan persen, cari proyek ke China adalah keniscayaan. China mau kasih, asal kawan. Di mata Beijing, kalau mau datang ke parade militer perayaan kemenangan terhadap fasisme Jepang, sudah bisa dianggap kawan baik," ujar Suzie.
Presiden Prabowo Subianto melawat ke Beijing, China, untuk memenuhi undangan Presiden China Xi Jinping menghadiri parade militer angkatan bersenjata China di Beijing pada Rabu (3/9). Prabowo, didampingi oleh Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya, bertolak dari Base Ops Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa malam.
Di apron Base Ops, keberangkatan Presiden Prabowo dilepas oleh sejumlah pejabat TNI, dan anggota Kabinet Merah Putih, salah satunya Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, yang juga Juru Bicara Presiden RI.
"Pada malam hari ini, Bapak Presiden Prabowo Subianto bertolak menuju ke Beijing, China, untuk memenuhi undangan dari Presiden Xi, yang sesungguhnya undangan tersebut mengharapkan kehadiran Bapak Presiden Prabowo dari tanggal 31 (Agustus). Namun, karena adanya dinamika di dalam negeri, kemudian Bapak Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menunda keberangkatan," kata Mensesneg Prasetyo Hadi saat menyampaikan keterangan resminya di Base Ops Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa malam.
Pras, sapaan populer Prasetyo, mengatakan Presiden Prabowo dijadwalkan langsung kembali ke tanah air pada Rabu malam, setelah menghadiri parade militer China pada pagi harinya. Presiden Prabowo, melalui Prasetyo Hadi, sempat mengumumkan rencananya membatalkan lawatan ke China setelah adanya kericuhan di beberapa daerah di Jakarta, dan kota-kota lainnya pada pekan lalu.
Presiden Xi Jinping sedianya mengundang Presiden Prabowo untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Shanghai Cooperation Organisation (SCO) pada 31 Agustus - 1 September 2025 di Tianjin, China, yang kemudian dilanjutkan dengan parade militer untuk memperingati 80 tahun kemenangan dalam Perang Rakyat China Melawan Agresi Jepang dan Perang Dunia Anti-Fasis di Beijing pada 3 September. Namun, Presiden Prabowo memutuskan tidak menghadiri KTT SCO itu, dan kehadiran Presiden pun diwakili oleh Menteri Luar Negeri Sugiono.
Dalam kesempatan yang sama, Pras menjelaskan alasan Presiden yang pada akhirnya memutuskan melawat ke China, antara lain, situasi keamanan di dalam negeri yang telah kembali normal, begitu pun dengan kehidupan masyarakat di daerah-daerah yang pekan lalu ricuh telah kembali berjalan seperti sedia kala.
"Satu hari ini Beliau juga memonitor seluruh keadaan dan mendapatkan laporan dari seluruh jajaran terkait bahwa kehidupan masyarakat telah kembali berangsur pulih seperti sedia kala," kata Prasetyo Hadi.
Kemudian, Pemerintah China, dalam beberapa hari belakangan, sebagaimana disampaikan Pras, juga memohon dengan sangat kehadiran Presiden Prabowo, setidaknya satu hari dalam acara parade militer di Beijing. "Oleh karena itulah, demi menjaga hubungan baik dengan Pemerintah Tiongkok, Bapak Presiden memutuskan untuk Beliau berangkat malam ini, dan keesokan malam, Beliau sudah akan kembali ke tanah air," ujar Pras.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.