ILUSTRASI Fath Makkah atau Pembebasan Kota Makkah terjadi pada bulan suci Ramadhan tahun kedelapan Hijriah. | DOK AP/Amr Nabil

Kisah

Cermin Lemahnya Posisi Quraisy Makkah di Peristiwa al-Watir

Kaum musyrikin Makkah menyaksikan betapa besar kekuatan umat Islam.

Perjanjian Hudaibiyah menampakkan dampak positif kepada kaum Muslimin. Seperti yang telah disepakati, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya tidak bisa melaksanakan ziarah ke Baitullah pada tahun ketika perjanjian tersebut ditandatangani. Akan tetapi, mereka dapat melakukan ibadah itu setahun kemudian.

Inilah yang disebut sebagai Umratul Qadha, ‘umrah yang tertunda.’ Pada tahun ketujuh Hijriah, Rasulullah SAW berangkat bersama rombongan Muslimin ke Makkah guna menunaikan ibadah tersebut. Demi mematuhi Perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy pun menyingkir sejenak ke perbukitan. Dalam bayangan mereka, Nabi SAW dan para sahabatnya mengalami kepayahan setelah bertahun silam diusir dari kota ini.

Faktanya, kaum musyrikin seakan tak percaya dengan mata kepala sendiri. Mereka menyaksikan betapa luar biasa banyak jumlah pengikut Rasulullah SAW. Menurut berbagai riwayat, total jamaah umrah ini mencapai dua ribu orang atau lebih banyak 400 orang dibandingkan rombongan tahun sebelumnya.

Tidak hanya dari segi kuantitas. Kualitas Muslimin pun sungguh-sungguh menakjubkan. Umat Islam begitu taat kepada Nabi SAW. Beliau pun hanya menyuruh kepada perkara-perkara yang baik dan mencegah dari perbuatan mungkar (amar ma’ruf nahi munkar).

Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian. Segala yang diajarkan Islam sesungguhnya telah mengangkat martabat manusia ke tingkat yang paling tinggi. Maka, tak sedikit tokoh Quraisy yang terpesona. Beberapa bahkan berpaling dari kemusyrikan dan menyatakan iman serta Islam. Di antaranya adalah Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan Utsman bin Talha.

photo
ILUSTRASI Sebelum Fath Makkah, kaum Quraisy terikat Perjanjian Hudaibiyah dengan Nabi Muhammad SAW. - (DOK EPA Mast Irham)

Usai Umratul Qadha, sebenarnya Rasulullah SAW dan Muslimin menyadari betapa lemahnya kini kedudukan Quraisy. Bagaimanapun, beliau belum merasa perlu untuk langsung membebaskan Makkah. Lagipula, Perjanjian Hudaibiyah baru setahun berjalan. Dari pihak umat Islam, sama sekali tak tebersit untuk melanggar kesepakatan damai yang telah dibuat.

Justru, yang kerap mencoreng perdamaian adalah kubu musyrikin. Misalnya, pembunuhan yang dilakukan elite Bani Sulaim terhadap puluhan dai yang hendak mengajarkan Islam kepada masyarakat setempat. Konflik-konflik kecil itu segera dapat diatasi. Akan tetapi, ancaman terbesar terhadap Muslimin belum juga reda, khususnya yang datang dari arah utara.

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah, Rasullulah SAW mengirimkan surat-surat dakwah sekaligus berdiplomasi kepada para penguasa negeri sekitar Jazirah Arab. Di antara para penerima surat itu ialah kaisar Romawi Timur (Bizantium) Heraklius, raja Persia Kisra, dan raja Mesir Muqauqis. Korespondensi juga ditujukan kepada gubernur Syam (Suriah) yang bernama Hanits bin Abi Syamr al-Ghassani.

Dalam perjalanan, di sekitar daerah Mu’tah, al-Harits bin Umair selaku utusan Nabi SAW untuk Syam dicegat penguasa setempat, yakni Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani. Bahkan, Ibnu Umair lantas dibunuh dengan kejamnya. Pada tahun yang sama, para delegasi Rasulullah SAW untuk Banu Sulayman dan Dhat al Talh juga dibunuh pemimpin lokal.

Setelah menerima kabar ini, Nabi SAW menyusun pasukan untuk bertolak ke Mu’tah. Pasukan tersebut dipimpin Khalid bin Walid yang baru tiga bulan memeluk Islam. Jalannya Perang Mu’tah tidak sebanding, yakni tiga ribu Muslimin melawan 200 ribu pasukan koalisi Bizantium. Namun, atas izin Allah SWT, strategi yang diterapkan Khalid terbukti sukses. Muslimin berhasil memukul mundur ribuan prajurit Romawi.

photo
Masjidil Haram. - (dokrep)

Peristiwa al-Watir

Pulanglah Khalid bin Walid dan pasukannya yang tersisa ke Madinah. Kabar ini sampai pula ke Makkah. Dalam penilaian orang-orang Quraisy, Muslimin telah kalah perang. Artinya, umat Islam tidak lagi kuat secara militer. Maka, inilah saatnya menyerang; abaikan saja Perjanjian Hudaibiyah.

Di antara butir-butir kesepakatan Hudaibiyah adalah bahwa suku-suku Arab manapun bebas bersekutu kepada salah satu kubu, apakah Nabi Muhammad SAW ataukah Quraisy. Ketika itu, Bani Khuzaa telah bergabung dengan kubu Rasulullah SAW, sedangkan Bani Bakr dengan Quraisy. Sebenarnya, sudah ada permusuhan yang lama antara Khuzaa dan Bakr. Namun, konflik itu mereda sejak masing-masing berkawan dengan pihak-pihak yang terikat Perjanjian Hudaibiyah.

Pada tahun kedelapan Hijriah, pihak Bani Bakr menyerang Bani Khuzaa yang sedang berada di oasis sendiri yang bernama al-Watir. Tak sedikit orang Khuzaa yang terbunuh akibat serangan itu. Seorang tokoh Khuzaa, Amr bin Salim, lekas memacu kudanya ke Madinah untuk melapor kepada Rasulullah SAW. Setelah mendengarkan keterangannya, beliau bersabda, “Amr bin Salim, engkau mesti dibela.”

Di Makkah, kaum Quraisy justru ciut nyalinya. Kini, mereka mulai mencemaskan dampak dari peristiwa berdarah di al-Watir. Para pemuka setempat lantas mengutus Abu Sufyan bin Harb untuk menemui Nabi SAW di Madinah. Tujuannya adalah memperbarui dan meneruskan perjanjian gencatan senjata.

Namun, Nabi SAW tidak mengucapkan sepatah kata pun. Abu Sufyan lantas menemui Abu Bakar dan Umar bin Khattab dengan harapan kedua sahabat itu dapat membujuk beliau. Akan tetapi, gayung tak bersambut. Kembalilah dia ke Makkah dengan perasaan kecewa.

Sesudah itu, Rasulullah SAW secara diam-diam menyusun taktik pemberangkatan pasukan Muslim ke Makkah. Seorang sahabat yang mengetahui hal ini ialah Hathib bin Abu Balta'ah. Ia lalu menyusun surat peringatan kepada Quraisy. Isinya membeberkan rencana Nabi SAW yang hendak segera menyerang Makkah.

 
Rasulullah SAW secara diam-diam menyusun taktik pemberangkatan pasukan Muslim ke Makkah.
 
 

Surat yang dibuat Hathib itu akhirnya terungkap. Ali bin Abi Thalib menuturkan, beberapa waktu sebelum Pembebasan Makkah, dirinya bersama dengan Zubair dan Miqdad ditugaskan Nabi SAW untuk berangkat ke perkebunan Khakh. “Di sana, kalian akan bertemu seorang wanita yang membawa sepucuk surat. Ambil surat itu darinya,” demikian pesan Rasulullah SAW.

Ternyata, dari tangan perempuan itu ada sepucuk surat yang tertanda “dari Hathib bin Abu Balta'ah kepada para penduduk musyrikin di Makkah.” Di dalamnya, si penulis pun membeberkan beberapa rahasia Nabi SAW. Banyak sahabat yang merasa marah dengan “pengkhianatan” Hathib.

Akan tetapi, Rasulullah SAW memaafkannya. “Dia (Hathib) adalah salah seorang yang pernah mengikuti Perang Badar. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah telah mengangkat derajat semua kaum Muslimin yang mengikuti Perang Badar? Sampai-sampai Allah berfirman, Berbuatlah sekehendak hati kalian! Aku (Allah) telah mengampuni kalian,” sabda beliau. Tak lama berselang, turunlah wahyu dari Allah, yakni surah al-Mumtahanah ayat pertama.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

300 Lebih Syahid dalam 48 Jam di Gaza

Hamas menyatakan memelajari proposal baru gencatan senjata.

SELENGKAPNYA

Selamat Jalan Dr Marwan Al-Sultan

Direktur RS Indonesia itu dibunuh Israel dengan bom ke rumahnya.

SELENGKAPNYA

Iran Kembali Tutup Ruang Udara

Iran dilaporkan menyiapkan ranjau di Selat Hormuz.

SELENGKAPNYA