
Nostalgia
Berburu Kuminih Hingga ke Makkah
Kerajaan Saudi ikut menangkapi buruan Hindia Belanda.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN; periset dan pengajar sejarah, pernah menjadi Visiting Scholar di Faculty of Art University of Melbourne
Revolusi prematur yang terjadi dua kali di Sumatra Westkust, yakni pada 16 November 1926 dan 1 Januari 1927 memang berdampak besar. Pemerintah berupaya keras mengejar sisa-sisa penggerak revolusi setengah hati tersebut. Mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut – dikejar kejar sampai ke pelosok Sumatra.
Revolusi Berujung Gagal
Revolusi prematur yang diramalkan Tan Malaka, bakal gagal karena kurangnya massa aksi, mudah dipadamkan. Meskipun mudah dipatahkan, aksi perlawanan yang dilakukan pihak Kuminih mengkhawatirkan Gubernur Jenderal de Graeff. Ia pun segera memerintahkan untuk segera menangkap dan mengakhiri perlawanan Kuminih.
Pada 12 Januari 1927 menjadi akhir dari dibersihkannya Onderafdeling Sawahlunto/Sijunjung dari bara api kudeta. Sekitar 1.300 orang ditangkap, kebanyakan berusia 17 – 25 tahun. Pada Februari jumlah yang ditangkap mencapai 4.000 orang. Pada 28 Februari 1927 pemerintah kolonial benar-benar mengamankan situasi. Ribuan orang yang ditahan, kemudian dihadirkan dalam peradilan massal. Sebagian dari mereka dijatuhi hukuman mati (Mailrapport 254/1935; Khan, 1993: 240-242).
Dua bulan hari pasca peristiwa Silungkang 1927, Gubernur Jenderal de Graeff mengunjungi Sumatra Barat. Ia ingin melihat lebih dekat perkembangan Pabrik Semen Indarung di Padang, perusahaan tambang batubara Sawahlunto, dan penyelesaian peristiwa 1927. Sesampai di stasiun Muara Kalaban, de Graeff dijemput Controleur Hoykaas, kepala Ombilin Steenkolenont-ginning Holleman, dan satu detasemen marsose.
Gubernur Jenderal de Graeff bertanya kepada Residen apa ada orang yang membantu polisi ketika ada rusuh. Residen Wartena pun menunjukkan progres kerjanya. De Graef menghampiri Wartena sambil mengulurkan tangan, seraya berkata, besar hati kami dapat menjabat tanganmu.
De Graeff memuji kecakapannya dan mengucapkan selamat kepada sekalian orang polisi.Selama berada di Sawahlunto, De Graeff mengunjungi lubang-lubang tambang, rumah pengayakan batubara, dan lain sebagainya. Di akhir kunjungannya, de Graeff menyempatkan dirinya berziarah di kuburan Letnan Simmon dan seorang opzichter yang dibunuh oleh penggerak revolusi di Sawahlunto (Pandji Poestaka, tanggal 10 Februari 1926).
Mengejar Sisa Kuminih
Efek peristiwa 1926 dan 1927, rupanya juga merembet pada perburuan tokoh Komunis, yang melarikan diri ke jazirah Arab. Melalui tangan pemerintah Saudi melakukan penangkapan terhadap delapan orang yang tergabung dalam Sjech Bond Indonesia (SBI) dan Persyarikatan Islam Indonesia (PII), setelah menerima laporan dari pemerintah Belanda, dan gerak-gerik Konsulat Rusia yang mendukung revolusi prematur di Indonesia.
Keberadaan SBI kali pertama tertulis dalam laporan Van der Meulen yang dimuat dalam Verbaal 5 September 1927, hlm. 14. Ia menyebut, bahwa Mahdar tokoh Komunis dari Garut Jawa Barat pada tanggal 12 November 1926 telah diselundupkan ke Jeddah, tanpa paspor dan tiket kapal laut. Ia merupakan pengurus dari SBI. Atau Persyarikatan Syekh Indonesia. Dan Van der Meulen menyebut seluruh tokoh yang tergabung dalam SBI adalah Komunis. Organisasi yang dipimpin Syekh Abbas Iraghi bertujuan untuk memilih orang yang berdedikasi untuk gerakan Komunis, terutama dari kalangan jamaah haji.
Selain SBI, PII juga disebut-sebut di dalam laporan Van der Meulen. PII dalam strukturnya dipimpin oleh Mahdar (Ketua) dan dibantu oleh Djanan Thaib – seorang lulusan Al-Azhar Kairo yang berasal dari Sumatera Barat. Djanan sengaja dimanfaatkan jasanya oleh Mahdar, sebagai wartawan politik dan membeli perlengkapan senjata. PII sendiri bertujuan untuk menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh, seperti Tan Malaka, Alimin, ataupun Semaun yang berada di Soviet.
Pemerintah Belanda sendiri melalui Van der Meulen, sebelumnya tidak pernah mencurigai keberadaan SBI dan PII yang berafiliasi pada Komunis. Mereka beranggapan, PII sama halnya dengan Eigen Haji Organitatie –sebuah organisasi perkumpulan haji yang kerap berkorespondensi dengan ulama-ulama yang ada di Timur Tengah. Bahkan, mereka belum menyadari seluruh kegiatan PII di Mekah merupakan bagian usaha pengurus PII menghindar dari pencidukan militer Belanda (Nagazumi, RIMA Vol.14 No.2, 1980: 115).
Penangkapan terhadap pimpinan SBI/PII di Mekah –juga dipicu kritik mereka terhadap Raja Ibnu Saud yang menarik pajak angkutan kapal jamaah haji. Sebab lainnya adalah keberpihakan mereka terhadap rezim Husein yang berseberangan dengan Ibnu Saud. Sela aberada di Mekah, pengurus SBI/PII kerap menghasut jemaah yang berasal dari Hindia Belanda, Iran, dan India agar melawan semua kebijakan penguasa Saudi itu.
Seluruh rangkaian kegiatan SBI/PII yang telah meresahkan itu, segera ditindaklanjuti dengan penangkapan delapan orang pengurusnya, dan lima diantaranya berasal dari Sumatera Barat (Nagazumi, 1980: 120). Pertama, Sutan Moentjak yang berasal dari Padang Panjang. Menurut catatan Van der Meulen, ia merupakan pimpinan peristiwa 1927, yang bergerak di Padang Panjang dan Solok.
Kedua, Pakih Ripat yang memimpin perlawanan di Solok. Ketiga, Marhoem –bendahara PII berasal dari Padang, dan ditugasi menjual kartu anggota. Keempat, Haji Tangsi gelar Bagindo, dan kelima, adalah Abdullah Kamil–juga merupakan sekretaris PII.
Siapakah Abdullah Kamil?
Abdullah Kamil dibesarkan dalam masa keemasan Islam modernis. Pendidikan terakhirnya adalah Sumatra Thawalib (Hamka, 1974). Ia menikmati masa pendidikan di Thawalib Padang Panjang, dan dididik langsung oleh Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Zainuddin Labay el-Yunussy, dan guru bantu agama Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.
Nama terakhir, yang mengubah wajah Thawalib Padang Panjang. Yang awalnya adalah institusi pendidikan berbasis Islam modernis, kemudian bersentuhan dengan pergerakan Kuminih.
Pada Oktober 1923, ketika Haji Datuk Batuah memformulasikan Kuminih–yang merupakan sintesa dari Islam, Marxis, dan adat Minangkabau, Kamil telah berusia 15 tahun. Ia dikader dalam Internasional Debating Club (IDC), mengikuti debat di Bufet Merah, membaca artikel di Djago! Djago!, Pemandangan Islam, Doenia Achirat, dan Njala – seperti yang dialami oleh murid-murid dan guru Thawalib lainnya.
Meskipun telah menjadi bagian dari pergerakan Sarekat Rakyat, Hamka menyebut sahabatnya ini, pentolan Kuminih yang taat beribadah. Kamil ditengarai ikut dalam peristiwa di awal tahun 1927, di kalangan akademisi menyebutnya Pemberontakan Silungkang. PKI pun kalah dalam peristiwa dramatis itu, karena belum kuat massa actie-nya.
Pasca peristiwa Silungkang, ia pun dicari-cari oleh intel Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Sejak kekalahan Kuminih, ia menjadi buruan nomor satu, sejak Januari hingga bulan Mei 1927. Entah bagaimana caranya, ia kerap lolos dari penangkapan intel Belanda.
Pada 1 Mei 1927, Kamil menemani neneknya untuk menunaikan haji di Makkah. Dan, entah kenapa dia tiba-tiba bisa lolos dari pemeriksaan ketat veldpolitie dan PID di Pelabuhan Emmahaven. Sebab, pasca Silungkang, aparat keamanan menjaga ketat pintu keluar, yang bisa dimanfaatkan oleh buron politik, untuk melarikan diri.
Anggota PID baru menyadari buron mereka lolos. Memakai jaringan intelijen internasional, mereka baru mengetahui, dua orang yang tengah dicari lolos, yakni Kamil dan Marhoem. Vice Consul Kerajaan Belanda, segera melaporkan pada Ibnu Saud untuk menahan keduanya. Dan, benar adanya tepat sebelum wukuf di Arafah, tanggal 9 Juni 1927, Kamil dan Maruhun ditangkap aparat dari Saudi dan dikirim kembali ke Indonesia.
Selama tiga bulan, ia menjalani hukuman bui, dan dibebaskan dari tahanan Muaro Padang, pada bulan Oktober 1927 (Sumatra Bode, 12 November 1927). Selepas dari penjara, Kamil memilih mendekat ke Muhammadiyah Padang Panjang. Hamka kaget, ia menyaksikan pentolan Komunis itu berkumpul dengan pengurus persyarikatan.
“Saya sudah berdetak hati. Tentu ini orang dikirim Komunis untuk menginfiltrasi dan mengacaukan persyarikatan! Sebagaimana yang mereka lakukan tempo hari pada Tabligh Muhammadiyah!” tulis Hamka (1974).
Pasca ditangkapnya aktivis SBI/PII, Van der Meulen menyarankan pada kerajaan Saudi memulangkan tokoh SBI/PII ke Hindia Belanda dan mengkhawatirkan berita penangkapan itu meresahkan 1.500 orang jemaah haji di Mekah.
Pada 17 Juni 1927 kedelapan orang Communisten dibawa kapal Singkep menuju ke Sabang Aceh. Dalam kesaksian Van der Mulen dalam biografinya yang ditulis 50 tahun kemudian, diketahui sebagian dari aktivis SBI/PII menjadi bagian dari interniran Digoel-Papua.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.