
Oase
'Inilah Agama yang Selama Ini Kurindukan'
Zachary West mengaku bersyukur akan hidayah, nikmat iman dan Islam, yang Allah anugerahkan untuknya.
Zachary West masuk Islam pada 2010 lalu. Saat itu, usianya baru 22 tahun. Saat diwawancarai Overcome TV, seperti dikutip dari About Islam.net, awalnya West muda aktif di sebuah gereja katolik. Karena itu, ia terbiasa dengan suasana religius Kristiani sejak dini.
Dengan pastor di gerejanya pun, West cukup dekat dan akrab. Bahkan, hubungan keduanya bagaikan anak dan ayah kandung. Kemudian, West melanjutkan pendidikan menengahnya ke sebuah SMA negeri (public high school).
Sebagaimana para murid baru di sana, ia bebas mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang tersedia. Saat itu, entah mengapa West justru tertarik pada klub studi terkait agama-agama, alih-alih kegiatan lainnya yang bersifat rekreasional. Di sinilah West pertama kali mengenal Islam. Uniknya, ceramah tentang Islam yang pertama kali didengarnya bukanlah oleh seorang Muslim, melainkan perempuan Nasrani yang berasal dari sekte Mormon.
Bagaimanapun, penjelasannya mengenai Islam cukup menarik perhatian West. Ia mengenang, saat itu secara sambil-lalu ia menegur sahabat sekelasnya dan berkata, “Hei, Rayan. Mengapa kita tidak percaya agama ini (Islam) saja?”
Sahabatnya itu tentu saja mengira West hanya berseloroh dan mengatakan agar West tidak usah pusing-pusing mempersoalkan agama lain. Padahal, lanjut West, di usia semuda itu ia justru tertarik soal-soal mengenai ketuhanan. Khususnya bagaimana hubungan antara Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia.
Pemikiran yang cukup melampaui kawan-kawan seusianya di SMA. Dalam usia semuda itu, West memperhatikan, banyak orang di sekolah atau Amerika pada umumnya tidak meyakini adanya tuhan. Bukan lantaran percaya tetapi kurang mencari tahu.
Akan tetapi, West muda masih belum cukup berani untuk menyatakan dengan gamblang ketertarikannya terhadap Islam. Agama ini masih begitu minoritas dan ia pun takut dikucilkan bilamana melawan arus.
“Makanya, kalau-kalau saya (saat itu) mengikuti jalan ini (memeluk agama Islam), saya takut akan diasingkan kawan-kawan. Saya akan dianggap pecundang besar oleh seisi sekolah. Teman-teman akan meninggalkan saya dan sebagainya,” kata Zachary West.
Apalagi, West saat itu bisa dikatakan tidak mengenal satu pun orang Islam. Sementara itu, media-media massa nasional kerap memberitakan Islam sebagai agama yang penuh stigma-stigma mendukung kekerasan.
Namun, sekali lagi, propaganda yang menyasar Islam justru semakin membangkitkan rasa ingin tahunya. Ia ingin melihat terlebih dahulu, bagaimana Islam memandang esensi ketuhanan.
West pun sempat bertanya pada dirinya sendiri. Apakah dengan memeluk Islam otomatis seseorang akan menjadi pendukung teroris? Apakah Islam dengan sendirinya mengajarkan kekerasan terhadap pemeluk agama ini?
West memahami bahwa apabila seseorang memeluk sebuah agama, maka orang itu harus berkomitmen sepenuhnya terhadap agama itu. Yang ia ragu, apakah propaganda media-media tentang Islam sesuai dengan esensi Islam itu sendiri.
“Saya tak tahu apa-apa soal bom bunuh diri dan segala macam (bersumber dari ajaran Islam),” katanya mengenang.
Untuk menuntaskan rasa ingin tahu, West yang masih usia SMA itu pun membeli buku terjemahan Alquran berbahasa Inggris. Kitab suci Alquran memang cukup mudah diperoleh di toko-toko buku. Ia meyakini, untuk memahami sebuah agama, orang harus terlebih dahulu menelisik apa saja ajaran tertulis yang menjadi dasar ajaran agama tersebut. Inilah dasar dari sikap agama. Bukan berasal dari propaganda-propaganda media.
Bagi West, membuka Alquran, meskipun hanya terjemahannya, merupakan pengalaman unik. Selama ini, ia hanya membuka kitabnya saja sebagai pemeluk agama Nasrani. Ia belum menyadari keterkaitan antara kitab-kitab suci dalam Islam dengan agama yang dipeluknya itu. West mengira, antara Alquran dan Injil masing-masing terpisah dalam eksklusivitas. Ternyata, di dalam Alquran disinggung pula kitab-kitab terdahulu.
Ini disadari West ketika, secara kebetulan, ia membuka terjemahan Alquran itu dan sampai pada surat al-An’am ayat 92. Ia begitu terkesima dengan kata-kata yang tercantum di sana: “Dan ini (Alquran), Kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) ….”
Ini terjadi menjelang 2010. Butuh waktu yang cukup lama bagi West untuk meneguhkan hatinya kepada Islam.
Hingga pada suatu hari (West tidak menyebutkan tanggalnya –Red), West membuka kembali Injil dan membaca terjemahan Alquran secara bersebelahan. Kesadaran tumbuh dalam dirinya. Ia menilai, keyakinannya terhadap Islam justru kian menguatkan rasa percayanya kepada Tuhan, sebagaimana yang didapatnya dari Injil.
“Ini (Islam) semata-mata memperkuat segala yang tercantum dalam Injil, sehingga membuatku kian menjadi seorang beriman yang kuat, sebagaimana mula. Islam semakin menguatkan rasa itu,” kata dia.
Maka ia mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan sebuah majelis masjid di kota dekat tempat tinggalnya. Sejak saat itu, West resmi menjadi seorang Muslim. Namun, ia menegaskan tak ada perubahan pada dirinya kecuali menjadi insan yang lebih baik.
“Saya tak mau berubah, dan saya tidak berubah menjadi orang yang berperilaku jahat. Namun, memang inilah agama yang selama ini saya rindukan untuk diimani. Islam memperkuat saya,” tuturnya.
Islam, dalam pandangannya, mampu membuka tabir hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Betapapun tenteram hati West dalam berislam, dirinya cukup gundah karena orang-orang di sekitarnya saat itu belum menerima keislamannya dengan baik.
Kedua orang tua West cukup terkejut mengetahui bahwa anak mereka telah berpindah agama. Hal ini yang membuatnya sempat bersedih, tetapi tak sampai mengubah pendirian West. Dengan terus berinteraksi secara wajar dan santun kepada ayah dan ibunya, West merasa tak ada yang perlu dipersoalkan.
“Dari pengalamanku ini, Islam adalah getaran. Islam membuat alasan keberadaan dirimu dan tujuan hidupmu jelas, benar-benar lega dan mudah. Islam memudahkan diri kita dan menghendaki kemudahan bagi semua,” katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Rudal dari Gaza, Lebanon, Yaman, Kepung Israel
Israel terpaksa mengerahkan rudal lintas atmosfer.
SELENGKAPNYAJalan Hidayah Sang Perempuan Kritis
Wanita asal Amerika Serikat ini menjadi Muslimah usai merenungi konsep ketuhanan dalam Islam.
SELENGKAPNYAApel Kesiapsiagaan Bencana Hidrometeorologi
Apel untuk mengantisipasi bencana seperti banjir, gempa dan longsor. saat musim hujan di Provinsi Jawa Barat.
SELENGKAPNYA