
Opini
Lima Dimensi Tugas Mulia Seorang Dai
Seorang Dai adalah Mujahid yang memperjuangkan nilai-nilai Islam
Oleh ASWAR HASAN, dosen ilmu komunikasi FISIP UNHAS Makassar
Dakwah adalah inti dan tulang punggung dari peradaban Islam. Bahkan, qaulul hukama menyatakan; “Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan. Tidak ada kekuatan tanpa persatuan. Tidak ada persatuan tanpa keutamaan. Tidak ada keutamaan tanpa Islam dan, tidak ada Islam tanpa Dakwah. Ketahuilah Islam itu agama Dakwah. Jadi, peran Dakwah sangat penting dalam Islam.
Perintah berdakwah tidak hanya ditujukan kepada para nabi, tetapi juga kepada umat Islam secara umum. Dalam Surah An-Nahl ayat 125, Allah SWT berfirman:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (QS. An-Nahl: 125).
Rasulullah SAW pun bersabda: "Sampaikan dariku walau hanya satu ayat." (HR. Bukhari).
Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa dakwah adalah tugas suci yang memerlukan kesungguhan, kebijaksanaan, dan keluhuran budi pekerti atau akhlak. Seorang Da’i tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi menjadi pembentuk moral dan pemimpin sosial. Dalam sejarah Islam, para ulama agung seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, dan Hasan Al-Banna melihat Da’i sebagai pilar utama pembentukan dan perbaikan umat.
Bahwa ada lima dimensi dalam peran Dai yang strategis itu, yaitu;
Pertama, Dai sebagai Mujahid (Pejuang di Jalan Allah). Allah berfirman: "Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya..." (QS. Al-Hajj: 78).
Seorang Dai adalah Mujahid yang memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui ilmu, lisan, dan tindakan. Dalam konteks modern, jihad bukan hanya pertempuran fisik, melainkan juga jihad melawan kebodohan, kemiskinan moral, dan kerusakan sosial.
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah menyebut jihad dengan ilmu dan lisan lebih utama daripada dengan pedang pada fase awal perjuangan. Bahkan ada ungkapan yang menyatakan bahwa “tinta para ulama (Dai) jika ditimbang, lebih berat daripada darah para syuhada” Dai hadir sebagai pejuang peradaban—menghadirkan keadilan, memberantas kebatilan, dan menumbuhkan harapan.
Kedua, Dai sebagai Muwahhid (Pemersatu Umat). Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiya: 92).
Tugas Dai sebagai Muwahhid adalah menyatukan umat atas dasar tauhid dan nilai-nilai Islam. Dalam masyarakat yang terpecah oleh sekularisme, nasionalisme sempit, atau sektarianisme, Dai bertindak sebagai perekat yang menyerukan ukhuwah Islamiyah.
Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, pernah berkata: "Kewajiban pertama kita adalah mengikat hati umat dengan tali aqidah dan menyatukan langkah mereka dalam satu perjuangan."
Dai menanamkan kesadaran bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan alasan untuk perpecahan. Ia mengajarkan bahwa kekuatan Islam terletak pada persatuan hati, bukan pada dominasi kelompok tertentu.
Ketiga, Dai sebagai Mujaddid (Pembaharu Pemikiran dan Spirit Islam). Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap awal seratus tahun seseorang yang memperbarui (urusan) agama mereka." (HR. Abu Dawud)
Peran sebagai Mujaddid adalah memperbaharui semangat Islam yang telah pudar. Pembaharuan ini bukan dalam arti mengganti ajaran agama, melainkan menyegarkan kembali pemahaman Islam sesuai dengan tuntutan zaman.
Imam As-Syafi’i dikenal sebagai salah satu mujaddid abad ke-2 Hijriah, yang menyusun sistematika fiqh dengan metode ijtihad yang relevan. Hari ini, Dai sebagai Mujaddid harus menjawab tantangan zaman: liberalisme agama, radikalisme, teknologi, dan perubahan sosial. Ia membawa Islam sebagai solusi, bukan beban.
Keempat, Dai sebagai Mu’allim (Pengajar dan Pendidik Umat). Ketahuilah bahwa Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sebagai pengajar: "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah..." (QS. Al-Jumu'ah: 2).
Dai adalah seorang Mu’allim yang mendidik dengan kasih sayang dan kesabaran. Tugas ini lebih dari sekadar mentransfer ilmu; ia membentuk karakter, menggugah hati, dan menghidupkan iman.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan: "Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan."
Seorang Dai mengajarkan ilmu yang menghidupkan, bukan hanya menghafal. Ia menjadi pelita di tengah kegelapan, guru di tengah kebingungan, dan penuntun di tengah krisis nilai.
Kelima, Dai sebagai Mu’addib (Pembentuk Adab dan Akhlak Masyarakat). Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad).
Sebagai Mu’addib, Dai menanamkan nilai-nilai akhlak dalam kehidupan umat. Akhlak adalah buah dari iman dan ilmu. Dalam masyarakat yang dilanda krisis moral, Dai menjadi pembimbing yang mengajarkan kesantunan, tanggung jawab, dan etika sosial.
Syekh Syahid Muhammad Al-Ghazali menulis: "Kebangkitan umat Islam hanya akan terjadi ketika akhlak kaum Muslimin kembali seperti akhlak Nabi Muhammad."
Dai yang berhasil sebagai Mu’addib adalah yang mampu membentuk generasi berakhlak mulia di tengah arus materialisme dan individualisme.
Melalui lima peran utama Dai tersebut, sebagai Mujahid, Muwahhid, Mujaddid, Mu’allim, dan Mu’addib—bukanlah beban, tetapi amanah agung. Kelima dimensi ini membentuk pribadi Da’i yang utuh: tangguh dalam perjuangan, bijak dalam mempersatukan, cerdas dalam membaharui, ikhlas dalam mengajar, dan lembut dalam mendidik.
Masyarakat hari ini merindukan sosok Dai seperti ini: berilmu luas, berjiwa besar, dan berhati bersih. Sebab, hanya dengan Dai yang berperan utuh, umat dapat dibimbing menuju cahaya hidayah, dan peradaban Islam dapat bangkit dengan gemilang. Wallahu a’lam bishawab.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.