Resonansi | Republika

Resonansi

Alquran, Umat Muslim, dan Kemanusiaan Universal

Oleh Ahmad Syafii Maarif

 

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sekarang kita sedang berada pada 1441 Hijriyah/2020 M. Nabi hijrah ke Madinah tahun ke-13 kenabian/622 M. Wahyu pertama turun pada 610 M. 

Dengan demikian, dihitung sejak wahyu pertama itu, Alquran sebagai wahyu terakhir telah memasukkan dirinya ke dalam putaran waktu selama 1410 tahun miladiah atau dalam hitungan Hijriyah sudah 1454 tahun. 

Selama lebih dari 14 abad, Alquran di tangan umat Muslim telah digumulkan ke dalam darah dan daging sejarah yang penuh dinamika dalam arus perubahan zaman. Selama kurun yang panjang itu, keimanan umat Muslim kepada Alquran secara teori tidak pernah berubah sebagai wahyu yang wajib dipedomani. 

Namun, sampai di mana tuntunan wahyu itu berperan dalam mengatur perilaku politik umat Muslim, di sini muncul masalah-masalah gawat yang serbarumit, seperti telah dijelaskan di depan, dan belum ada titik terang sampai hari ini. Jika demikian, di mana prinsip musyawarah diletakkan? 

Konsep musyawarah (syûrâ) seperti yang terdapat dalam surah al-Syûrâ (42): 38 dan surah Âli ‘Imrân (3):159, pada era pascakenabian hanya dilaksanakan secara terbatas dalam pertemuan di gedung Tsaqîfah Banû Sâidah segera setelah Nabi wafat (632) dan saat Khalifah ‘Umar ibn al-Khathab sedang bergumul dengan maut (644) dengan menunjuk enam elite Muslim Quraisy untuk memilih seorang khalifah penggantinya. 

Sekalipun sistem politik dinasti diciptakan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan pada 680 miladiah, saat menunjuk anaknya Yâzid sebagai penggantinya, pada masa pemerintahan ‘Ustmân bin ‘Affân (644-656) dan ‘Alî bin Abî Thâlib (656-661), prinsip musyawarah sudah tidak efektif lagi karena umat Muslim telah terbelah secara politik. 

Baik ‘Utsmân maupun ‘Alî akhirnya dibunuh oleh Muslim secara tragis dan dramatis. Maka sejak 680 M, selama 1.340 tahun prinsip musyawarah sebagaimana yang diajarkan Alquran di dunia Arab dan di manapun sistem kerajaan dipertahankan telah mati suri sampai sekarang. 

Bagi saya, pada era modern prinsip musyawarah itu akan dapat ditegakkan dalam sistem politik demokrasi yang menilai manusia sejajar di depan sejarah. Intelektual Syiah moderat Dr Musa al-Musawi telah membela sistem demokrasi sebagai yang diajarkan Nabi: “Dari awal dakwahnya sampai akhir hidupnya Rasulullah SAW telah mengajarkan sistem demokrasi kepada umat Islam…. 

Jika mereka sudah berkumpul dalam satu majelis (dalam bentuk lingkaran), tidak ada lagi perbedaan antara kelompok depan dan kelompok belakang. Alhasil, semua yang hadir kedudukannya sejajar dengan sang pemimpin.” (Lih. Musa al-Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah, terj. Ahmad Munif. Jakarta: Qalam, 1995, hlm. 36-37). Sengaja saya ambil pendapat al-Musawi, karena penulis Muslim modern dari mazhab lain di berbagai negara sudah sama-sama membela sistem demokrasi berdasarkan pemahaman mereka terhadap prinsip musyawarah dan karier kenabian. 

Ini komentar saya terhadap al-Musawi: Ungkapan ‘Semua yang hadir kedudukannya sejajar dengan sang pemimpin’ adalah salah satu bentuk terbaik dari sistem demokrasi dalam praktik. Nabi yang mendapat wahyu tidak menunjukkan dirinya lebih tinggi daripada sahabatnya jika sedang bermusyawarah. 

Tempat duduk mereka pun tanpa hierarki.” (Lih. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung-Jakarta: Mizan-Maarif Institute, 2015, hlm. 164). 

Sebagai pemimpin, Nabi Muhammad sangat terikat dengan prinsip musyawarah yang dengan tegas diperintahkan wahyu dalam surah Âli ‘Imrân ayat 159 di atas: wasyâwirhum fî al-amr (Dan engkau [Muhammad] hendaklah bermusyawarah dengan mereka). Kemudian untuk komunitas Muslim yang lebih luas, ayat 38 surah al-Syûrâ di atas yang berbunyi: wa amruhum syûrâ bainahum (dan urusan mereka [hendaklah] dimusyawarahkan antara mereka). 

Kultur musyawarah inilah selama beratus-ratus tahun telah dibenamkan ke bawah debu sejarah oleh elite Muslim, Arab dan non-Arab. Bukankah perilaku serupa ini semua adalah pengkhianatan telanjang terhadap ketentuan wahyu? 

Seperti telah dijelaskan dalam seri ketiga Resonansi ini, Alquran juga berfungsi sebagai korektor utama terhadap segala penyimpangan perilaku manusia dan kesalahan dalam menafsirkan ajaran oleh umat Muslim. Maka “membunuh prinsip musyawarah” yang pada era modern terlihat dalam sistem demokrasi harus dinilai sebagai kesalahan fatal dan harus segera dikoreksi berdasarkan pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat Alquran seperti disebutkan di atas. 

Dengan tegaknya prinsip musyawarah, segala sistem kekuasaan dalam bentuk despotisme dan autoritarianisme di dunia Muslim pasti akan bertumbangan satu demi satu, karena sistem-sistem itu mengkhianati wahyu! n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat