
Iqtishodia
Esham, Solusi Mengatasi Defisit Fiskal?
Esham memiliki struktur yang sangat fleksibel.
OLEH Irfan Syauqi Beik (Dekan dan Guru Besar Ekonomi Keuangan Sosial Syariah FEM IPB University), Laily Dwi Arsyianti (Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB University)
Defisit fiskal merupakan tantangan yang terjadi bukan hanya pada negara modern, namun juga telah terjadi sejak masa lampau. Tidak terkecuali juga pada sejarah Islam. Bahwa pemerintahan pada masa kejayaan Islam juga pernah mengalami defisit fiskal yang luar biasa parah. Tinggal pertanyaannya, apa pelajaran yang bisa diambil dari sejarah perekonomian di masa lalu?
Bagaimanapun juga, tujuan mempelajari sejarah adalah dalam rangka menemukan jawaban atas kondisi hari ini dan proyeksi akan masa depan. Karena itu, Alquran banyak menceritakan sejarah, sebagai refleksi atas jawaban terhadap segala persoalan yang kita hadapi hari ini, dan memberi arah perbaikan pada masa depan. Termasuk dalam hal ini, mempelajari sejarah perekonomian Islam untuk memperbaiki kondisi hari ini dan masa depan perekonomian bangsa.
Salah satu hal menarik yang dapat dieksplorasi adalah terkait dengan konsep esham yang dikembangkan oleh Kekhilafan Turki Usmani di abad 18-19, ketika negara saat itu mengalami defisit fiskal yang cukup besar. Ruang fiskal pemerintah pada saat itu sangat sempit akibat kekalahan pada sejumlah perang sehingga pengeluaran negara untuk kepentingan militer dan pertahanan mengalami kenaikan yang sangat drastis.
Esham ini dikembangkan oleh Kesultanan Turki Usmani pada tahun 1775 dan dijadikan sebagai instrumen fiskal hingga tahun 1860. Jadi hampir satu abad instrumen ini telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Turki Usmani untuk mengatasi krisis fiskal, tanpa menambah beban utang yang tercatat dalam APBN mereka.
Definisi Esham
Esham, yang berasal dari kata sehm dalam bahasa Turki, sahm dalam bahasa Arab, atau saham dalam bahasa Indonesia, merupakan instrumen keuangan publik yang dikembangkan Turki Usmani, melalui penjualan anuitas atau bagian dari pendapatan masa depan negara kepada publik.
Esham merupakan instrumen yang pada prakteknya berada diantara wakaf uang muabbad dan sukuk negara. Untuk memperjelas hal ini, maka perlu kiranya memahami terlebih dahulu mekanisme esham yang dipraktikkan oleh Turki Usmani.
Menurut Prof Murat Cizakca, esham diterbitkan dengan mekanisme sebagai berikut :
Pertama, pemerintah menjadi penerbit esham dengan menjual bagian dari pendapatan negara, baik yang berasal dari pajak, penerimaan negara bukan pajak dan penerimaan lainnya, kepada individu warga negara maupun entitas lembaga, seperti perusahaan dan yayasan, sebagai investor esham.
Kedua, warga negara maupun entitas lembaga tersebut kemudian membeli esham dengan membayar sejumlah uang atau dana kepada pemerintah, yang kemudian masuk ke kas negara.
Ketiga, sebagai imbalan atas pembelian esham dan penyetoran dana tersebut, maka setiap pemegang esham akan menerima pembayaran anuitas. Pembayaran anuitas ini adalah pembayaran yang jumlahnya tetap dalam jangka waktu berkala yang dilakukan secara rutin.
Dalam hal ini, pemegang esham akan mendapatkan pembayaran yang diberikan oleh negara setiap tahun. Pembayaran ini bisa bersifat temporer, dalam jangka waktu tertentu misalnya selama 10 tahun, atau bisa juga bersifat selamanya.
Keempat, yang menjadi fitur khusus esham ini adalah tidak adanya utang pokok. Artinya, pemerintah tidak mengembalikan pokok dana kepada investor. Ini yang membedakan dengan utang konvensional maupun obligasi dan sukuk.
Ini karena filosofi esham lebih sebagai filosofi pemilik, yang esensinya memang rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan pemilik sah suatu negara. Bagi pemerintah, ini tidak menambah rasio utang mereka karena konsep esham pada dasarnya merupakan konsep yang mirip dengan ekuitas, namun pada level negara dan bukan perusahaan. Pembayaran anuitas yang diterima investor adalah seperti dividen pada saham perusahaan, yang dibagikan saat RUPS.
Kelima, esham dapat diwariskan kepada anak cucu dan keturunan pemegang esham. Keturunan ini berhak menerima pembayaran anuitas selama masih berlaku sesuai kesepakatan.
Adapun perbedaan esham dengan wakaf uang muabbad (abadi) adalah, pada esham, pokok uang boleh digunakan dan dihabiskan negara untuk keperluan program pembangunan negara, baik pada tahun berjalan maupun pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan wakaf uang, pokok wakafnya harus dijaga agar tidak berkurang atau hilang.
Namun demikian, pembayaran anuitas atau "dividen" pada esham mirip dengan pemberian manfaat wakaf uang yang menggunakan konsep wakaf ahli, dimana keluarga wakif adalah penerima manfaat utama dari hasil pengelolaan wakaf uang tersebut.
Sementara itu, bedanya esham dengan sukuk negara terletak pada tidak diperlukannya pembayaran kembali pokok dananya kepada publik. Berbeda dengan sukuk negara dimana pemerintah wajib mengembalikan nilai pokoknya pada saat jatuh tempo, apapun akad yang digunakannya. Namun kesamaannya adalah terletak pada adanya nilai dana yang dibagikan secara berkala kepada pemegang esham dan pemegang sukuk. Pada pemegang sukuk negara, mereka menerima imbal hasil atau marjin berdasarkan kupon yang diterimanya.
Esham ini memiliki struktur yang sangat fleksibel, dimana besaran pembayaran anuitas atau "dividen" dilakukan sesuai dengan kebijakan negara. Disinilah pentingnya pemerintah dalam menganalisis besaran dana yang diperlukannya, dan besaran pembayaran anuitas untuk para pemegang eshamnya.
Aplikasi Esham, Mungkinkah?
Pertanyaan berikutnya, apakah mungkin menerapkan konsep esham dalam konteks hari ini, terutama di Indonesia? Tentu untuk menjawab ini, penulis melihat jawabannya sangat mungkin. Dengan syarat, ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah.
Sebagai langkah awal, diperlukan adanya kajian strategis terkait potensi dan tantangan implementasi esham dalam konteks Indonesia. Kajian ini tentu mencakup aspek yuridis, seperti perubahan pada UU Keuangan Negara, dan aspek ekonomisnya, yaitu seberapa besar dampaknya bagi penguatan sisi fiskal negara.
Sebagai contoh, dari sisi penerimaan, pendapatan dari esham harus dijadikan pos tersendiri di luar pos pajak, PNBP, dan pos hibah dan lain-lain. Dari sisi pengeluaran, besaran pembayaran anuitas esham harus dicatatkan secara khusus, yang terpisah dari pos-pos pengeluaran negara lainnya. Bisa masuk ke pos belanja esham yang berbeda dengan pos belanja rutin maupun pos belanja pembangunan.
Kemudian, yang perlu didalami juga adalah seberapa besar instrumen ini bisa menarik masyarakat.
Menurut penulis, dalam konteks ini, untuk menarik minat dan partisipasi masyarakat, maka ada beberapa hal yang perlu dikelola. Pertama, masyarakat harus dikampanyekan bahwa penempatan dana esham adalah bentuk partisipasi langsung dalam membangun negara, yang memberinya dua keuntungan sekaligus, yaitu keuntungan dari sisi agama dan dari sisi kesejahteraan ekonomi.
Dari sisi agama, esham bisa dianggap sebagai bentuk sedekah, yang akan memberikan manfaat pahala berkelanjutan karena sedekah ini digunakan untuk membangun fasilitas yang akan dinikmati oleh seluruh warga negara tanpa kecuali. Sementara dari sisi ekonomi, maka pembayaran anuitas merupakan bentuk stimulus yang memberikan return ekonomi yang bisa dimanfaatkan oleh pemegang esham untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun demikian, publik juga dapat mengalihkan penerimaan anuitas yang diperolehnya untuk dialokasikan pada pos bantuan langsung tunai pada APBN atau APBD, atau disalurkan sebagai bentuk sedekah pada BAZNAS dan LAZ, atau disalurkan sebagai wakaf uang untuk BWI dan nazhir eksisting lainnya, atau pada kesemua hal tersebut dengan proporsi masing-masing sesuai keinginan pemegang esham. Jadi ia akan secara reguler membantu sesama yang membutuhkan melalui penerimaan esham yang disalurkannya. Tinggal ia sampaikan kepada pemerintah, dan pemerintah wajib menyalurkan sesuai permintaannya. Ini adalah bentuk esham muqoyyad.
Ilustrasi Esham
Untuk memudahkan penerapannya, berikut penulis mencoba memberikan ilustrasi esham yang mungkin diterapkan di Indonesia.
Misalkan pemerintah menetapkan bahwa esham yang akan diberikan pembayaran anuitas selamanya adalah esham dengan nilai di atas 1 miliar. Kalau di bawah Rp 1 miliar maka periode waktunya adalah 10 tahun. Lalu persentase nilai anuitasnya, misalnya, yang esham selamanya adalah 3 persen per tahun dan esham sepuluh tahun adalah 10 persen per tahun.
Lalu pemerintah mengumumkan pada publik mengenai kebijakan esham ini. Pasca pengumuman, ternyata nilai yang terkumpul adalah sebagai berikut :
(i) Terdapat 1 juta orang pemegang esham dengan nilai masing-masing Rp 1 juta per orang sehingga terkumpul dana Rp 1 triliun
(ii) Terdapat 10 ribu orang pemegang esham dengan nilai Rp 1 miliar per orang sehingga terkumpul Rp10 triliun.
Jadi pada tahun tersebut total dana terkumpul adalah Rp 11 triliun, dengan kewajiban pembayaran anuitas pemerintah adalah Rp 100 miliar untuk kategori (i) dan Rp 300 miliar untuk kategori (ii). Jadi besaran anuitas yang dibayarkan di tahun berikutnya adalah Rp 400 miliar total dan ini berlangsung selama 10 tahun. Setelah itu, maka kewajiban pembayaran anuitasnya adalah Rp 300 miliar per tahun di tahun kesebelas dan seterusnya. Di tahun kesepuluh itu pula, pemerintah tidak perlu mengembalikan pokok dana yang telah dibayarkan publik.
Terkait definisi selamanya, ide gagasan awal esham ini adalah tanpa batas waktu. Namun jika melihat perjalanan usia instrumen ini dalam sejarah Turki Usmani, maka usia instrumen ini tidak lebih dari 100 tahun. Artinya bisa saja dalam ilustrasi contoh ini, pemerintah menetapkan batas waktu maksimal adalah 75 tahun atau 100 tahun.
Sebagai penutup, penulis sengaja menuliskan tentang esham ini, yang terinspirasi dari pemaparan pakar wakaf dunia, Prof Murat Cizakca, tujuannya agar bisa menjadi diskusi publik, sebagai alternatif pembiayaan program negara.
Namun yang perlu diingat, sejarah mengajarkan bahwa kunci keberhasilan penerapan instrumen ini terletak pada transparansi dan akuntabilitas pengelolaan fiskal yang berujung pada tingkat kepercayaan publik yang tinggi, serta semangat mesyarakat untuk mau berkorban demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Semoga ini bisa diwujudkan di Indonesia. Wallaahu a'lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.