Pekerja saat bongkar muat beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/10/2023). | Republika/Putra M. Akbar

Iqtishodia

Menolak Impor Beras Bukan Keputusan Tepat

Merosotnya harga gabah saat panen raya bukan karena beras impor masuk di pasar dalam negeri.

Oleh Manuntun Parulian Hutagaol, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi IPB University

Menjelang Pilpres 2024, suhu politik dalam negeri dibuat lebih panas lagi oleh isu impor beras. Indonesia diberitakan akan kembali mengimpor beras 3 juta ton untuk menjaga stok nasional aman.

Rencana ini mendapat tentangan keras dari berbagai kalangan. Alasannya bernada klasik. Masuknya beras impor akan membuat harga beras dalam negeri anjlok dan para petani akan rugi. Selain membuat hidup mereka makin susah, kerugian tersebut akan membuat semangat mereka menanam padi merosot sehingga Indonesia makin jauh dari swasembada beras.

Kira-kira seperti itu logika yang mendasari penolakan impor beras. Perlu diingatkan kalau harga beras jatuh, maka harga gabah pun akan jatuh karena beras diperoleh dari “menguliti” gabah.

Sesungguhnya impor beras sudah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa, bahkan sebelum masa pemerintahan Orde Baru. Namun, masalah impor beras pada masa Orde Baru dengan masa pemerintah sekarang jauh berbeda. Pada masa Orde Baru, impor beras berjalan tanpa ada penolakan dari masyarakat.

photo
Petani membawa hasil panen padi di persawahan kawasan Minggir, Sleman, Yogyakarta, Selasa (5/12/2023). - (Republika/Wihdan Hidayat)

Tidak ada kelompok yang menolaknya dengan alasan apa pun. Tidak pernah terdengar penolakan dengan alasan impor beras tersebut akan merugikan petani padi.

Pertanyaannya adalah, apa benar larangan impor beras akan membuat petani lebih makmur? Beras impor pasti lebih murah dari beras produksi dalam negeri. Kalau tidak lebih murah, impor beras tidak perlu dilarang masuk.

Tetapi, merosotnya harga gabah saat panen raya bukanlah karena beras impor masuk di pasar dalam negeri. Harganya anjlok karena para petani gurem yang merupakan produsen utama beras nasional menjual gabahnya langsung setelah dipanen. Hanya menyisihkan sedikit saja untuk bekal keluarganya selama dua-tiga pekan ke depan.

Pasokan gabah yang berlebihan di pasar membuat harganya anjlok. Di zaman Orde Baru, pemerintah mencoba mengatasinya dengan menerapkan kebijakan harga dasar. Harganya ditetapkan lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar.

Namun, kebijakan harga dasar tidak efektif sebab kemampuan pemerintah terbatas untuk menampung semua kelebihan pasokan gabah yang terjadi. Kalaupun punya dana cukup, gudang Bulog tidak mampu menampung semua kelebihan pasokan tersebut.

Diperkirakan sekitar 70 persen dari total gabah yang di panen, yaitu 20-an juta ton setara beras per musim panen, dijual pada waktu panen raya tersebut. Sekitar 3 juta ton saja yang terbeli oleh Bulog. Sisanya sebanyak belasan juta ton dibeli oleh para pedagang besar yang bekerja sama dengan penggilingan-penggilingan padi yang menjadi agennya.

Mengapa para petani gurem menjual gabahnya langsung setelah dipanen meskipun harganya rendah? Mereka menjual gabah bukanlah karena produksinya melebihi kebutuhan keluarganya, tetapi karena butuh uang kontan untuk membayar utang pada rentenir.

photo
Pekerja saat bongkar muat beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/10/2023). - (Republika/Putra M. Akbar)

Karena miskin dan tidak punya akses pada kredit bank, mereka harus meminjam kepada rentenir untuk membiayai usaha taninya dan membeli kebutuhan rumah tangganya selama menunggu tanaman padinya akan sebelum dipanen. Para petani miskin harus segera lunasi pinjamannya agar bisa dapat pinjaman lagi untuk membiaya usahatani padinya yang akan segera dilaksanakan.

Bila beras impor dilarang, praktis pasar beras dalam negeri dikuasai oleh para pedagang yang didukung oleh para operator penggilangan padi. Mereka ini mengendalikan harga beras di pasar.

Sekarang para petani miskin harus membayar mahal atas pembelian berasnya yang berasal dari gabah yang mereka jual murah pada saat panen raya. Mereka dirugikan dari harga penjualan gabah yang murah dan pembelian beras yang harganya mahal. Di sisi lain, para pedagang dan operator penggilingan gabah justru diuntungkan dengan pembelian gabah yang harganya murah dan penjualan beras yang harganya mahal.

Larangan impor beras bukanlah solusi melainkan sumber masalah besar bagi Indonesia. Mestinya impor beras tidak menjadi sumber masalah kalau seandainya Indonesia tidak mengejar swasembada beras.

Swasembada membuat impor beras menjadi kegiatan yang “tabu”. Tabu ini menimbulkan masalah besar dan yang menanggung bebannya justru para petani miskin yang merupakan produsen utama beras nasional.

Persaingan pasar adalah sarana yang efektif untuk mendidik para produsen suatu barang, termasuk beras, untuk mengutamakan efisiensi dalam kegiatan produksinya. Produsen yang paling efisien akan menguasai pasar. Sebaliknya terjadi bila produsen tidak efisien. Petani menjadi produsen tangguh sebab mereka harus mampu memproduksi beras yang mempunyai daya saing tinggi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat