Tujuan Pembangunan Berkelanjutan | Bappenas

Iqtishodia

Kompleksitas Ekonomi dan Emisi: Peran G-20 dalam Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Kontribusi pertumbuhan sektor industri yang cukup tinggi di satu sisi dapat berimplikasi pada masalah peningkatan emisi karbon.

OLEH Muhammad Iqbal Al Qodri (Mahasiswa Program Magister Ilmu Ekonomi FEM IPB); Dr. Widyastutik (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM dan Sekretaris Lembaga Riset Internasional Sosial, Ekonomi, dan Kawasan IPB); Dr. Eisha Maghfiruha Rachbini (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB )

 

Pertumbuhan ekonomi suatu negara dimaknai sebagai kenaikan kemampuan dan kapabilitas suatu perekonomian dalam menyediakan berbagai jenis barang ekonomi dalam jangka panjang kepada penduduknya (Jhingan 2012). Salah satu upaya untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yaitu mendorong pertumbuhan pada sektor industri.

Berdasarkan data WDI (2022), sektor ini memberikan kontribusi nilai tambah tertinggi kedua sebesar 27,51 persen dari PDB, setelah posisi pertama yaitu sektor jasa (61,7 persen). Pembangunan ekonomi selain meningkatkan ukuran ekonomi yang biasanya berpatokan melalui Produk Domestik Bruto (PDB), juga meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, institusi, dan variasi penggunaan teknologi dalam produksi, di mana semua kapabilitas tersebut ditangkap melalui pendekatan Economic Complexity Index (ECI) (Hoeriyah et al. 2022).

Kontribusi pertumbuhan sektor industri yang cukup tinggi di satu sisi dapat berimplikasi pada masalah peningkatan emisi karbon dioksida (CO2). Dampak negatif dari pertumbuhan tersebut juga perlu ditanggapi serius. Secara global, menurut IEA (2022) emisi CO2 terus meningkat sejak tahun 1990, dimana saat ini telah mencapai 36,8 Gt (gigatonnes). Tren kenaikan tersebut juga berdampak pada peningkatan anomali suhu hingga menyebabkan global warming.

Group of Twenty (G-20) yang merupakan forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa merepresentasikan 85 persen perekonomian dunia dan 75 persen perdagangan internasional memiliki andil dengan berkontribusi pada 75 persen emisi GRK global. G-20 juga menjadikan sektor industri sebagai motor pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara anggotanya.

Rata-rata produksi industri yang dicerminkan melalui Indeks Produksi Industri cenderung mengalami peningkatan dengan sumber energi yang digunakan masih berasal dari batu bara dan minyak bumi atau energi tak terbarukan. Tak hanya itu, sektor industri juga turut mendorong indeks kompleksitas ekonomi mengalami peningkatan.

photo
Indeks kompleksitas ekonomi negara G-20 - (IPB, diolah dari OECD 2023)

Dalam konteks G-20, kegiatan industri yang terus didorong agar dapat menghasilkan produk kompleks dan mengakselerasi perekonomian negara. Namun, di sisi lain, hal tersebut menimbulkan trade off berupa peningkatan emisi karena penggunaan sumber energi dari energi tak terbarukan.

Sebagaimana hipotesis Environmental Kuznetz Curve (EKC), bahwa kegiatan industri di masa awal pembangunan akan meningkatkan perekonomian dan jumlah emisi. Oleh karena itu, penting untuk melihat apakah dengan kompleksitas ekonomi sebenarnya hanya meningkatkan PDB dan emisi saja atau nantinya juga dapat menurunkan emisi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan?

Hasil analisis yang dilakukan tim peneliti IPB pada studi ini dengan menggunakan model kuadratik EKC mengindentifikasi bahwa ECI pada ruang lingkup negara maju anggota G-20, seperti Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat, maupun negara berkembang G-20, yaitu Argentina, Brazil, China, India, Indonesia, Meksiko, Rusia, Afrika Selatan, dan Turki, dapat menurunkan emisi CO2 di jangka panjang.

Lebih lanjut, hasil studi menunjukkan bahwa pengaruh ECI pada tahap awal pembangunan memang meningkatkan emisi, dimana pembangunan ekonomi yang berlangsung cenderung eksploitatif terhadap sumber daya dan produktif dalam menghasilkan produk bernilai tambah tinggi (kompleks). Namun, setelah melewati titik balik tertentu, ECI akan bergeser pada pola produksi yang efektif dan efisien sehingga mampu menciptakan produk kompleks menggunakan teknologi tinggi dan rendah emisi.

Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan hasil empiris yang serupa bahwa ECI dapat menurunkan emisi di Uni Eropa dan BRICS, seperti yang juga ditemukan oleh Neagu (2019) dan Balsalobre-Lorente et al. (2023).

Temuan lainnya adalah bahwa penggunaan EBT di negara maju terbukti mampu menurunkan emisi, sedangkan di negara berkembang justru meningkatkan emisi. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka semakin besar kesadaran akan pentingnya merestorasi kerusakan lingkungan juga turut meningkat.

Di negara berkembang, penggunaan EBT justru meningkatkan emisi

 

Hal ini membuat para pembuat kebijakan dan industri agar mulai memprioritaskan penggunaan sumber energi terbarukan yang menghasilkan lebih sedikit emisi dan menurunkan tingkat degradasi lingkungan (Destek dan Sinha 2020). Pada negara berkembang, hubungan antara penggunaan EBT dan tingkat emisi memiliki hasil positif, karena transisi penggunaan EBT justru menghadirkan tantangan berupa tingginya investasi awal untuk infrastruktur energi terbarukan.

Pada tahap transisi, negara berkembang masih terus menggunakan energi tak terbarukan dan menjadi faktor penghambat bagi pihak investor untuk melaksanakan proyek transisi tersebut.

Faktor lain yang berpengaruh dalam penurunan emisi CO2 di G-20 adalah Foreign Direct Investment (FDI). FDI mampu menurunkan emisi pada negara maju namun justru meningkatkan emisi pada negara berkembang.

Menurut Saqib dan Dinca (2023), dalam kasus negara maju, upaya yang dapat dilakukan untuk menarik investasi energi bersih adalah melalui perjanjian bilateral dan kemitraan dengan negara lain. Sebagai contoh, negara AS dan China telah membentuk Clean Energy Research Center (CERC) untuk memfasilitasi penelitian dan pengembangan energi bersih.

photo
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).  - (Republika/Putra M. Akbar)

Secara empiris hal ini membuktikan bahwa peningkatan FDI memiliki hubungan negatif terhadap tingkat emisi, sesuai dengan teori Pollution Halo Hypothesis (PHL). Di sisi lain, pada negara berkembang, FDI dapat meningkatkan emisi, karena investasi melalui penanaman modal asing cenderung pada sektor produksi dengan teknologi tradisional, produk tidak kompleks, dan dominan menggunakan energi tak terbarukan sehingga meningkatkan konsentrasi emisi di lingkungan (Ahmed et al. (2022).

Rekomendasi dari studi ini adalah perlunya upaya paralel dari G-20 terkait dengan komitmen untuk mendorong pelaku ekonomi memproduksi dan mengekspor produk yang kompleks, dan komitmen untuk melakukan pembangunan berkelanjutan melalui forum G-20 dengan mengimplementasikan program Green Development Pact G-20 dalam mempromosikan Lifestyles for Sustainable Development (LiFE) untuk menciptakan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan. Skema ini diharapkan dapat meningkatkan permintaan terhadap produk-produk kompleks yang ramah lingkungan.

 

 

FDI perlu diarahkan kepada investasi teknologi dan infrastruktur energi terbarukan

 

Untuk mitigasi pengaruh negatif dalam emisi di negara maju, FDI perlu diarahkan kepada investasi teknologi dan infrastruktur energi terbarukan, serta pada model bisnis yang berkelanjutan.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi negara anggota G-20 dalam menyukseskan pembangunan berkelanjutan adalah bervariasinya kondisi eksisting negara anggota G-20. Kondisi yang bervariasi ini akan menyebabkan tingkat pembangunan berkelanjutan G-20 yang bervariasi dalam pencapaian target pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, negara G-20 perlu bersinergi untuk upaya percepatan transisi energi. Negara maju dapat mendukung negara berkembang untuk mentransisikan ekonominya dengan melakukan pembangunan yang berkelanjutan melalui program/proyek.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat