Trump Dimakzulkan | Reuters

Teraju

Rivalitas  Superpower AS dan Cina di Asia Tenggara

AS mengembuskan slogan 'Buy America'. Cina memainkan 'diplomasi masker'. Haruskah ASEAN memilih?

Oleh Agung P Vazza

 

Dunia memang sedang sakit. Bukan, itu bukan kiasan. Pandemi virus merebak di hampir seluruh dunia. Resesi global sudah terlihat di depan mata. Jaringan pasokan dan permintaan global mendadak anjlok secara bersamaan, yang mengakibatkan aktivitas ekspor impor pun menurun drastis. Pasar uang dan pasar modal di banyak negara rontok. Hampir semua kegiatan perekonomian terdisrupsi kalau tak mau dibilang kolaps.

Pandemi menjadi penyebabnya. Asia Tenggara, misalnya, yang tingkat infeksinya meroket sejak pertengahan Maret lalu, kini harus menghadapi pertumbuhan ekonomi terendah sejak krisis finansial 1997/1998. Pandemi merontokkan hampir semua industri, usaha travel, sampai manufaktur. Pemerintah di banyak negara di dunia pun berlomba menyuntikkan stimulus, moneter, ataupun fiskal. Tentu sesuai kondisi masing-masing negara.

Sejumlah lembaga riset dan keuangan multinasional memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara. Salah satunya, Goldman Sachs, yang merevisi turun prediksi pertumbuhan Asia Tenggara 2020 sampai 160 basis poin atau sekitar 1,6 persen, dari sebelumnya 1,9 persen. Realisasinya mungkin malah lebih rendah karena prediksi tersebut hanya memperhitungkan dampak negatif pandemi terhadap sektor pariwisata.

Sampai beberapa bulan ke depan, banyak negara di dunia masih akan disibukkan dengan penanganan pandemi plus berupaya meminimalkan dampak sosial dan ekonominya. Namun, dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Cina, seperti sedang membuka front baru duel pengaruh ekonomi ke berbagai kawasan dunia, termasuk Asia Tenggara. Meski perang dagang keduanya disebut-sebut sudah mencapai kesepakatan tahap pertama, perseteruan agaknya belum benar-benar berakhir.

Kedua negara kini bahkan saling tuding perkara asal mula pandemi. Kasus pertama pandemi yang memakan korban jiwa, seperti dilansir Channel News Asia, memang terjadi di Cina, pada seorang pria berusia 50 yang berkunjung ke Wuhan, sekitar awal Januari lalu. Namun, pekan lalu, Asia Times mengutip Cina mengeklaim sudah mampu menangani pandemi dan kini sedang berupaya menghidupkan kembali perekonomiannya. Sebaliknya, di AS, juga banyak negara lain di dunia, menghentikan pandemi masih menjadi isu prioritas.

photo
ep - (EPA)

Dalam kondisi tersebut, banyak negara diperkirakan bakal berpaling ke Cina terkait bantuan cepat penanganan pandemi. Sebaliknya, sejumlah kalangan di AS masih harus menunggu stimulus penanganan pandemi sekitar dua triliun dolar AS. Bersamaan dengan itu, juga berharap slogan 'America First' yang diusung Presiden AS Donald Trump segera dibatalkan, saat pandemi bisa ditangani. Namun, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro, dilansir Asia Times justru mengembuskan slogan 'Buy America' dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada obat-obatan dan alat medis buatan Cina, terkait penanganan pandemi. 

Sebaliknya, Cina dengan cepat menawarkan bantuan peralatan medis bagi negara-negara yang masih harus menangani pandemi, seperti Italia dan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Filipina dan Thailand. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai 'diplomasi masker'. "Presiden Xi Jinping menyurati saya, menyatakan kesiapannya membantu. Kita hanya meminta apa yang dibutuhkan. Mungkin pada saatnya saya akan mengontak Cina," kata Presiden Filipina Rodrigo Duterte, dikutip Asia Times.

Kementerian Pertahanan Indonesia, seperti dilansir laman resmi Kementerian Pertahanan, juga menggelar operasi Bantuan Kemanusiaan (Humanitarian Aid) guna membawa alat-alat kesehatan dari Cina untuk membantu penanganan pandemi. Operasi digelar Kemenhan dan Mabes TNI atas bantuan Kementerian Pertahanan Cina dan dukungan Corporate Social Responsibility (CSR) sejumlah perusahaan Cina yang berinvestasi di Indonesia. Bantuan yang diberikan berupa alat-alat kesehatan, seperti rapid test dan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan. 

Situasi ini cukup mencerminkan Cina bakal menjadi salah satu faktor penting, bukan hanya terkait penanganan pandemi di Asia Tenggara, melainkan juga terkait pemulihan perekonomian saat gejolak pandemi usai.

 

 

Investasi asal Cina boleh jadi bakal lebih diterima, setidaknya di Asia Tenggara, sebagai bagian dari upaya menghidupkan kembali perekonomian.

 

 

Tidak memilih

Duel pengaruh dua raksasa ekonomi dunia itu di Asia Tenggara, sesungguhnya dimulai jauh sebelum pandemi menyerang dunia. November tahun lalu, ketika asosiasi negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) menggelar Pertemuan Puncak di Bangkok, Thailand, tidak satu pun pejabat senior AS yang diundang mulai dari Trump, Wakil Presiden Mike Pence, dan Menlu Mike Pompeo, yang menghadiri pertemuan tahunan tersebut.

Sebagian kalangan menilai absennya pejabat senior AS tak ubahnya merendahkan para pemimpin ASEAN. Apalagi, Pertemuan Puncak itu dirangkaikan dengan Pertemuan Puncak AS-ASEAN, yang hanya dihadiri Penasihat Keamanan Nasional AS, Robert O'Brien. Trump memang mengusulkan Pertemuan Puncak AS-ASEAN di Las Vegas, yang dijadwalkan pada Maret ini. Rencana ini dibatalkan karena merebaknya pandemi. Namun, sempat muncul pula dugaan pembatalan tersebut karena sedikitnya pemimpin Asia Tenggara yang menyatakan kesiapannya untuk hadir. Namun, merebaknya pandemi jelas menjadi alasan kuat pembatalan.

 

 

Pengaruh Washington semakin pudar di Asia Tenggara ketika Februari lalu, Filipina yang dikenal sebagai aliansi AS terkuat di kawasan, menegaskan membatalkan kerja sama militer dengan AS, yang memungkinkan personel, peralatan, dan kendaraan militer AS bebas keluar masuk Filipina.

 

 

Di bidang ekonomi, sebelumnya, sejak hari pertama Trump menduduki kursi kepresidenan, AS langsung menarik diri dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), kesepakatan perdagangan yang melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara dan tidak melibatkan Cina. AS justru memainkan isu keamanan nasional dikaitkan dengan insentif ekonomi dan perdagangan.

Rentetan beragam peristiwa tersebut boleh jadi cukup mencerminkan betapa angin diplomasi di Asia Tenggara lebih menguntungkan Cina, baik secara politik maupun ekonomi. Jauh sebelum pandemi merebak, pengaruh AS di Asia Tenggara sudah mulai tergerus, bahkan Asia Times menyebutnya sebagai berada di titik terendah sejak bergulirnya kepresidenan Trump.

Asia Tenggara, selama bertahun-tahun, sesungguhnya berupaya keras menjadi jembatan bagi dua raksasa perekonomian global itu. Setidaknya terkait upaya menarik sebanyak-banyaknya investasi dan perdagangan dari keduanya. Rivalitas dua superpower ekonomi dikhawatirkan terus tereskalasi menjadi 'perang dingin' baru di bawah kepemimpinan Trump. Dan negara-negara Asia Tenggara bakal dihadapkan pada opsi memilih satu dari keduanya.

Terkait itu, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, saat menghadiri 50 tahun Word Economy Forum (WEF) di Davos, Swiss, pada Januari lalu melontarkan pernyataan tegas. "Kami ingin terus bekerja sama dengan AS. Kami juga ingin terus bekerja sama dengan Cina," kata Lee dalam pidatonya, dilansir China Daily.

 

 

Singapura bersama negara-negara di Asia Tenggara tidak ingin dipaksa untuk memilih antara Cina atau AS.

 

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong
 

 

Penegasan ini dilontarkan Lee setelah AS mendesak untuk melarang raksasa telekomunikasi Cina, Huawei mengembangkan jaringan 5G.

Harapannya mungkin seperti itu. Tapi, setelah pandemi merebak dan merontokkan perekonomian Asia Tenggara, boleh jadi kawasan ini pun jadi lebih sulit menyeimbangkan posisi antara AS dan Cina. Apalagi, keduanya kini saling tuding soal siapa sebenarnya penyebar pandemi. Beijing terus mendekat dengan tawaran beragam bantuan medis. Sementara AS terkesan semakin menjauh. Ketika hampir semua negara Asia Tenggara fokus mempertahankan perekonomian dari dampak pandemi virus, Cina lebih berpeluang memainkan pengaruhnya di kawasan. Sementara itu, AS selain masih harus menangani pandemi, harus pula disibukkan dengan pemilihan presiden.

Negara-negara Asia Tenggara dalam menangani pandemi bukan mustahil lebih mengandalkan bantuan Cina ketimbang Barat, termasuk  upaya membangkitkan kembali perekonomian. Begitu pun, di tengah rivalitas dan duel pengaruh dua raksasa ekonomi, negara-negara di kawasan juga penting untuk meyakinkan diri kalau jaringan pasokan dan permintaan tak bergantung hanya pada satu sumber eksternal. Imbas Cina lockdown memberi pelajaran berharga.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat