Harga beras tertera di salah satu toko grosir sembako di Jakarta, Jumat (23/2/2024). | Republika/Thoudy Badai

Iqtishodia

Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

Oleh DR UJANG SEHABUDIN, Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University dan Manajer Sekolah Vokasi IPB University Kampus Sukabumi

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi bahkan merupakan hak asasi warga negara yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut ditegaskan kembali melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang penjabarannya termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Dalam PP tersebut, penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata dan berkelanjutan.  

Isu pangan khususnya beras menjadi isu nasional. Melonjaknya harga beras yang terjadi akhir-akhir ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah. Melonjaknya harga beras tersebut selain disebabkan pengaruh perubahan iklim (El Nino) yang menyebabkan musim tanam mundur, juga produksi padi tahun 2023 mengalami penurunan yang berimbas terhadap ketersediaan beras tahun 2024 ini. 

Penurunan produksi  juga diakibatkan adanya konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah ke penggunaan non-pertanian di sentra-sentra produksi padi terutama di Jawa.  Kondisi tersebut tentunya dapat mengancam ketahanan pangan nasional.  Ketahanan pangan merupakan aspek yang diamanatkan oleh PP Nomor 17 tahun 2015 tersebut, sehingga berbagai kebijakan dan program pemerintah telah ditempuh untuk mewujudkan eras.

Salah satu upaya untuk mengatasi kelangkaan beras adalah impor, yang memperlihatkan kenaikan yang signifikan. Tahun 2024 ini impor beras diperkirakan sejumlah 3,6 juta ton, meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 3,5 juta ton. Kecenderungan meningkatnya impor beras memperlihatkan ketergantungan yang semakin besar terhadap negara lain. Hal ini tentunya dapat berimplikasi terhadap perekonomian nasional antara lain terjadinya capital outflow, sehingga dapat mengakibatkan neraca perdagangan pangan defisit. Apalagi dengan semakin melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS, akan menyebabkan beban negara untuk impor beras semakin berat.

photo
Produksi Padi Selama Periode Kekeringan - (BPS)

Berbagai faktor yang menyebabkan meningkatnya impor beras dapat dikaji melalui pendekatan supply-demand.  Dari sisi supply,  produksi padi nasional mengalami penurunan disebabkan antara lain perubahan iklim terutama El Nino yang menyebabkan penurunan produksi padi terutama di sentra-sentra produksi padi seperti Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Padahal keempat provinsi tersebut menyumbang lebih dari 50 persen produksi padi nasional.

Faktor lainnya adalah konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah ke penggunaan non-pertanian (infrastruktur, pemukiman, perkotaan, kawasan industri) terutama di Jawa, padahal Jawa merupakan sentra produksi padi nasional.  Konversi lahan sawah terjadi karena opportunity cost lahan sawah untuk kegiatan nonpertanian lebih tinggi, di samping itu atas nama kepentingan pembangunan, seringkali RTRW Kab/Kota mengalami penyesuaian yang berimplikasi terhadap konversi lahan pertanian tersebut.  Walaupun telah ada UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), namun belum efektif untuk mencegah konversi lahan pertanian.  

Ini karena insentif bagi pemilik lahan  pertanian tidak sebanding dengan opportunity cost lahan tersebut. Bahkan,  disisi lain terdapat UU Nomor 22 Tahun 2019  tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, yang memberikan kebebasan bagi pemilik lahan pertanian untuk melakukan budidaya komoditas apapun terhadap lahan pertanian yang dimiliki/dikuasainya, termasuk penggunaan lain. 

Dari sisi demand, meningkatnya permintaan beras antara lain karena konsumsi per kapita beras masyarakat Indonesia masih tinggi, bahkan tertinggi dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, China, Jepang dan Korea. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, tentunya permintaan beras nasional semakin meningkat. Faktor lainnya adalah ketidakberhasilan program diversifikasi pangan. 

Dari sisi demand, meningkatnya permintaan beras antara lain karena konsumsi per kapita beras masyarakat Indonesia masih tinggi.
   

Bahkan beberapa daerah yang tadinya mengonsumsi pangan non-beras seperti umbi-umbian (Papua), jagung dan kacang-kacangan (NTT), sagu (Maluku dan Maluku Utara), beralih mengonsumsi beras. Ini antara lain karena kebijakan bantuan sosial (Bansos) atau bantuan bencana alam yang didalamnya terdapat komponen beras sehingga kebutuhan beras domestik semakin meningkat.

Ditambah lagi adanya anggapan bahwa mengonsumsi beras memiliki status sosial yang lebih baik dibandingkan dengan sumber pangan nonberas, di samping itu proses pengolahan beras sampai siap makan lebih praktis, sehingga sulit kembali untuk mengonsumsi pangan non-beras yang sebelumnya merupakan pangan pokok. 

Strategi Meningkatkan Ketahanan Pangan 

Untuk meningkatkan ketahanan  pangan khususnya pangan pokok  sebagai sumber karbohidrat, strategi yang dilakukan tidak hanya fokus pada komoditas padi/beras, namun juga komoditas pangan nonberas.  Kebijakan atau strategi bisa ditempuh dari sisi supply maupun demand.  Dari sisi supply, tentunya bisa dilakukan melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi.  

Ekstensifikasi merupakan program perluasan areal lahan pertanian, sedangkan intensifikasi melalui peningkatan produktivitas.  Ekstensifikasi lebih cocok dilakukan di luar Jawa yang masih tersedia lahan yang cukup luas, sedangkan intensifikasi lebih cocok dilakukan di Jawa karena lahan pertanian yang semakin menurun, namun kualitas lahan (kesuburan) lebih baik dibandingkan lahan pertanian di luar Jawa. 

Ekstensifikasi merupakan program perluasan areal lahan pertanian, sedangkan intensifikasi melalui peningkatan produktivitas.
   

Ekstensifikasi dapat memberikan manfaat lain seperti penyerapan tenaga kerja, pemerataan pembangunan pertanian ke berbagai wilayah, pengembangan perekonomian wilayah, mengurangi kesenjangan antar wilayah, memeratakan penduduk melalui program transmigrasi, sehingga dapat meningkatkan  dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.  

Intensifikasi dapat ditempuh antara lain melalui peningkatan penggunaan kuantitas dan kualitas sarana produksi (benih, pupuk, biosida), pengembangan jaringan irigasi (Indeks Pertanaman (IP) meningkat), penggunaan teknologi panen dan pasca panen untuk mengurangi food loss yang saat ini masih tinggi (20-30 persen), meningkatkan kapasitas SDM petani, serta pengembangan kelembagaan agribisnis padi terpadu (hulu-hilir) untuk meningkatkan rantai nilai. 

Strategi lainnya adalah mengembangkan kebijakan insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan pertanian terutama lahan sawah untuk mendukung program LP2B.  Insentif yang diberikan bisa subsidi harga input (sarana produksi) atau subsidi harga output, jaminan mendapatkan sarana produksi seperti pupuk bersubsidi, pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB), pembiayaan/akses permodalan ke perbankan, serta asuransi pertanian jika terjadi gagal panen (puso). 

Pengembangan beras analog dari sumber pangan non-beras merupakan strategi yang dapat dikembangkan selanjutnya.
   

Dari sisi demand, kebijakan atau strategi yang perlu dilakukan antara lain mengurangi konsumsi beras per kapita melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Strategi lainnya adalah peningkatan implementasi diversifikasi pangan pokok nonberas, melalui kebijakan pemerintah daerah seperti penetapan hari tanpa makan nasi, atau mewajibkan konsumsi komoditas tertentu pada hari tertentu, atau mengurangi frekuensi makan nasi misalnya dari dua kali dalam sehari menjadi 1 kali dalam sehari, sisanya konsumsi  pangan non-beras seperti singkong dan ubi jalar.  Strategi lainnya adalah mengedukasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang yang sejak semula mengonsumsi pangan nonberas, seperti umbi-umbian di Papua, jagung dan kacang-kacangan di NTT, dan sagu di Maluku.

Pengembangan beras analog dari sumber pangan non-beras merupakan strategi yang dapat dikembangkan selanjutnya. Beras analog dibuat dari sumber karbohidrat non-beras seperti jagung, singkong, sagu, dan umbi-umbian. Beras analog ini wujudnya seperti beras, sehingga proses mengolahnya menjadi mirip seperti mengolah beras menjadi nasi.  Ini bertujuan agar masyarakat lebih menyukai jika dalam bentuknya seperti beras.  

Strategi selanjutnya adalah mengurangi food waste, melalui edukasi pola makan berimbang, sehingga konsumsi pangan pokok terutama nasi disesuaikan dengan kebutuhan tubuh, tidak ada nasi tersisa. Ini tentunya dapat mengurangi konsumsi beras.  Paket Bansos atau bantuan bencana alam yang saat ini selalu terdapat komponen beras, dapat diganti menjadi pangan nonberas atau dalam bentuk tunai, merupakan alternatif kebijakan lainnya. Strategi tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor beras, sehingga dapat mendorong ketahanan pangan nasional. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Bapanas Pastikan Stok Beras Memadai

Pasokan beras disebut terus bertambah seiring adanya panen di sejumlah daerah.

SELENGKAPNYA

Pedagang Makanan Pusing Harga Beras dan Cabai Naik Terus

Pedagang terpaksa menaikkan harga jual makanan.

SELENGKAPNYA

Pemerintah Tambah Kuota Impor Beras

Kebijakan impor beras sebagai bentuk sistem pencegahan dini terhadap stok pangan.

SELENGKAPNYA

Warga Rela Antre Berjam-jam Demi Beras Murah

Setiap warga hanya diperbolehkan membeli beras maksimal dua kemasan beras.

SELENGKAPNYA