Seniman memainkan peran saat drama Silhouette Show bertajuk Refrain di Trans Studio Bandung, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Rabu (29/6/2022). Pihak pengelola menyatakan, pada masa liburan sekolah 2022 jumlah pengunjung ke Trans Studio Bandung meningka | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Safari

Melestarikan Destinasi Wisata dengan Carbon Passport

Pembatasan wisata dan carbon passport sangat penting bagi keberlanjutan pariwisata global.

Tahun ini telah terjadi beberapa kondisi cuaca ekstrem, dengan kebakaran hutan dan banjir yang dahsyat terjadi di seluruh dunia. Dan menurut sebuah perusahaan vakansi, krisis iklim di balik kejadian-kejadian itu dapat segera diatasi dengan membatasi perjalanan internasional melalui paspor karbon atau carbon passport.

Laporan terbaru Intrepid Travel mengeklaim, carbon passport bisa menjadi cara efektif guna menjadikan tempat wisata dan aktivitas melancong menjadi lebih berkelanjutan. Dilansir Standard, Selasa (8/11/2023), Intrepid Travel mendefinisikan carbon passport sebagai paspor yang memberikan catatan jejak karbon tahunan kepada setiap pelancong.

Laporan yang berkolaborasi dengan lembaga riset The Future Laboratory ini menjelaskan bahwa paspor karbon akan memaksa setiap orang untuk membatasi emisi karbon mereka sesuai dengan anggaran karbon global, yaitu 750 miliar ton hingga 2050.

photo
Calon penumpang pesawat terbang beraktivitas di area Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/7/2023). Presiden Joko Widodo mengatakan penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara akan beralih ke Bandara Internasional Kertajati mulai OKtober 2023. Keberadaan dua bandara yang beroperasi ini untuk saling mendukung satu sama lain serta optimal untuk menunjang dilakukannya penataan rute penerbangan di Jawa Barat. - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Melalui carbon passport, setiap perjalanan para pelancong mulai dari naik mobil ke bandara, naik pesawat, dan naik motor atau sepeda selama berwisata akan dicatat dan dihitung secara real time. Para peneliti di balik laporan ini berharap, carbon passport bisa diimplementasikan pada 2040.

Sampai saat ini, belum ada pengumuman atau proyek resmi mengenai pembuatan dan pengenalan carbon passport. Namun, pemerintah di beberapa negara dan agen perjalanan telah menjadi semakin sensitif terhadap perubahan iklim dan emisi karbon dalam beberapa dekade terakhir.

Laporan Climate Change Committee, lembaga pengawas misi penurunan emisi gas rumah kaca di Inggris menemukan sebagian besar kebijakan tidak berada di jalur yang tepat untuk memenuhi target 2030. Pemerintah Inggris juga baru-baru ini menunda target nol karbonnya.

Menghentikan emisi secara total dianggap sangat sulit. Tetapi, negara-negara di seluruh dunia dapat mengambil langkah-langkah, seperti menanam lebih banyak pohon, yang menyerap gas rumah kaca dari atmosfer dan memerangi krisis iklim.

photo
Kapal pelayaran perintis KM Sabuk Nusantara 83 yang membawa penumpang dari Pulau Sedanau berlabuh di Dermaga Pelabuhan Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (7/11/2020). Kementerian Perhubungan berharap dengan adanya layanan kapal perintis tersebut meningkatkan konektivitas antarwilayah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan (3TP) melalui penyelenggaraan tol laut. - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO)

Lantas, seberapa besar dampak penerbangan terhadap perubahan iklim? Perjalanan diketahui memperparah krisis iklim saat ini, menyebabkan delapan persen emisi karbon dioksida (CO2) global. Industri penerbangan pun menyumbang 2,5 persen dari total ini.

Menurut Intrepid Travel, penerbangan antara New York dan London menghasilkan 986 kilogram karbon dioksida per penumpang. Jumlah ini lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh rata-rata orang per tahun di 56 negara, termasuk Paraguay dan Burundi.

Saat ini, banyak ahli mendorong para pelancong yang gemar bepergian untuk mencoba membatasi emisi karbon mereka hingga 2,3 ton per tahun untuk mengatasi krisis iklim. Namun, saat ini jejak karbon rata-rata di Inggris adalah 11,7 ton per orang.

 

Dorong Wisata Berkelanjutan 

photo
Menikmati wisata di destinasi wisata berkelanjutan (ilustrasi) - (Instagram/Plataran Menjangan )

Paspor karbon merupakan sistem yang diusulkan untuk mengurangi emisi karbon dari sektor pariwisata dengan memberikan tunjangan karbon dalam jumlah terbatas kepada wisatawan. Sistem ini pada akhirnya akan membatasi jumlah perjalanan yang diizinkan setiap tahunnya, demikian menurut laporan Intrepid Travel.

Carbon passport akan berbentuk dokumen yang ‘memaksa’ semua orang untuk menjatah penggunaan karbon sesuai dengan anggaran karbon global. Anggaran karbon global adalah jumlah maksimum karbon dioksida yang dapat dilepaskan ke atmosfer tanpa menyebabkan krisis iklim yang dahsyat. 

Penerapan carbon passport ini juga berarti bahwa setiap orang akan dialokasikan sejumlah tunjangan karbon tertentu untuk kegiatan perjalanan mereka. Tunjangan ini akan didasarkan pada jejak karbon personal dan perlu dikelola sepanjang tahun.

Sinyal Perubahan Iklim - (republika)

  ​

Laporan dari Intrepid Travel juga menunjukkan bahwa pada 2040 pembatasan dapat diberlakukan pada jumlah perjalanan yang diizinkan setiap tahunnya. Tujuannya untuk mengurangi aktivitas yang menghasilkan karbon seperti penerbangan jarak jauh dan mendorong bentuk-bentuk perjalanan yang lebih berkelanjutan.

Para pakar yang terlibat dalam laporan Intrepid Travel menyatakan, pembatasan wisata dan carbon passport sangat penting bagi keberlanjutan pariwisata global. Salah satu faktor pendorong dibalik perlunya pembatasan liburan adalah dampak perubahan iklim terhadap destinasi wisata populer.

Laporan dari Intrepid Travel memperingatkan, banyak destinasi, seperti Yunani dan Majorca, mungkin akan menjadi terlalu panas bagi pengunjung untuk menikmati liburan musim panas. Hal ini dapat menyebabkan pergeseran dalam pola perjalanan, dengan para pelancong yang mencari tujuan yang lebih sejuk, seperti Belgia, Slovenia, dan Polandia.

Potensi kepunahan destinasi populer ini menyoroti kebutuhan mendesak akan tindakan untuk mengurangi perubahan iklim dan melestarikan keragaman pengalaman perjalanan. Kurangnya tindakan dari industri pariwisata dalam mengatasi perubahan iklim diprediksi akan menghasilkan tren yang sangat buruk dan fatal.

“Model perjalanan saat ini, yang sangat bergantung pada aktivitas padat karbon, tidak berkelanjutan dalam menghadapi perubahan iklim. Pentingnya dekarbonisasi industri perjalanan sangat penting untuk memastikan kelangsungan jangka panjang sektor ini dan untuk melindungi lingkungan,” demikian isi laporan tersebut seperti dilansir Tunley Environment, Rabu (8/11/2023).

photo
Huta Siallagan di Kabupaten Samosir yang saat ini menjadi salah satu desa wisata di Samosir, Kamis (6/10/2023). - (Republika/ Rahayu Subekti)

Intrepid Travel memprediksi kemunculan sekelompok wisatawan yang mereka sebut sebagai "travel transformer". Kelompok ini diharapkan dapat mendorong pergeseran menuju perjalanan regeneratif, yang berfokus pada dampak sosial dan lingkungan dari liburan.

Para travel transformer cenderung lebih sadar akan jejak karbon mereka dan mencari opsi perjalanan yang berkelanjutan. Pilihan dan perilaku mereka dapat memengaruhi masa depan industri perjalanan dan berkontribusi pada penerapan paspor karbon dan pembatasan liburan.

Para pakar juga menegaskan perlunya tindakan kolektif dan inovatif untuk mengurangi karbon dalam perjalanan dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Industri pariwisata harus berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi, dan individu untuk mengembangkan dan menerapkan strategi yang efektif untuk mengurangi emisi karbon.

Hal ini dapat melibatkan investasi dalam sumber energi terbarukan, mempromosikan pilihan transportasi yang berkelanjutan, hingga mengedukasi wisatawan tentang pentingnya membuat pilihan yang berkelanjutan.

 

 
Banyak destinasi, seperti Yunani dan Majorca, mungkin akan menjadi terlalu panas untuk dikunjungi. 
 
LAPORAN INTREPID TRAVEL 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Perkuat Konsep Berkelanjutan di Aplikasi Perjalanan

Wisatawan terus mencari cara dalam mengurangi dampak perjalanan terhadap lingkungan.

SELENGKAPNYA

Masa Depan Pembelajaran Berkelanjutan dengan Microcredential

Program kredensial mikro memiliki fokus yang jelas pada keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan dunia kerja.

SELENGKAPNYA

Ketimpangan Pembangunan Berkelanjutan G-20 dan Konsekuensinya Bagi Indonesia

Produktivitas SDM di negara berkembang belum mampu mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan.

SELENGKAPNYA