
Khazanah
Pesantren tak Perlu Lagi Punya Sekolah Formal
Pondok pesantren diminta menunjukkan kembali kualitas pendidikan pesantren yang sejak dulu dikenal unggul
Oleh FUJI EP
JAKARTA -- Pondok pesantren kini lebih bebas memilih bentuk pendidikan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan santrinya, tanpa harus mendirikan sekolah formal. Dengan pengakuan pemerintah secara penuh kepada pesantren, apa pun pendidikan yang dimilikinya akan dapat meluluskan santri yang siap kuliah atau masuk ke dunia kerja.
Sekretaris Majelis Masyayikh KH Muhyiddin Khotib mengatakan, saat ini pesantren tidak harus menyelenggarakan pendidikan formal secara penuh, tapi dapat dilakukan dengan pendekatan pengajaran kitab. Secara legalitas, saat ini sudah tidak ada masalah, karena apa pun bentuk pendidikannya akan tetap diidentifikasi pemerintah sehingga ijazahnya setara dengan pendidikan formal.

"Pesantren telah berkontribusi mencerdaskan bangsa mulai zaman penjajahan hingga masa Reformasi sampai saat ini. Namun, pada era Orde Baru pesantren tidak diakui dan dikeluarkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Oleh karena itu, lulusan pesantren tidak diakui ijazahnya, sehingga harus menempuh ujian persamaan apabila ingin kuliah atau melanjutkan ke jenjang formal," kata Kiai Muhyiddin dalam Sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Ahad (19/11/2023).
Kiai Muhyiddin mengatakan, pemerintahan Orde Baru membuat banyak pesantren harus berkompromi dengan pemerintah, dengan cara mengubah pendidikannya menjadi formal berbentuk SD-SMA atau madrasah ibtidaiyah hingga madrasah aliyah. Pertaruhannya adalah metode pendidikan lama yang menjadi andalan pesantren, yaitu bandongan dan sorogan menjadi tidak terpakai. Kemudian pesantren beralih ke sekolah-sekolah formal yang mengikuti kurikulum pemerintah sehingga kualitasnya turun.
Pesantren diberi kebebasan mengatur pendidikannya sendiri tanpa harus mengikuti kurikulum Kemendikbud maupun Kemenag.KH MUHYIDDIN KHOTIB Sekretaris Majelis Masyayikh
"Tetapi, pada saat ini era penyeragaman sudah berakhir, dengan terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pesantren diberi kebebasan mengatur pendidikannya sendiri tanpa harus mengikuti kurikulum Kemendikbud maupun Kemenag. Sekolahnya tidak harus formal, silabusnya bebas, sistem, jam masuk, dan aturannya juga bebas," ujar Kiai Muhyiddin.
Ia mengatakan, pondok pesantren diminta menunjukkan kembali kualitas pendidikan pesantren yang sejak dulu dikenal unggul dalam ilmu-ilmu agama. Majelis Masyayikh merekomendasikan kurikulum pesantren tetap berbasis kitab. Pemerintah telah membuka mata bahwa produk pesantren tidak lebih buruk sehingga tidak perlu ada penyetaraan. Justru produk pesantren lebih memiliki keunggulan daripada produk sekolah negeri.

Kiai Muhyiddin mengatakan, isu utamanya saat ini adalah kualitas, bukan lagi pengakuan. Saat ini, lulusan pesantren bisa melanjutkan pendidikan atau melamar pekerjaan di mana saja dengan menggunakan ijazah dari pesantren. Tentang kualitasnya, saat ini sedang dibangun sistem penjaminan mutu oleh Majelis Masyayikh.
Ketua Majelis Masyayikh KH Abdul Ghaffar Rozin mengatakan, sudah saatnya pesantren meningkatkan kualitas semaksimal mungkin, tanpa menoleh ke sekolah formal. Kualitas pesantren akan mengacu pada dokumen sistem penjaminan mutu (SPM) pesantren yang baru pekan lalu diluncurkan.
Pada dasarnya, Majelis Masyayikh berusaha menerapkan tiga kata kunci dari Undang-Undang Pesantren, yaitu rekognisi, fasilitasi, dan afirmasi. Rekognisi berarti pengakuan dari negara terhadap pesantren, mulai dari kurikulum hingga ijazah lulusannya, agar tidak ada lagi penolakan dari satu pihak kepada alumni pesantren. "Kami berharap di masa depan, tidak akan ada lagi kasus penolakan terhadap lulusan Ma'had Aly yang ingin melanjutkan pendidikan S-2 di perguruan tinggi," ujar Gus Rozin.
Gus Rozin mengatakan, terkait fasilitasi sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk membantu pesantren dalam hal-hal teknis. Sementara tentang aspek afirmasi, ia meminta pemerintah dan pemerintah daerah membuat kebijakan yang menguntungkan pesantren secara politis. "Maka kami Majelis Masyayikh sedang mengupayakan agar setiap daerah memiliki Perda Pesantren. Dengan demikian, ada alasan bagi pemda untuk memberikan perhatian dan APBD kepada pesantren," kata dia.
View this post on Instagram
Dokumen sistem penjaminan mutu (SPM) pesantren yang akan menjadi acuan induk penjaminan mutu bagi pondok pesantren di Indonesia sudah diluncurkan Majelis Masyaikh. Dokumen SPM pesantren ini akan memberi perubahan signifikan kepada pesantren di seluruh Indonesia, di mana untuk pertama kalinya mereka harus menetapkan baku mutu kualitatif.
Gus Rozin mengatakan, dokumen ini menjadi referensi operasional yang menerjemahkan Undang-Undang (UU) Pesantren dalam bentuk standar yang jelas. Dengan demikian, ada sistem pengendalian kualitas pascapengakuan pemerintah terhadap sistem pendidikan di lembaga pendidikan yang dipimpin para kiai ini.
"Sejak terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, pemerintah memberikan pengakuan secara utuh kepada pesantren yang memiliki kekhasan dan keaslian dalam pendidikannya, tanpa harus mengadopsi kurikulum nasional. Sejak itu ijazah pesantren diakui negara dan alumninya dapat melanjutkan jenjang pendidikan ke manapun atau melamar ke instansi manapun baik negeri maupun swasta, tanpa harus mengikuti ujian persamaan Kemendikbud atau Kemenag," kata Kiai Rozin dalam siaran pers yang diterima Republika, Rabu (15/11/2023).
Kiai Rozin mengatakan, meski telah diakui sepenuhnya, sampai saat ini belum ada standar mutu yang jelas untuk mengukur kualitas pendidikan pesantren. Oleh amanat undang-undang inilah, Majelis Masyayikh menginisiasi standardisasi mutu melalui dokumen yang telah diuji publik ini.
Kiai Rozin menjelaskan, dokumen SPM pesantren memiliki cakupan seluruh jenjang pendidikan di pesantren murni. Yaitu pendidikan diniyyah formal (PDF), pendidikan muadalah, hingga ma’had aly atau level pendidikan setara dengan jenjang SD hingga perguruan tinggi.
Wakil Ketua Komisi 8 TB Ace Hasan Syadzily mengatakan, dokumen penjaminan mutu ini sebenarnya adalah dokumen penting yang mampu membentuk figur pesantren Indonesia yang utuh sesuai keinginan undang-undang dan profil santri Indonesia. "Jadi, sebenarnya dokumen ini adalah ruhnya pesantren, standardisasi mutu bukanlah bentuk campur tangan pemerintah, tetapi bentuk rekognisi agar pesantren dapat menjaga kekhasannya di mata publik," ujar Ace.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Safari Erick Thohir ke Pesantren Saat Maulid Nabi
Erick kemudian menyempatkan diri untuk berziarah ke makam KH Wahab
SELENGKAPNYASeribu Ponpes Tolak Kampanye Pemilu di Pesantren
Kampanye di pesantren selalu untuk mendulang suara, bukan pendidikan politik.
SELENGKAPNYASekolah Lima Hari Dinilai Juga Berdampak ke Pesantren
Pendidikan madrasah diniyah di beberapa daerah merupakan satu kewajiban.
SELENGKAPNYA