Suasana kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor | ANTARA FOTO

Narasi

Jaros Gontor, Santri, dan Masa Depan Mereka

Jaros itu nafas kami. Bunyinya begitu dahsyat merobek jantung, mengoyak pikiran. Setiap ia berbunyi, jantung berdegub kencang.

Oleh Shabahussurur Syamsi

Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor

 

Beberapa tahun, tepatnya Kamis siang, 9 Mei 2013, kami Alumni Gontor Darussalam (Al-Godam) 84, mengadakan reuni pertama kali setelah hampir 30 tahun tidak saling ketemu. Tempatnya di "Ibu Kandung" tercinta, Pondok Modern Gontor. Melakukan berbagai kegiatan dalam Kampus Gontor, antara lain napak tilas ke tempat-tempat bersejarah di dalam kampus Pondok. 

Dalam perjalanan beramai-ramai berkeliling Pondok, kami melihat suasana Pondok sekarang. Ada kemajuan luar biasa. Kami menyaksikan apa yang masih ada seperti dulu. Apa yang sudah berubah. Pada setiap sudut yang kami lalui selalu ada kenangan tersendiri. Pikiran menerawang kembali kepada masa-masa indah menjadi santri. Selama perjalanan rasanya kami masih seperti waktu nyantri dulu. Berperilaku layaknya santri yang lagi berjalan di kampus. Meskipun kaki tidak selincah dulu. Badan tidak setegap dulu. Rambut sudah mulai memutih. Uban mulai bertabur. Kulit semakin kendur. Gigi satu persatu gugur. Tapi semangat santri tak pernah luntur.

Sampailah kami di satu sudut kampus, tepatnya di samping Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). Teman-teman berteriak mengajak berhenti sejenak, sambil berucap: Jaros, jaros, jaros. Kami berkumpul, berpoto bersama, bahkan berswafoto ria sepuasnya. Kami berhenti menyaksikan benda "keramat" bergantung di tengah empat tiang besi kokoh. Benda itu kami sebut jaros

Beberapa teman mencoba menyentuhnya sambil bergumam mempertanyakan: hadza jaros alladzi qodiman aw la (ini bel yang dulu apa tidak)? Teman yang lain menimpali: thab'an, ashliy alladzi qodiman (ya lah, ini asli yang dulu). Tentu percakapan kami menggunakan gaya santri, berbicara bahasa Arab sekenanya, khas santri Gontor yang sedang "kemaruk" (doyan) belajar bahasa Arab, dengan dialek yang khas pula.

Jaros adalah sebutan yang kami gunakan ketika menjadi santri di Gontor. Jaros adalah kata dalam bahasa Arab untuk menunjuk kepada bel (lonceng) penunjuk waktu. Konon Jaros itu dibuat dari bekas selongsong bom. Hanya tidak diketahui siapa yang menemukan, kapan mulai digunakan, siapa yang pertama kali memasang, dan dimana posisi pertama kali dipasang. 

 

 

Tidak ada yang berubah. Jaros itu adalah bel yang dahulu digunakan sebagai petanda bagi setiap gerak langkah kami sebagai santri.

 

Yang berubah adalah tiangnya, pada masa kami menjadi santri, Jaros itu tergantung pada dua tiang kayu, di samping pohon kelapa tinggi, kurus dan tua. Tampaknya pohon kelapa itu sudah mati, mendahului Sang Penabuh Waktu. Mungkinkah pohon kelapa itu mati karena terlalu bising setiap waktu mendengarkan bunyi bel yang keras itu.

Jaros itu nafas kami, kata salah seorang teman. Sebagian berdebat soal apakah masih asli yang dulu atau tidak, karena bunyinya seakan berbeda dengan yang dulu. Dulu bunyi itu begitu dahsyat merobek jantung, mengoyak pikiran. Setiap ia berbunyi, jantung berdegub kencang, pikiran konsentrasi, tindakan apa yang mesti dilakukan dengan adanya bunyi keras itu. 

Bunyi Jaros terdengar di seluruh sudut Pondok. Jaros itu menandai pergantian dari waktu ke waktu; materi pelajaran yang satu kepada yang lain, waktu makan, waktu shalat, waktu olah raga, waktu istirahat, waktu kumpul. Bunyi jaros itu, bagi kami terkadang menyedihkan, tapi menggembirakan. Sedih, ketika Jaros berbunyi untuk menandai pergantian pelajaran yang sulit, dalam tekanan, dan himpitan target yang harus diselesaikan. Senang gembira, ketika jaros berbunyi untuk membebaskan kami dari tekanan, memasuki aktifitas baru yang menyenangkan. 

Kini bunyi jaros itu seperti biasa saja, kata seorang teman lain menimpali. Tentu saja sekarang biasa saja, bahkan terdengar bunyinya melemah. Tentu saja, karena kami tidak lagi sebagai santri yang dikomando melalui bunyi Jaros itu. Dulu, ketika Jaros berbunyi, maka langkah dipercepat, bila perlu berlari-lari. Kami tidak lagi diatur oleh Jaros itu. Mungkin juga karena usia Jaros itu sudah tua, berkarat, ringkih, tidak lagi menggema kencang seperti dulu.

 

 

Jaros telah mengajari kami tentang disiplin, pentingnya memanfaatkan waktu, kerja keras, mengejar prestasi dari waktu ke waktu.

 

Bila di dalam Alquran, Allah bersumpah kepada waktu, dengan kata-kata yang berbeda-beda: wal-'ashr, wal-laili, wa al-dhuha, wa al-fajri, untuk menunjukkan betapa pentingnya menggunakan waktu. Maka pentingnya waktu-waktu tersimpul pada bunyi jaros. Ketika ada orang membaca surat al-ashr: wal ashr (demi waktu), yang tergambar di pikiran kami adalah Jaros yang di pojok BPPM itu. Seakan, wal ashri itu berbunyi wal jarosi

Bunyi jaros mempercepat langkah kami. Bunyi jaros mengejar ketertinggalan. Bunyi Jaros menjadikan kami survive. Biarkan jaros asli ada di Gontor menjadi penanda derap kehidupan santri. Namun jaros itu melekat di hati setiap alumninya kemanapun mereka pergi. Bunyinya tetap terngiang walaupun mereka ada di ujung dunia. Bunyinya menggerakkan mereka untuk mempercepat langkah menuju kemajuan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat