Pemeriksaan suhu tubuh di Palangkaraya, Selasa (17/3). (ilustrasi) | ANTARA FOTO

Narasi

Cemas Menanti Tes Covid-19

 

Wartawan Republika, Dessy Suciati Saputri, mengisahkan pengalamannya saat menjalani proses pemeriksaan karena mengalami gejala terpapar virus korona (Covid-19). Hingga ia dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19, ada beberapa kejanggalan yang ia rasakan. Berikut tulisan bagian terakhirnya.

Setelah menjalani tes swab pada Ahad (15/3) siang, pasien yang masuk ke kamar isolasi makin bertambah jelang malam. Namun, ada seorang wanita di dalam kamar tersebut yang sudah diizinkan pulang. Hingga malam hari, total ada enam pasien di kamar isolasi. Semuanya dinyatakan sebagai pasien PDP.

 
Dua pasien dirawat di tempat tidur, sementara empat pasien lainnya harus menunggu di kursi roda selama berjam-jam. Bukan kondisi yang ideal dan layak bagi pasien diduga terpapar Covid-19 untuk beristirahat atau sekadar menunggu hasil tes.
   

Mereka kelelahan dengan kondisi kesehatan yang beragam. Ada yang batuk terus-menerus, ada pula yang harus mengenakan selang oksigen. Kondisi ini pun membuat psikologis pasien terganggu, termasuk saya. Apalagi, beberapa pasien juga mengaku tak mendapatkan informasi yang pasti terkait tindakan selanjutnya dari tim medis.

Pihak rumah sakit mengaku kamar isolasi masih penuh sehingga masih harus dicarikan kamar di rumah sakit rujukan lainnya. Untuk menunggu kepastian kamar isolasi pun juga sangat lama. Bahkan, ada seorang pasien lainnya yang harus menunggu hingga hampir dua hari untuk mendapatkan kamar isolasi di rumah sakit rujukan.

Kondisi ini membuat saya dan sejumlah pasien lainnya meminta agar mendapatkan perawatan di rumah saja. Alasannya, karena mereka tak mendapatkan penanganan yang layak selama berada di kamar isolasi ruang IGD dan hasil tes laboratorium mereka dalam kondisi sehat dan baik. Alih-alih sembuh, malah terpapar di kamar isolasi.

Namun, pihak rumah sakit menolak mereka pulang. Saya telepon dokternya, sangat direkomendasikan untuk isolasi. Namun, katanya, boleh pulang asal harus tanda tangan surat pernyataan dengan segala risikonya tidak ditanggung rumah sakit. Masalahnya, kalau begini terus tidak jelas, lama-lama saya stres dan malah terpapar dari pasien lain yang kemungkinan positif atau sebaliknya.

Saat akan dipindahkan ke rumah sakit rujukan di RS Fatmawati, pihak RSUD Pasar Minggu mengosongkan seluruh lorong yang akan saya lewati. Semuanya menjauh. Bahkan, ada yang memvideo saat petugas membawa saya ke ambulans. Padahal, seluruh hasil tes saya baik-baik saja, meski tes //swab// memang belum keluar hasilnya.

Perlakuan yang sama juga saya rasakan saat tiba di RS Fatmawati pada Senin (16/3) dini hari. Saat tiba, saya melihat adanya petugas rumah sakit yang justru memvideo proses pemindahannya. Entah mau disebarkan atau mau buat apa video itu.

Di rumah sakit rujukan ini, saya dan pasien A mendapatkan kamar isolasi. Kamar tersebut berukuran sangat luas dengan enam tempat tidur. Antara tempat tidur berjarak sekitar 2 meter. Namun, karena hanya terdapat tiga pasien di ruangan isolasi itu, setiap pasien ditempatkan di tempat tidur dengan jarak sekitar 4 meter.

Pasien yang ditempatkan di kamar ini seluruhnya merupakan pasien kategori PDP. Di kamar ini, saya merasa lebih nyaman daripada di kamar isolasi sebelumnya. Sejak saya dan pasien A tiba di RS rujukan ini, kami belum mendapatkan pemeriksaan kembali dari dokter RS setempat. Kami hanya mendapat infus sejak di RSUD sebelumnya dan makanan ala rumah sakit. 

Dokter spesialis paru-paru baru mulai melakukan kunjungan ke pasien PDP pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Kepada saya, dokter menjelaskan bahwa berdasarkan hasil rontgen thorax menunjukkan adanya sedikit flek. Namun, untuk memastikan kembali, dokter meminta agar dilakukan foto thorax yang kemudian dinyatakan bahwa saya dan pasien A dapat melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari.

Artinya, saya bisa langsung segera kembali pulang. Status saya pun menjadi orang dalam pemantauan (ODP) dari sebelumnya PDP. Tak ada penjelasan lebih lanjut dari dokter mengenai hasil pemeriksaan. Saya hanya mendapatkan informasi dapat kembali pulang sambil menunggu hasil tes swab. Namun, sampai Rabu (18/3), hasil tes swab saya belum keluar. Saya tidak tahu kapan hasilnya sampai ke saya.

 
Pasien yang dikategorikan sebagai PDP belum tentu positif Covid-19. Masih ada kemungkinan pasien tersebut negatif dari virus. Karena itu, saya berharap pemerintah dapat menyiapkan layanan rumah sakit yang lebih baik lagi untuk menangani pasien dengan keluhan seperti gejala Covid-19.
   

Di sisi lain, saya sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada para perawat yang membantu dan merawat saya dengan baik. Bahkan, beberapa di antara mereka juga benar-benar menenangkan saya. Meskipun dia harus bolak-balik mengenakan pakaian ala astronot yang sangat merepotkan itu. Terima kasih karena kalian semua masih bersikap sabar ketika pasien panik. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat