
Teraju
WC Umum Dinasti Usmaniyah
Dinasti Usmaniyah membangun 1400 toilet umum di Konstantinopel saat penduduk Eropa belum mengenal tradisi buang air besar secara layak.
Oleh SIWI TRI PUJI B
Kebersihan adalah salah satu bagian inti ajaran Islam. Bahkan, dianggap sebagai bagian dari iman seseorang. Sayangnya, sangat sedikit literatur Barat yang mengupas hal ini, terutama saat menulis ulang tentang sejarah sanitasi.
Padahal sejak abad ke-10, jauh sebelum Barat mengenal toilet seperti yang kita kenal sekarang, apa yang ditemukan dalam kamar mandi dan praktik kebersihan di hampir semua wilayah kekuasaan kaum Muslim bisa bersaing dengan apa yang dikembangkan saat ini. Pada abad ke-13, ilmuwan Muslim al-Jazari, menulis sebuah buku yang menjelaskan perangkat mekanis, termasuk alat untuk berwudhu. Alat ini bersifat mobile, dan bahkan biasa dilakukan untuk melayani para tetamu.
Air memang menjadi pembersih utama dalam tradisi Islam. Air mensucikan. Toilet-toilet pada masa kejayaan Islam di Abad Pertengahan adalah model toilet 'basah' seperti yang kita kenal saat ini.

Sabun, bagian yang tak terpisahkan dari sanitasi, juga ditemukan pada masa kejayaan Islam. Masyarakat di bawah kekuasaan Usmaniyah biasa membuat sabun sendiri, dengan mencampur minyak (biasanya minyak zaitun) dengan al-qali, yaitu sejenis garam. Keduanya direbus untuk mencapai campuran yang tepat, dibiarkan mengeras, dan jadilah sabun batangan. Sabun ini digunakan di hammam, rumah pemandian umum.
Al-Kindi juga menulis sebuah buku tentang parfum yang disebut ‘Book of the Chemistry of Perfume and Distillations’. Dia dikenal sebagai filsuf, tapi juga seorang apoteker, opthalmologist, fisikawan, matematikawan, ahli geografi, astronom, dan ahli kimia. Bukunya berisi lebih dari seratus resep untuk minyak, salep, dan air aromatik. Tradisi pembuatan parfum kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia; dengan menyuling tanaman dan bunga dan membuat parfum dan zat untuk keperluan farmasi.
Dinasti Usmaniyah didirikan pada 1299 di Anatolia barat laut, dan bertahan sampai tahun 1923. Pada puncak kejayaannya tahun 1683, Dinasti Usmaniyah menguasai hampir seluruh pantai Afrika di Laut Tengah, kedua tepi Laut Merah, Eropa tenggara termasuk Balkan dan sebagian besar Bulgaria dan Rumania saat ini, Turki, dan Irak saat ini.
Di daerah-daerah yang dikuasai, tradisi Islam turut disebarkan, termasuk pentingnya menjaga kebersihan. Sejarah mencatat, saat mereka menguasai Konstantinopel, salah satu yang dibenahi adalah urusan buang hajat ini. Mereka membangun 1.400 toilet umum, ketika tak satupun WC ditemukan di seantero Eropa.

Omong-omong soal higienis dan tidak higienis terkait toilet pada Abad Pertengahan, tim peneliti dari Universitas Cambridge mendapatkan temuan yang cukup menarik. Penelitian terbaru di benteng yang pernah dikuasai Pasukan Salib pada masa Perang Salib Ketiga menemukan toilet yang penuh dengan parasit penyebab sakit perut.
Seperti kita tahu, pada tahun 1191, selama Perang Salib Ketiga, Raja Richard I dari Inggris menginvasi Siprus dan memerintahkan pembangunan sebuah benteng di sudut barat pulau. Disebut Saranda Kolones, nama kastil ini mengacu pada banyak kolom monolitiknya. Raja Inggris Richard the Lionheart kemudian menjual pulau Siprus ke pemimpin tentara Salib Guy de Lusignan pada bulan Mei 1192.
Arkeolog percaya bahwa Saranda Kolones dibangun untuk mempertahankan pelabuhan Paphos segera setelah pendudukan mereka di pulau ini dimulai. Namun pada 1222, kota ini diguncang gempa dahsyat, diperkirakan berkekuatan minimal 7,0 pada skala Richter. Sebagian besar benteng ambruk dan tidak pernah dibangun kembali. Namun jamban yang berada di lantai bawah bangunan tetap utuh, dan inilah yang dijadikan objek penelitian tim Universitas Cambridge.
Toilet-toilet ini disesuaikan dengan bentuk manusia, dengan lubang berbentuk setengah lingkaran mengarah ke saluran pembuangan di bawahnya. Periset Cambridge Evilena Anastasiou dan Piers Mitchell, yang mempelajari parasit purba, mengumpulkan sampel dari salah satu tangki air tersebut, mengolah limbah tersebut dan menyaringnya melalui saringan mikro untuk menangkap telur parasit, masing-masing lebih kecil dari sepersepuluh milimeter.
Jamban yang berada di lantai bawah bangunan tetap utuh, dan inilah yang dijadikan objek penelitian tim Universitas Cambridge.
Di bawah mikroskop, para peneliti melihat bahwa sampel tersebut mengandung telur dari dua parasit intestinal paling umum di dunia dan tersebar luas, yaitu cacing cambuk (Trichuris trichiura), yang menyebabkan infeksi yang dikenal dengan trikosiskus, dan cacing gelang raksasa (Ascaris lumbricoides), cacing yang umum ditemukan pada usus manusia, yang pada orang dewasa bisa tumbuh lebih dari 30 sentimeter panjangnya.
Orang dengan penyakitan kecacingan ini mungkin tidak mengalami gejala. Tapi ketika cacing cambuk dan cacing ini menjajah saluran pencernaan, mereka bersaing dengan 'tuan rumah'-nya memperebutkan makanan, dan menyedot nutrisi yang biasanya diserap oleh usus.
Cacing ini juga mudah berpindah dari satu orang ke orang lain melalui telur dan terbawa kotoran. Jadi dengan tingkat sanitasi dan higienitas yang rendah, telur-telur cacing ini akan dengan mudah menyebar.
Mitchell memperkirakan bahwa selama ekspedisi perang dua atau tiga tahun yang diakhiri dengan kemenangan pasukan Muslim, tentara Salib banyak menderita penyakit pada saluran cerna dan kekurangan gizi. "Studi ini menunjukkan bahwa parasit mungkin berkontribusi pada kematian banyak tentara yang meninggal karena kelaparan atau penyakit," tulis studi yang dipublikasi di International Journal of Paleopathology itu.
Risiko kematian, kata studi ini, tak hanya datang dari gempuran musuh. Namun juga akibat kelaparan saat pengepungan atau ekspedisi panjang. "Ini karena mereka harus berbagi makanan terbatas dengan parasit mereka."
Kehadiran cacing ini, simpul para peneliti, membuktikan kondisi higienis yang buruk yang dipraktikkan oleh para tentara yang bertahan di benteng itu. "Kebersihannya buruk dengan tangan kotor, kontaminasi bahan makanan dan air bersih dengan kotoran manusia berkontribusi melemahkan mereka," kata Mitchell, seperti dikutip Live Science.
Tim peneliti menyodorkan fakta, secanggih apapun kekuatan militer dan strategi yang dirancang, akan sia-sia jika para prajuritnya tak didukung dengan pasokan pangan yang higienis dan sarana air bersih yang memadai. Tak terbayangkan, harus berangkat perang sementara mereka tengah terserang diare?
Disadur dari Harian Republika Edisi Jumat, 3 November 2017.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.