
Internasional
Menjaga Kedaulatan di Tengah Riak di Ujung ‘Lidah Sapi’
Indonesia punya kepentingan menjaga Laut Cina Selatan tetap tenang.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI
LAUT NATUNA UTARA -- Sekitar tiga bulan lalu, Mubtadi, seorang nelayan dari Pulau Natuna, Kepulauan Riau pergi melaut agak jauh ke utara. Lelah siang hari mencari ikan, beristirahatlah mereka di malam harinya. Jangkar dilempar, lampu dimatikan, bersiap tidur.
"Tiba-tiba ada macam api rokok di tengah laut, kian lama tambah besar dia," ujarnya saat dihubungi Republika pada Jumat (31/5/2024). Ternyata cahaya itu dari kapal Penjaga Pantai Cina. Mubtadi yakin, ia berlayar di wilayah Indonesia, tapi tak mau ambil resiko. "Bisa ditenggelamkannya perahu kami, Pak."
Tak sempat mengangkat jangkar, tali langsung ia putuskan bersama awak lainnya. Tancap gas mereka berbalik ke pantai. Mubtadi mengenang, waktu-waktu itu memang menegangkan. "Takut kami melaut, Pak. Padahal itu laut negara sendiri," ujarnya.
Kondisi berubah belakangan. Sejak dua bulan belakangan, tak lagi terdeteksi kapal-kapal asing di Laut Natuna Utara. "Sudah terdeteksi sama petugas-petugas kita nampaknya," ujar Mubtadi.
Wan Mustahadi, seorang nelayan di Pulau Natuna, Kepulauan Riau, juga masih ingat ketegangan beberapa tahun lalu. Kala itu kapal-kapal Penjaga Pantai Cina kerap merangsek ke wilayah laut yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sementara bagi Cina, itu wilayah mereka sesuai klaim sepihak yang nyaris menyeluruh atas Laut Cina Selatan.
Wan Mustahadi mengingat, penerobosan kapal-kapal Cina tersebut merepotkan bagi nelayan pancing tonda dan pancing ulur yang berlayar sejauh 70 mil laut ke utara dari pantai Natuna. “Sering sekali dulu mereka masuk,” kata dia ketika dihubungi Republika pada Rabu (29/5/2024).
Saat ini, menurutnya keadaan lebih tenang. Jarang lagi terdengar ada kapal Cina, baik militer maupun nelayan, yang merangsek masuk. “Mungkin karena sering patroli tentara,” ujarnya. “Malah nelayan-nelayan dari daerah lain yang sekarang merepotkan,” ia menambahkan. Meski ia juga tak menutup kemungkinan bahwa kapal-kapal asing saat ini lebih canggih mendeteksi ada tidaknya patroli.
Sejauh ini, Indonesia secara resmi bukan merupakan klaiman atas sengketa di Laut Cina Selatan. Namun faktanya, Sembilan Garis Putus-Putus, klaim menyeluruh Cina atas Laut Cina Selatan, menyenggol juga perairan Tanah Air, tepatnya di Laut Natuna Utara. Garis putus-putus tersebut bermula dari Pulau Hainan, kemudian mengular ke selatan dan berbelok di utara Indonesia hingga lanjut kembali sampai perairan Taiwan. Merujuk bentuknya, marka sepihak itu kerap disebut sebagai “Lidah Sapi” di Cina.

Di Beijing, beberapa waktu lalu, Republika sempat menemui Deputi Direktur Studi Perbatasan Cina di Akademi Ilmu Sosial Cina, Li Guoqiang, untuk mencari tahu apakah klaim itu melibas juga wilayah Indonesia. Akademi Ilmu Sosial Cina adalah lembaga penelitian sekaligus lembaga think-tank penting di Cina. Ia terafiliasi dengan pemerintah pusat Cina. Studi perbatasan di akademi itu telah melakukan penelitian sejak tahun 1993 untuk menentukan titik geografis Sembilan Garis Putus-Putus.
Saat membuat peta garis putus-putus pada 1947, Cina belum menentukan koordinat yang presisi terkait jangkauan geografis klaim Cina. Namun, menurut Li Guoqiang, saat ini Pemerintah Cina telah memiliki koordinat geografis tersebut.
Dari penelitian mereka, kata Li Guoqiang, garis itu bersinggungan dengan ZEE sejumlah negara ASEAN yang mengacu pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Studi Perbatasan menemukan, ada sebanyak 1,5 juta kilometer persegi wilayah ZEE negara lain yang tumpang-tindih dengan Sembilan Garis Putus-Putus.
"Anda bertanya soal Indonesia? Ada seluas 50 ribu kilometer persegi wilayah tumpang tindih antara klaim Cina melalui Sembilan Garis Putus-Putus dengan ZEE Indonesia," kata Li Guoqiang. Inilah yang menyebabkan kapal-kapal Cina beberapa lalu merangsek masuk.

Laut Cina Selatan memang bukan laut biasa. Ia adalah jalur maritim paling penting di dunia. Pada 2016 saja, sebanyak 3,4 triliun dolar AS dari 16 triliun dolar AS perdagangan laut dunia melintasi Laut Cina Selatan. Cadangan minyak dan gas alam telah ditemukan di wilayah tersebut. Lautan tersebut juga menyumbang 14 persen penangkapan ikan komersial dunia pada 2010.
Selain perekonomian, ia juga punya nilai strategis secara geopolitik. Cina, misalnya, bisa meluaskan garis pertahanannya ke selatan jika berhasil menguasai laut tersebut. Sementara Amerika Serikat memerlukan kebebasan navigasi melintasi laut itu jika armada militernya di Pasifik Barat hendak mencapai Timur Tengah dan Afrika dengan lekas.
Riak di Laut Cina Selatan
Berkelindannya kepentingan itu membuat riak-riak di Laut Cina Selatan belakangan kian menguat, menunjukkan potensinya menjadi gelombang besar dalam waktu yang tak lama lagi. Hal ini tak lepas dari meningkatnya status Cina sebagai penantang hegemoni Amerika Serikat di regional.
Belakangan, Filipina dan Republik Rakyat Cina, dua negara yang paling aktif dalam sengketa laut itu kian antagonistik. Reuters melansir, bulan lalu, sebuah kapal penjaga pantai Cina memblokir kapal patroli Filipina yang berlayar menuju perairan dangkal yang disengketakan di Laut Cina Selatan. Kejadian itu menyebabkan tabrakan yang mengkhawatirkan dalam agresi terbaru Beijing di jalur perairan strategis tersebut.

Bentrokan di laut lepas pada tanggal 23 April antara kapal Cina yang lebih besar dan BRP Malapascua milik penjaga pantai Filipina di dekat Second Thomas Shoal merupakan salah satu momen menegangkan yang dihadapi kapal tersebut dan kapal Filipina lainnya dalam patroli kedaulatan selama seminggu di salah satu perairan yang paling diperebutkan di dunia. Sedangkan pada Februari, sebuah kapal penjaga pantai Cina mengarahkan laser tingkat militer pada awal Februari yang membutakan sementara dua awak kapal Malapascua di Beting Thomas Kedua.
Filipina menyatakan akan terus membangun aliansi keamanan dan melakukan latihan tempur bersama di perairan yang disengketakan untuk mempertahankan kepentingan teritorialnya, kata Menteri Pertahanan Gilberto Teodoro pada Jumat pekan lalu.
Teodoro secara blak-blakan mengkritik tindakan Beijing yang semakin agresif di Laut Cina Selatan, tanpa menyebut nama Cina, dalam pidatonya di hadapan petinggi militer pada upacara peringatan berdirinya angkatan laut Filipina di Manila. Filipina, katanya, tidak akan mentolerir agresi dan tindakan provokatif.
Sejak permusuhan teritorial dengan Tiongkok meningkat tahun lalu di Laut Cina Selatan, pemerintahan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr telah mengambil langkah-langkah untuk membentuk aliansi keamanan baru dengan sejumlah negara Asia dan Barat dan mengizinkan kehadiran militer AS di lebih banyak pangkalan di Filipina seturut Pakta Pertahanan 2014.

Pada April dan Mei, militer Filipina mengadakan latihan tempur tahunan dengan pasukan AS di dan dekat perairan yang disengketakan. Cina mengatakan tindakan AS dan sekutunya, termasuk Filipina, bersifat provokatif, bertujuan untuk membendung Beijing dan membahayakan keamanan regional.
Langkah diplomasi
Bagaimana kemudian mencegah konflik tersebut jadi perang terbuka. Langkah-langkah diplomatik tentunya harus dikedepankan. Pada Maret lalu. Menteri Luar Negeri (Menlu) Cina Wang Yi mengeklaim, pembahasan tentang kode etik atau Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan (LCS) telah mengalami kemajuan. Dia menyebut, Beijing dan ASEAN akan terus bekerja sama guna mempercepat penyelesaian CoC.
“Dengan upaya keras dari Cina, pembahasan CoC yang kedua berhasil diselesaikan, dan prosedur untuk pembahasan ketiga diluncurkan. Kami akan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk mengupayakan penyelesaian awal CoC serta memastikan bahwa LCS tetap menjadi laut damai dan kerja sama,” kata Wang ketika memberikan pengarahan pers di gedung Media Center di Beijing, Kamis (7/3/2023).
Dia menambahkan, selain mempercepat negosiasi CoC, penting bagi Cina dan ASEAN untuk terus mematuhi Declaration of Conduct (DoC) di LCS. “Kami juga mendesak negara-negara tertentu di luar kawasan untuk tidak melakukan provokasi yang memihak atau menimbulkan masalah di LCS,” ujarnya.
Wang mengklaim, negaranya sudah menerapkan tingkat pengendalian diri yang tinggi di LCS. Oleh sebab itu, jika ada atau terjadi provokasi, Cina akan mengambilkan aksi balasan yang cepat dan sah.
Tahun lalu ASEAN dan Cina telah menyepakati Guidelines for Accelerating the Early Conclusion of an Effective and Substantive CoC untuk LCS. Pedoman itu diadopsi dalam pertemuan antara para menlu ASEAN dengan Menlu Cina di Jakarta pada 13 Juli 2023.
“Tahun ini kita telah menandai beberapa tonggak penting saat kita menyelesaikan Guidelines for Accelerating the Early Conclusion of an Effective and Substantive CoC, menyelesaikan pembacaan kedua Single Draft CoC Negotiating Text, dan memperingati 20 tahun aksesi Cina ke Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia,” ungkap Menlu RI Retno Marsudi saat membuka ASEAN Post Ministerial Conference (PMC) bersama Cina di Hotel Shangri-la, Jakarta, 13 Juli 2023 lalu.
Sebelumnya ASEAN menyambut kemajuan negosiasi terkait draf tunggal CoC lewat penyelenggaraan ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the Declaration of Conduct (JWG-DoC) di Jakarta pada 8-10 Maret 2023. “Kami menyambut inisiatif untuk mempercepat negosiasi CoC, termasuk proposal untuk mengembangkan pedoman untuk mempercepat penyelesaian awal CoC yang efektif dan substantif,” demikian bunyi Chairman Statement of 42nd ASEAN Summit yang dirilis 11 Mei 2023 lalu.
Cina diketahui mengklaim lebih dari 90 persen wilayah LCS. Klaim Beijing ditentang sejumlah negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Untuk menangani perselisihan klaim di LCS, ASEAN dan Cina menandatangani DoC di Kamboja pada November 2002. Deklarasi itu memuat komitmen Cina dan negara-negara ASEAN untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi.

Kemudian pada 2011, Cina dan ASEAN kembali berhasil menyepakati Guideline for the Implementation of the DoC. Kesepakatan tersebut menandai dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan CoC di LCS. Fungsinya adalah menghadirkan seperangkat mekanisme atau peraturan tata perilaku untuk negara-negara yang berkepentingan di LCS. Dengan demikian, potensi pecahnya konflik akibat tumpang tindih klaim dapat diredam. Sejak 2011 hingga saat ini, Cina dan ASEAN masih terus berusaha merumuskan CoC untuk diterapkan di LCS.
Sementara upaya diplomatik meredakan ketegangan tersebut dilakukan, kehadiran militer Indonesia yang selalu tampak adalah keharusan di Laut Natuna Utara. "Pemerintah mendorong program major project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna melalui kecukupan alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dalam diskusi yang digelar Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) di Jakarta, Maret lalu seperti dilansir Antara.
TNI AL dapat berperan menjaga perbatasan wilayah laut, sedangkan TNI AU bisa berperan melakukan pengintaian wilayah untuk menjaga titik perbatasan. Penguatan alutsista, peningkatan SDM, dan pemutakhiran teknologi menjadi hal yang Pemerintah kejar untuk memperkuat penjagaan perbatasan.
Dua langkah ini, aktif secara diplomatis dan penguatan kehadiran militer adalah jalan Indonesia menjaga tenangnya Laut Cina Selatan dan kedaulatan wilayah sendiri. Hanya dengan begitu, Wan Mustahadi dan rekan-rekan nelayannya bisa mencari nafkah dengan tenang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Cina Latihan Militer, Warga Taiwan Mulai Latihan Perang
Militer Cina menggelar latihan perang di sekitar Taiwan sejak Kamis.
SELENGKAPNYAPidato Presiden Taiwan Buat Cina Meradang
Presiden Taiwan menegaskan kedaulatan Taiwan dari Cina.
SELENGKAPNYAFilipina Beli Kapal Perang Jepang, untuk Adang Cina?
Filipina membeli lima kapal perang dari Jepang.
SELENGKAPNYA