Pedagang melayani pembeli di Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (21/3/2020). | ANTARA FOTO

Tajuk

Korona Mengubah Indonesia

 

Bangsa ini tengah dicoba. Bertubi-tubi. Penyakit ganas yang belum ada obat utamanya, virus Korona (Covid-19) mulai menyebar di masyarakat. Sampai dengan kemarin, jumlah penderita penyakit ini hampir menembus 600 orang, penderita yang sembuh baru 30 orang, sedangkan korban meninggal dunia kian mendekati 100 orang.

Penyebarannya pun pesat meluas. Nyaris seluruh provinsi kini memiliki pasien yang terinfeksi virus Covid-19. Dari perhitungan matematika dan rekaman jejak statistik negara lain, negara ini dipercaya belum mencapai puncak pandeminya.

Ini saja sudah mulai mengubah pola relasi antarmanusia di sejumlah daerah. Pemerintah meminta publik ketat untuk menjaga jarak dengan lawan bicara ataupun orang lain. Minimal semeter. Ini untuk mencegah penularan lebih luas karena virus ini berpindah ke inang yang lain lewat air yang dikeluarkan pengidapnya: keringat, ludah, ingus, dan lainnya. Bahkan, lewat benda yang dipegang karena virusnya masih hidup di benda mati meski sudah beberapa jam di luar ruangan.

Cobaan kedua: Potensi mogok ekonomi. Ini dampak yang lebih njelimet karena banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan. Untuk mencegah penyebaran Covid-19, aktivitas ekonomi harus dikurangi. Pengurangan aktivitas ekonomi berarti pengurangan produksi yang mengarah pada berkurangnya pendapatan. Sementara itu, beban operasional tetap maka efeknya bisa ditebak: Pengusaha pusing mengatur arus kas dalam situasi ini. Karyawan mulai bersiap dengan skenario terburuk: Dirumahkan, gaji tidak diterima secara penuh, atau bahkan penundaan.

Pekerja profesional mandiri pun tidak kurang pusingnya. Orderan sepi. Sementara dapur di rumah harus menyala. Berdiam di rumah agaknya amat sukar diterima. Rezeki, bagi mereka ini, harus dikejar. Dalam situasi wabah penyakit ini, risiko kekurangan rezeki memberikan efek takut yang lebih tinggi daripada efek terinfeksi virus.

Cobaan ketiga: Bangsa ini sedang beranjak kritis, terutama lewat medium berupa media sosial. Karena itu, menjadi amat berisik. Siapa pun bisa berbicara, mendebat membantah, mengkritisi, sampai pada menghujat dan memaki-maki dengan enteng saja. Kumpulan yang seperti ini merasa tidak memiliki kewajiban akan mematuhi otoritas.

Karena itu, sikap pemerintah berupa imbauan, ujaran, permintaan, teguran, dan sejenisnya bisa dengan santai dianggap angin sepoi. Mengatur model manusia macam ini memang butuh ketelatenan tingkat tinggi. Tidak bisa tidak.

Paling sederhana, yakni contoh untuk menerapkan ?menjaga jarak sesama warga?. Pemerintah pusat sudah mengimbau. Pemerintah daerah sudah mengimbau. Aparat polisi dan TNI sudah mengimbau. Ulama dan pemuka agama sudah mengimbau. Pers dan televisi tak hentinya mengimbau. Tapi hasilnya, kita bisa lihat sendiri. Amat jauh dari harapan. Bahkan, untuk warga Jakarta, yang berlabel pusat pemerintahan, Ibu Kota Negara. Bagaimana di daerah lain?

Mungkin kita menyebutnya sebagai aksi cuek sedikit terpaksa tapi nekat. Inilah yang sedang kita saksikan sehari-hari. Kita sedang ke mana dengan situasi ini? Ke model Italia dan Spanyol, tempat virus Covid-19 per harinya bisa menewaskan 400 orang? Tanpa ada intervensi pemerintah dan masyarakat yang tegas, amat memungkinkan.

Namun, ini tentu ada titik penentunya. Pada satu waktu, kemungkinan April ketika Ramadhan. Baru publik sebagian besar menyadari sikap abai mereka benar-benar berbahaya dan mematikan. Tapi pada saat itu, kita amat tentu berharap tidak terjadi, bisa jadi semua sudah terlambat. Pasien yang masuk kian banyak, yang meninggal dunia bertambah, dokter dan perawat sudah kelelahan, ekonomi nyaris kolaps. Sedikit sekali yang bisa dilakukan pada saat banyak yang membutuhkan.

Mungkinkah bangsa sebesar Indonesia, 270 juta jiwa, rela begitu saja kehilangan generasinya karena virus ini? Apalah arti 100 ribu, sejuta, 10 juta angka kematian, dibanding dengan total penduduk 270 juta jiwa? Tentu berarti karena manusia bukanlah angka. Mereka yang meninggal karena Covid-19 memiliki kehidupannya. Yang sedang terjadi sebenarnya adalah: Kita mengabaikan kehidupan sesama. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat