Penggunaan artificial inteligence (ilustrasi) | EPA

Inovasi

Membangkitkan Lagi Orang Meninggal dengan AI

Teknologi ini akan “menghadirkan humanisme jenis baru”.

Di pemakaman yang tenang di Cina timur, ayah yang berduka, Seakoo Wu, mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas batu nisan, dan memutar rekaman putranya. Itu adalah kata-kata yang tidak pernah diucapkan oleh mendiang siswa tersebut, tetapi diwujudkan dengan kecerdasan buatan (AI). 

“Aku tahu kamu sangat kesakitan setiap hari karena aku, dan merasa bersalah serta tidak berdaya,” kata Xuanmo dengan suara yang sedikit seperti robot, dilansir Japan Today, Jumat (15/12/2023). “Meskipun aku tidak bisa berada di sisimu lagi, jiwaku masih ada di dunia ini, menemanimu menjalani hidup.” 

Dilanda kesedihan, Wu dan istrinya telah bergabung dengan semakin banyak orang Cina yang beralih ke teknologi AI untuk menciptakan avatar mendiang yang terlihat seperti aslinya. Pada akhirnya, Wu ingin membangun replika yang benar-benar realistis yang berperilaku seperti putranya yang telah meninggal, tapi berada dalam realitas virtual. 

Opini--Artificial Intelligence Menggantikan Peran Guru - (Republika/Daan Yahya)

  ​

“Setelah kami menyelaraskan realitas dan metaverse, saya akan membawa putra saya lagi,” kata Wu. “Aku bisa melatihnya, sehingga ketika dia melihatku, dia tahu aku adalah ayahnya.” 

Beberapa perusahaan Cina mengklaim telah menciptakan ribuan “manusia digital” hanya dari materi audio visual almarhum yang berdurasi 30 detik. Para ahli mengatakan, hal ini dapat memberikan kenyamanan yang sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang terpukul karena kehilangan orang yang dicintai.

Namun, hal ini juga membangkitkan tema yang meresahkan serial fiksi ilmiah Inggris, "Black Mirror", di mana orang-orang mengandalkan AI canggih untuk memberikan dukungan pada saat berduka. Sejumlah perusahaan yang mengkhususkan diri pada apa yang disebut “bot hantu” telah bermunculan di Amerika Serikat (AS) dalam beberapa tahun terakhir.

Tetapi, industri ini berkembang pesat di Cina, menurut Zhang Zewei, pendiri perusahaan AI Super Brain dan mantan kolaborator Wu. Dari ruang kerja di timur Kota Jingjiang, Zhang mengatakan dalam hal teknologi AI, Cina berada di kelar tertinggi di dunia. “Ada begitu banyak orang di Cina, banyak di antaranya yang memiliki kebutuhan emosional, sehingga memberi kami keuntungan dalam hal permintaan pasar,” kata dia 

Super Brain mengenakan biaya antara 1.400 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 21,7 juta hingga 2.800 dolar AS atau sekitar Rp 43,4 juta untuk membuat avatar dasar dalam waktu sekitar 20 hari. Mulai dari mereka yang telah meninggal hingga orang tua yang masih hidup yang tidak dapat menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka, dan, yang kontroversial, mantan pacar wanita yang patah hati. 

Klien bahkan dapat melakukan panggilan video dengan anggota staf yang wajah dan suaranya secara digital dilapis dengan orang-orang yang telah hilang. “Pentingnya bagi seluruh dunia sangatlah besar,” kata Zhang. “Versi digital seseorang bisa ada selamanya, bahkan setelah tubuhnya hilang," lanjut dia. 

Sima Huapeng, pendiri Silicon Intelligence yang berbasis di Nanjing, mengatakan, teknologi ini akan “menghadirkan humanisme jenis baru”. Dia menyamakannya dengan potret dan fotografi, yang membantu orang memperingati orang meninggal dengan cara-cara yang revolusioner. 

Tal Morse, peneliti tamu di Centre for Death and Society di Universitas Bath, Inggris, mengatakan, bot hantu mungkin menawarkan kenyamanan. Namun dia memperingatkan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami implikasi-implikasi psikologis dan etika dari hal ini.

"Pertanyaan kuncinya di sini adalah seberapa "setia" bot hantu terhadap kepribadian yang dirancang untuk mereka tiru," kata Morse kepada AFP. "Apa yang terjadi jika mereka melakukan hal-hal yang akan 'mencemari' ingatan orang yang seharusnya mereka wakili?"

Artificial intelligence - (Freepik)

  ​

Kebingungan lain muncul dari ketidakmampuan orang yang sudah meninggal untuk memberikan persetujuannya, kata para ahli. Meskipun izin mungkin tidak diperlukan untuk meniru ucapan atau perilaku, izin mungkin diperlukan untuk "melakukan hal-hal tertentu dengan tiruan tersebut", kata Nate Sharadin, seorang filsuf di Universitas Hong Kong yang berspesialisasi dalam AI dan dampak-dampak sosialnya.

Bagi Zhang dari Super Brain, semua teknologi baru adalah pedang bermata dua. “Selama kita membantu mereka yang membutuhkan, saya tidak melihat ada masalah,” ujar Zhang. 

Dia tidak bekerja dengan pihak-pihak yang mungkin terkena dampak negatif dari hal ini, katanya, mengutip seorang wanita yang mencoba bunuh diri setelah kematian putrinya.

 

 
Versi digital seseorang bisa ada selamanya, bahkan setelah tubuhnya hilang 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat