Melalui karyanya ini, sejarawan Prof Kuntowijoyo menghadirkan analisis tentang perjalanan kaum Muslimin Indonesia di rentang sejarah Tanah Air. | dok ist

Kitab

Meneropong Sejarah Umat Islam Indonesia

Melalui karyanya ini, sejarawan Prof Kuntowijoyo menghadirkan analisis tentang perjalanan kaum Muslimin Indonesia di rentang sejarah Tanah Air.

Prof Kuntowijoyo (1943-2005) merupakan seorang sejarawan ulung Indonesia. Guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) ini telah menghasilkan banyak tulisan, baik yang berkaitan dengan ilmu sejarah, sosial, dan bahkan agama Islam hingga teks-teks kesusastraan. Hal itu menunjukkan betapa luasnya cakupan pengetahuan yang dimiliki sang profesor.

Salah satu karya Pak Kunto yang masih relevan dibaca hingga kini ialah Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Buku tersebut naik cetak pertama kali pada 1985 melalui penerbit Shalahuddin Press dan Pustaka Pelajar. Edisi yang lebih belakangan dihadirkan Penerbit Diva Press pada 2017 lalu.

Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia menghimpun belasan artikel Kuntowijoyo dari berbagai seminar, ceramah, bincang-bincang, atau publikasi media massa. Penyuntingnya—AE Priyono dan Lukman Hakiem—dengan apik menyusun tulisan-tulisan yang ada ke dalam beberapa fragmen. Bagian pertama bertajuk “Dimensi masa lalu dan masa kini.” Beberapa esai yang termaktub di dalamnya mengulas gagasan-gagasan inti peraih gelar doktor (PhD) Ilmu Sejarah dari Columbia University itu perihal sejarah Muslimin di Tanah Air.

Sebagai contoh, pembagian yang dilakukannya terhadap tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam di Indonesia. Secara berturut-turut, keseluruhan fase itu terdiri atas kawula, wong cilik, dan warga negara. Konteksnya adalah Nusantara sesudah jatuhnya Kesultanan Demak pada abad ke-16. Menurut Kuntowijoyo, mulai saat itu umat Islam bertransformasi menjadi suatu “masyarakat patrimonial.” Hingga abad ke-19, kaum Muslimin selalu berposisi di level bawah alias kawula, terutama dalam menghadapi kolonialisme Eropa.

photo
Kuntowijoyo - (Daan Yahya/Republika)

Kesadaran kolektif pada fase kawula bercirikan mistis-religius. Dikatakan demikian karena berbagai perlawanan yang dilakukan umat Islam pada waktu itu mengusung ideologi utopia. Menurut Kuntowijoyo, saat itu “umat Islam tidak merumuskan pikiran-pikirannya berdasarkan aktualitas sejarah, melainkan kepada berbagai mitos.” Mitos yang cukup menonjol ialah Ratu Adil yang kerap dicitrakan sebagai Imam Mahdi. Berbagai upaya untuk menentang penjajah pada masa itu juga terjadi secara sporadis sehingga tidak mewujud kesatuan. “Konsep umat belum disadari,” simpul budayawan penerima The Southeast Asian Writers Award tahun 1999 itu.

Memasuki abad ke-20, dinamika sosial-politik di Eropa kian mempengaruhi kondisi Tanah Air. Imbasnya, muncul kesadaran baru di tengah umat Islam Nusantara. Kuntowijoyo menjelaskan, sejak 1900 hingga 1920, kaum Muslimin tak lagi memunculkan mental kawula, tetapi sudah menjadi wong cilik (rakyat kecil). Tak seperti kawula yang berhubungan secara hierarkis dengan gusti. Konsep wong cilik lebih merepresentasikan posisi horizontal yang dialami umat Islam. Hal ini ditandai dengan munculnya keinginan untuk berorganisasi (modern).

Kehendak itu muncul pertama kali dari kalangan pedagang (Muslim). Mereka mengecam praktik-praktik kolonialisme yang meneguhkan suatu strata sosial, yang di dalamnya umat Islam (Pribumi) berposisi paling bawah. Bila pada era sebelumnya umat Islam berjuang secara acak, tak terorganisasi, serta didorong kepercayaan mistis-utopian, maka pada fase ini mereka sampai merumuskan ideologi perlawanan.

Kuntowijoyo mencontohkan gerakan Sarekat Islam (SI)—terbentuk sebagai Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905. Tokoh-tokoh SI tidak hanya memompa semangat perjuangan, tetapi juga menganalisis kondisi historis saat itu. HOS Tjokroaminoto, umpamanya, menunjukkan besarnya pengaruh piramida sosial yang diciptakan pemerintah kolonial di Nusantara. Sistem itu menempatkan golongan bangsawan (ambtenaar) Belanda di paling atas. Di bawahnya, terdapat golongan Cina. Orang Indonesia pada umumnya (Pribumi), termasuk umat Islam, berposisi paling rendah.

SI bermetamorfosis pada 1921 menjadi Partai Sarekat Islam. Kuntowijoyo mendeteksi adanya babak baru dalam sejarah kaum Muslimin Indonesia dalam 20 tahun pertama abad ke-20. Saat itulah, lanjut dia, konsep tentang umat sebagai suatu kesatuan sosial-politis mulai muncul dalam masyarakat Indonesia. Pemilahan antara umat dan non-umat mengemuka. Menurut sejarawan itu, dua peristiwa mengindikasikan kritalisasi identitas umat.

Pertama, konflik internal SI yang memunculkan kubu “merah” (buruh/komunis) dan “hijau” (nonburuh). Kedua, suatu koran Surakarta pada 1917 memuat tulisan yang menghina Nabi Muhammad SAW. Setahun kemudian, gerakan “Tentara Kanjeng Nabi Muhammad” didirikan di seluruh Indonesia. Berbagai rapat akbar digelar untuk menuntut si penulis artikel agar diadili.

photo
HOS Tjokroaminoto (duduk, kedua dari kanan) dalam pertemuan Sarekat Islam di Blitar, Jawa Timur pada 1914. - (KITLV)

Keadaan umat Islam sebagai wong cilik terus berlanjut hingga hengkangnya Belanda dan masuknya balatentara Jepang ke Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, para kiai dan tokoh Islam lainnya mulai diikutsertakan dalam kepemimpinan dan kenegaraan. Efeknya, umat pun mendefinisikan diri dalam rumusan baru, yakni sebagai warga negara. Identitas demikian kian mengkristal sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945.

Tidak hanya menganalisis periodisasi identitas kolektif kaum Muslimin sepanjang sejarah (sejak datangnya kolonialisme). Kuntowijoyo juga menyuguhkan banyak refleksi tentang kaum Muslimin era kini. Misalnya, dia mendeteksi adanya anakronisme saat kaum Muslimin kini berkedudukan sebagai warga negara. Ketika mereka vis-à-vis terhadap negara, ada yang masih bermental sebagai kawula. Artinya, negara dipandang bak gusti; presiden dianggap tak ubahnya raja atau kaisar yang tidak boleh salah. Sosok yang akrab disapa Pak Kunto itu menegaskan, gejala demikian harus dikikis habis agar kaum Muslimin tak ketinggalan zaman.

Dia menambahkan, kaum Muslimin sebagai warga dari suatu negara yang demokratis hendaknya menyadari hak serta kewajibannya. Sebagai warga negara, mereka tak boleh lupa budaya partisipan. “Artinya, kita mempunyai hak bicara. Kita boleh mengatakan ‘ya’, boleh mengatakan ‘tidak.’ Kita adalah warga negara dan bukan kawula,” tulisnya. Lebih lanjut, umat Islam utamanya sejak permulaan abad ke-21 memasuki periode yang disebut Kuntowijoyo “zaman ilmu.”

 
Umat Islam (Indonesia) utamanya sejak permulaan abad ke-21 memasuki periode yang disebut Kuntowijoyo “zaman ilmu.”

Zaman mitos berlangsung silam ketika umat Islam menganggap dirinya kawula. Mereka, terutama dari kalangan tani, mengalami radikalisasi agraria dengan didorong mitos Ratu Adil. Sebut saja kasus pemberontakan petani Banten tahun 1888. Adapun zaman ideologi terjadi ketika awal abad ke-20. Contohnya sudah disebutkan, yakni SI yang mengusung berbagai aksi massa terorganisasi dengan menampakkan ideologi keislaman dan kebangsaan. Maka, zaman ilmu dalam pemahaman Kuntowijoyo merupakan kesudahan dari zaman ideologi, yakni terutama pasca-1945.

“Jika pada zaman ideologi usaha yang terpenting ialah mobilisasi massa, dalam zaman ilmu usaha terpokok ialah memobilisasikan kesadaran masyarakat. Kuncinya pun bukan lagi negara, tetapi sistem,” jelas dia. Perjuangan kaum Muslimin pada zaman ilmu tidak melulu mengandalkan negara atau parlemen. Upaya yang terus-menerus dilakukan ialah mencapai sistem yang rasional. Sistem yang di dalamnya Islam dihadirkan tak sekadar sebagai ideologi, tetapi ilmu. Teks-teks dari Alquran dan Hadits dijadikan berbagai formulasi teoretis yang selanjutnya menginspirasi program-program solusi bagi persoalan nyata.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Episode Trauma Anak Gaza Sudah Melewati Batas

Selama sebulan terakhir, sudah 4.008 anak tewas di Gaza.

SELENGKAPNYA

Mengenal Gnawa, Musik Sufistik Khas Maroko

Gnawa, musik khas Maroko ini diapresiasi sejumlah musisi kaliber dunia, semisal Jimi Hendrix dan Mick Jagger.

SELENGKAPNYA

Berstatus Tersangka, Wamenkumham Didesak Mundur

KPK telah menetapkan Wamenkumham Eddy Hiariej sebagai tersangka suap.

SELENGKAPNYA